Tiga tahun silam saya menuntaskan buku berjudul Max Havelaar karya monumental bergenre sastra klasik dari penulis bernama pena Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Karya sastra tersebut amat membekas sekali. Selain terkesan klasik bernuansa tahun 1850-an yang mengisahkan perjuangan bumiputera, juga membuka mata hati dan jiwa kita sebagai pembaca. 

Bahkan saya baru tahu kemudian, ketika melihat foto seorang teman di tahun berikutnya, menampilkan dirinya di samping patung Multatuli karya pahatan seniman bernama Dolorosa Sinaga. Saya mengira patung pada foto tersebut hanya sekadar monumen yang ditaruh oleh pemerintahan Lebak untuk mengenang Multatuli. Tapi lebih dari itu, di sampingnya terdapat museum yang dibangun sebagai ruang edukasi dan merawat ingatan masyarakat Lebak.

Dari dua rentetan peristiwa di atas. Hari itu di bulan Februari akhir 2023, saya berkesempatan melawat ke Rangkasbitung yang tanpa berpikir akan menyinggahi Museum Multatuli, dan akhirnya berujung singgah di sana.

Alasannya sederhana saja, saya melihat papan informasi titik wisata sejarah Lebak, Kampung Adat Baduy dan kawasan konservasi Ujung Kulon setiba di pintu keluar stasiun. Setelah sebelumnya beranjak dari Stasiun Pasar Minggu–Tanah Abang–Rangkasbitung. Saya terpana melihat tampilan gambar kontemporer di spanduk yang menunjukkan titik Museum Multatuli tinggal beberapa ratus meter lagi.

Saya kala itu bersama Abi, seorang mahasiswa Bangka Belitung. Kami dijemput oleh Akid—kawan saya satu pelatihan nasional—bersama kawannya pula menjemput di Stasiun Rangkasbitung. Satu pertanyaan saya pada Akid kala itu, “Di manakah letak Museum Multatuli itu, Kanda Akid?”

“Tak jauh. Dekat cuma. Bahkan kami sering melangsungkan kegiatan diskusi-diskusi di sana,” ujarnya. Saya terperangah tambah tertarik, dan mengajak ia untuk segera ke sana karena tak mau memendam rasa penasaran. Tetap, Lebak sehabis hujan sudah mendekati Magrib. Akid membawa saya terlebih dahulu rehat di sekretariat salah satu organisasi Universitas Setia Budi.

Museum Multatuli
Di samping patung Multatuli/Raja Syeh Anugrah

Nilai Historis Multatuli & Eksistensi Museum

“Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia.” Merupakan salah satu peluru kata-kata yang kerap dikutip dari sosok Multatuli. Ia menjadi dikenang hingga memomumenkannya, bukanlah konsep pengkultusan gaya baru. Tidak juga karena ia telah berhasil menggaungkan semangat perlawanan, dan membumikan kemanusiaan ke tengah-tengah koloni Hindia Belanda.

Tapi juga, oleh keberanian Douwes Dekker menanggalkan sikap merendahkan, meremehkan dan lebih menyetarakan bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi manusia. Bukan untuk dieksploitasi tenaganya dan dipaksa menyelesaikan pembangunan demi kepentingan elit penguasa. Juga oleh sebab ia berhasil meng-abadikan mata penglihatannya ke dalam buah karya berjudul asli Max Havelaar of De koffieveillingen der Nederlandse Handelsmaatshappij (Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Belanda) hingga kemudian dikenal seantero negeri, dan menginspirasi—Soekarno dan R.A. Kartini.

Multatuli tidak cukup lama berada di Lebak. Datang bulan Januari 1856 dan dipulang-paksakan bulan April karena ia menyerukan penerapan praktik yang berkeadilan untuk kaum bumiputera—antara orang kulit putih dan pribumi adalah sama. Ditambah posisi yang tak menjanjikan hanya sebatas Asisten Residen Lebak dari atasannya Residen Banten Brest van Kempen yang bertolak dari pemikiran humanis Dekker, ia pun tersingkir.

Seorang kelahiran 2 Maret 1820 di Amsterdam itu yang dibesarkan di tengah dinamika dan turut merasakan bagaimana kondisi hidup bersama buruh tekstil di sana. Kemudian kembali ke Eropa dan merampungkan karyanya tahun 1859 di Brussel, Belgia dan mengedarkan karyanya seluas-luasnya pada tahun 1860 hingga diterjemahkan ke dalam 40 bahasa.

Hal yang tak boleh dilewatkan pula. Sebelum karyanya terbit, Douwes Dekker pernah menuliskan secarik surat kepada Raja Willem III. Tertulis, “Apakah yang mulia tahu 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” Raja Willem III itu tak bergeming. Sementara Dekker meski tak lagi memijakkan kaki di tanah Hindia Belanda, ia tetap berjuang dan berusaha membongkar praktik kotor kolonialis agar membuka mata dunia.

Saya amat takjub oleh historis Multatuli yang sarat nilai dan amat filosofis sehingga tak mau melewatkan kesempatan emas untuk mengunjungi Museum Multatuli yang kini berdiri gagah di Rangkasbitung, Lebak. Sebelum tengah hari saya, Akid dan Abi berjalan kaki ke sana. Bangunan yang menyebelah dengan Perpustakaan Daerah Saidjah dan Adinda itu menyatu dalam satu komplek.

Menurut beberapa informasi yang saya dapatkan, Museum Multatuli diresmikan pada 11 Februari 2018 setelah diwacanakan pada Mei 2017. Perhelatannya langsung diresmikan oleh Pak Hilmar Farid selaku Dirjen Kemdikbud RI dan Bu Iti Octavia Jayabaya selaku Bupati Lebak. Tentu perhelatan yang meriah ini akan menjadi nilai dari museum dan menarik lebih luas minat masyarakat lingkup instansi, termasuk sekolah-sekolah yang ada di Lebak.

Museum Multatuli
Bersama siswa SD di Museum Multatuli/Raja Syeh Anugrah

Saya mendapati suasana yang berbeda dari biasanya. Di samping lalu-lalang masyarakat Lebak yang tidak begitu padat seperti ibukota Jakarta, museum ini pun menjadi rumah peradaban sebagai tempat belajar bagi anak sekolahan bersama para guru pendamping. Kala itu, saya bertukar cerita dan sedikit bertanya pada serombongan siswa SD itu. Sejauh manakah mereka mengenal Multatuli. Alhasil, salah satu anak menjawab, “Patung ini adalah Eduard Douwes Dekker.”

Jawaban sederhana dari pengetahuan si anak itu, bagi saya sudah lebih dari cukup. Sebab dari sanalah seiring masa pertumbuhan, ketertarikan mereka akan dikembangkan lewat mesin pencari di gawai, internet maupun buku-buku di perpustakaan. 

Tak jauh pula dari monumen Multatuli, juga berdiri patung Adinda. Sosok perempuan bumiputera yang menjadi tokoh di dalam karya sastra klasik Max Havelaar dengan Saidjah tokoh lelaki bumiputera lainnya.

Di Museum Multatuli, saya kembali mengenang dan mengingat bagaimana Max Havelaar mengubah segalanya. Keberanian ia sebagai asisten residen membongkar praktik gelap dari Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara dan Demang Pajangkujang Raden Wira Kusuma, menumbuhkan jiwa merdeka masyarakat pribumi melawan kesewenang-wenangan.

Sekilas Pandang Museum Multatuli

Tertulis sajak di salah satu ruangan, “Saya telah menyaksikan/bagaimana keadilan telah dikalahkan/oleh para penguasa/dengan gaya yang anggun/dan sikap yang gagah. Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka,” oleh W.S. Rendra berjudul lengkap “Sajak Demi Orang-orang Rangkasbitung”.

Sajak itu terpajang indah di salah satu ruangan. Indah pula sikap Belanda yang pongah digambarkan Rendra dengan sikap seolah-olah ia berbicara kopi di tanah sendiri padahal tanah dari masyarakat bumiputera. Itulah kiranya sepenggal sajak yang bisa diresapi secara langsung dari Museum Multatuli, dan beberapa ungkapan sastrawan lainnya termasuk Pramoedya Ananta Toer.

Museum Multatuli berdiri di atas tanah seluas 1934 meter kubik. Memanfaatkan bangunan bekas Wedana Rangkasbitung yang berdiri sejak tahun 1923. Jika di depan saya mendapati pendopo, maka di dalam saya mendapati ada sekitar tujuh ruangan berisikan masing-masing histori bersambung.

Pengunjung bisa masuk setelah registrasi dan membayar simaksi tiket yang cukup murah Rp2.000/orang. Saya, Abi, dan Akid sudah bisa masuk menjelajahi ruang narasi museum dengan aneka bukti fisik, artefak, dan buku replika Max Havelaar dalam berbagai bahasa.

  • Museum Multatuli
  • Museum Multatuli

Di ruang pertama, saya bisa melihat secara langsung tampilan instalasi patung Douwes Dekker yang menghadapkan kepala ke arah kanan. Di ruang selanjutnya terdapat penjelasan sejarah kopi mengapa ia sampai di Rangkasbitung, Lebak, dan sekitarnya; beberapa pajangan alat pembuat kopinya serta ikat kepala dari masyarakat Baduy Luar, Baduy Dalam dan topi residen.

Ruang selanjutnya ke arah dalam dengan pola berbentuk ‘T’ itu semakin nampak luas. Ada pajangan batu ubin bekas rumah Douwes Dekker lama, karya-karyanya yang replikaan, salinan surat kepada Raja Willem III dan ketakjuban tokoh nasional yang terilhami dari sosok Multatuli. Berkenaan tata ruang, Museum Multatuli didesain dengan gaya modern fraktal yang tidak simetris dan terdapat sistem pencahayaan elegan.

Akses ke museum tidaklah sulit. Dari stasiun Rangkasbitung pengunjung bisa naik angkutan kota atau ojek menuju arah Alun-alun Lebak. Sementara rute kereta bisa diakses dari Stasiun Tanah Abang dengan lama perjalanan hingga dua jam dari Tanah Abang.

Pandangan saya terhadap Museum Multatuli sama halnya memandang timbulan matahari di pagi hari. Meski berdiri sudah cukup lama dari tahun 2018, tapi energinya masih tetap menyala sampai kapan pun. Karena karya Multatuli tak akan pernah lekang di panas dan tak akan lapuk di hujan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar