Hujan turun ketika saya dan rombongan tiba di Bandara Kualanamu, Medan sore itu. “Hujan nih, besok ‘kan kita akan memasuki gua basah, mungkin rencana itu kita urungkan saja!” ujar Hannif, salah satu rekan saya dalam perjalanan kali ini. Ucapan Hannif serentak menggetarkan rasa khawatir pada diri saya yang belum pernah menginjakkan kaki ke dalam gua. Namun, rasa penasaran begitu membumbung tinggi. Sembari menuju Batu Katak, saya terus memupuk harapan supaya cuaca esok hari cerah. Pun, jarak yang sudah saya tempuh dari Jawa hingga Sumatra membuat tekad ini semakin bulat. Jika kondisi memungkinkan, setidaknya saya harus ke di Gua Air.
Gua Air terletak di Batu Katak, sebuah dusun yang menjadi kawasan penyangga di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Untuk tiba di sana, kami menempuh sekitar tiga hingga empat jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat dari Bandara Kualanamu, Medan. Cukup lama, tp sepadan dengan perjalanan menyenangkan yang sudah menghadang di depan mata.
***
Pagi harinya, semesta mendukung. Cuaca begitu cerah! “Aman kok kita bisa masuk ke dalam gua dengan cuaca seperti ini. Itu juga ada rombongan mau jalan ke sana.” Pak Darma, pemandu lokal yang akan menemani perjalanan kami selama di Batu Katak menyampaikan informasi yang membuat jantung saya tiba-tiba berdegup kencang.
Melihat ada rombongan lain yang juga sedang menuju Gua Air, rasa khawatir saya berkurang. Malah tiba-tiba berganti menjadi semangat untuk menyaksikan secara langsung pesonanya. Rombongan tersebut jalan duluan ke sana, sembari saya dan yang lain mempersiapkan peralatan serta perbekalan yang akan kami bawa.
Kami, rombongan kedua, mulai memasuki hutan dan menyusuri jalur setapak, lalu melewati dua jembatan. Jembatan pertama, terdapat bebatuan di atasnya. Lalu jembatan kedua, terbuat dari bambu. Jembatan ini kami gunakan untuk menyeberangi sungai. Sejenak, kami tiba di Jungle River—sebuah rumah makan, penginapan, dan penyedia safety equipment seperti helm maupun pelampung.
“Untuk keamanan dan menghindari hal yang tidak diinginkan, mari kenakan helm dan pelampung,” ujar Pak Darma sembari menuju lokasi penyewaan alat keselamatan.
Karena barang bawaan cukup banyak—ada helm, pelampung, dan peralatan pribadi masing-masing orang—membuat kami tak cukup nyaman saat trekking. Oleh karenanya, kami meneruskan perjalanan dengan menyewa jasa porter untuk membawa seluruh barang tadi.
Sedikit tips dari saya untuk kamu yang akan menelusuri Gua Air di Batu Katak, hal utama yang perlu dipersiapkan yaitu stamina fisik, karena perjalanan dari starting point sampai ke ekor gua membutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan, dengan jalur menanjak dan menurun. Selain itu, karena hutan yang kami lalui mempunyai topografi basah serta lembab, sebaiknya pejalan menggunakan pakaian tertutup seperti celana dan kaos panjang, kaos kaki, dan membawa semprotan anti nyamuk yang dapat digunakan untuk menghalau pacet jika tergigit olehnya.
Melanjutkan perjalanan menyusuri hutan, kami ditemani oleh Belo—si anjing pintar yang biasa menemani warga, para pemandu, dan wisatawan yang hendak melakukan trekking di Batu Katak. Kali ini ia menemani kami selama perjalanan menuju Gua Air. Menyusuri setiap tanjakan dan turunan, juga aliran sungai. Pun, kami melewati jalur yang tertutup pohon tumbang. Dengan sigap, Pak Darma mengeluarkan golok untuk memangkas bagian pohon tersebut supaya kami bisa melewatinya.
Butuh waktu hingga satu setengah jam menyusuri hutan untuk tiba di ekor Gua Air. Kami itirahat sejenak sembari mengisi perut yang mulai tergetar memasuki waktu makan siang. Pak Darma yang sangat sigap lalu mengeluarkan nasi goreng dari dalam tas yang ia bawa. Nasi goreng tersebut merupakan olahan warga sekitar.
Perut kenyang, saatnya bersiap mengenakan mengenakan helm dan pelampung. Sebelum jalan memasuki gua, kami melingkar untuk berdoa. Tentunya tak lupa memeriksa kelengkapan personil. Satu personil, Belo, ternyata harus kembali, ia tidak ikut serta memasuki Gua Air.
“Sudah biasa dia [Belo] ikut kami ke hutan gini. Nanti, dia bisa pulang sendiri,” Pak Darma berkisah sembari menuju ekor Gua Air.
Seperti jendela kecil, kami mengantri bergantian memasuki ekor gua. Hening, gelap, dan dingin, begitulah suasana yang saya rasakan. Kaki kami terus melangkah menyusuri gelapnya sungai bawah tanah dengan ketinggian air sedalam 30 cm hingga 70 cm. Gua Air ini memiliki panjang 997 m, dikelilingi dengan dinding batuan stalaktit dan stalagmit yang masih aktif meneteskan air.
“Ini kita berada di bawah puluhan kelelawar kecil,” Pak Darma mengarahkan jari ke atas langit-langit gua.
Semua serentak mengikuti arah jari Pak Darma. Pantas sejak tadi tercium bau sangit menyengat, ternyata kami berdiri tepat di bawah puluhan kelelawar kecil. Pun, kami bertemu dengan laba-laba dan jamur yang dapat menyala jika terkena cahaya.
“Di sana ada batuan yang bentuknya seperti mahkota, tapi patah kemarin terseret air waktu gua ini banjir.” lanjutnya.
Pak Darma juga menceritakan bahwa ada batang potong cukup besar yang tersangkut di antara dinding gua, berada sekitar 3 meter diatas kami berdiri. Cerita tersebut menggetarkan kembali rasa khawatir saya yang semula memudar. Terasa sunyi dan begitu mencekam. Lebih lagi, kami sudah menempuh waktu satu jam perjalanan menyusuri Gua Air, namun tak kunjung menemukan jalan keluar.
“Kita masukan semua peralatan ke kantung ikan, nanti di depan, kita akan berenang,” terang Pak Darma.
Sesuai arahan Pak Darma, kami kinggah sejenak dan memasukan barang-barang elektronik ke dalam plastik besar yang diikat dengan tali ban karet. Berjarak 200 meter di depan pemberhentian kami, mulut Gua Air yang juga menjadi pintu keluarnya mulai tampak.
Melanjutkan perjalanan menuju mulut Gua Air, kami harus berenang karena kedalaman air mencapai 3 meter. Inilah pentingnya ketika menyusuri gua, kita semua harus mengenakan helm untuk melindungi kepala berbenturan dengan bebatuan dan juga pelampung untuk berjaga bila pijakan kaki cukup dalam.
“Akhirnya, kita menemukan sinar matahari!” ujar Alif—salah seorang rekan yang turut menyusuri Gua Air bersama saya—dengan gembira. Setiba di luar gua, rintik hujan menyambut. Kami pun segera bergegas kembali trekking menuju lokasi river tubing.
Start point aktivitas river tubing berlokasi di Kuala Bandar Setia dan finish point berada di Sungai Bekail, dekat dengan perkampungan Batu Katak. Waktu tempuh tubing sekitar 20–25 menit, mengikuti deras dan tidaknya jeram sungai. Tubing di sini cukup menarik. Peralatan yang digunakan yakni ban berukuran besar dan kecil yang dirakit manual menggunakan tali, serta tongkat bambu kecil yang memiliki panjang sekitar 2,5–3 meter. Tongkat ini berfungsi sebagai pengendali arah “perahu” ban. Kami terbagi menjadi dua kelompok pada aktivitas ini. “Pengemudi” pun duduk pada bagian depan dan belakang perahu ban.
Air sungai berwarna hijau kebiruan kami lewati. Di sisi kanan dan kiri, bebatuan yang meliuk memantapkan suasana jadi makin asri. Terdengar dari kelompok sebelah, mereka menyanyikan lagu menggunakan nada “Jingle Bell” dengan penyesuaian lirik. Membuat kami tambah semangat.
“See the monkey, see the bird, see the orangutan. Hey… Hey… Jungle trek… Jungle trek… in Batu Katak. See the flower… See the tiger… Everybody ruuuuuuuumnnnsss…”
Perahu lalu menepi, menandakan usai sudah kegiatan tubing. Kami menyempatkan untuk berfoto bersama sebagai kenangan perjalanan kali ini. Lalu menutupnya dengan bercengkrama sembari mengambil barang-barang elektronik yang semula dikumpulkan dalam plastik besar.
Rintik hujan masih menemani sore kami. Saatnya pulang kembali menuju penginapan untuk membersihkan diri.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menulis itu wadah menuangkan pikiran selain bermain dengan boneka kambing dan Anabul.