Ketika laut memanggil para lelaki Bajo, para perempuannya diberi tugas yang berbeda; menghimpun hasil laut yang terkumpul untuk dijual ke pasar. Setiap pagi buta, para perempuan Bajo akan pergi ke pasar bersama-sama menaiki oto. Kalaupun ada yang malas atau lagi enggan, mereka akan menjual ke sesama, baru kemudian dihimpun untuk dijual di pasar. Marlina Tasman, Istri dari Pak Said, berperan sebagai pengepul ikan dari sesama nelayan Bajo. Hari-hari pasar berlangsung pada setiap Jumat, Selasa, dan Minggu.
Pasar yang terletak di Desa Oringbele dijejali orang-orang yang datang dari berbagai tempat. Para pedagang yang sedari pagi sudah sibuk mengatur tempat dan dagangan, menawarkan kepada para pengunjung yang lewat. Ada cabai, tomat ceri, drum air, baju kaos, ikan, hingga gorengan. Semua lengkap, satu paket dalam ukuran pasar yang pada sore hari bisa berubah menjadi lapangan sepak bola. Kalau mau dibandingkan, Desa Oringbele adalah pusat keramaian terdekat dari Mekko. Jauh sedikit ada Waiwerang, yang tentunya menyediakan segala macam kebutuhan lebih lengkap dan lebih ramai.
Pasokan listrik hanya bisa mencapai Waiwuring, sekitar lima kilometer dari Mekko. Batas akses yang paling terlihat adalah dari jalan, setelah jalan bercabang yang memisahkan arah ke Mekko dan Waiwuring. Arah jalan ke Mekko berubah drastis, dari semula aspal, menjadi jalan bebatuan, yang melambatkan laju kendaraan.
“Dulu lebih parah, jalannya tanah semua,” celoteh Ipan, sambil membawa oto dengan pelan. Terakhir, Mekko menerima janji listrik yang akan direalisasikan pada 2023. Orang-orang Mekko sebenarnya sudah tidak mau percaya, tapi apa daya, siapa lagi yang bisa memasang listrik satu dusun selain perusahaan negara?
Ketiadaan listrik dari negara membuat semua kebutuhan listrik bergantung kepada tenaga matahari Matahari yang menyengat adalah keuntungan yang dimanfaatkan orang-orang Bajo di Mekko untuk mengisi daya aki mereka dengan panel surya. Meskipun semua rumah sudah diberikan sumbangan sebuah panel surya, nyala lampu tidak pernah optimal pada malam hari. Lampu di rumah Pak Said hanya mampu bertahan dari jam enam sore dan mulai redup sejak pukul tiga pagi. Ketika saya mengisi daya beberapa perangkat secara bersamaan, lampu penanda voltase kerlap-kerlip menandakan kekuatan aki yang tidak mampu menahan beban banyak secara bersamaan.
“PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) ini 2018, lalu bantuan rumah bata ini pendataannya 2018 dan pengerjaannya pada 2019,” terang Sahidin yang menjabat sebagai Kepala Dusun Mekko. Sebelum datang bantuan panel surya, orang-orang Mekko mengandalkan listrik yang dihasilkan oleh mesin diesel. Boros dan berisik.
Sampai sekarang, mereka bisa bertahan tanpa listrik, tapi dengan adanya listrik akan banyak mempermudah mereka untuk hidup, semisal menyimpan ikan hasil tangkapan yang tidak akan lagi bergantung pada ketersediaan es batu, yang dipasok dari dusun lain.
Pernah suatu ketika, saat salah satu pesohor beserta rombongan instansi pemerintah berkunjung ke Mekko, ketika mereka kembali dari berwisata dan tiba di dermaga Mekko saat matahari sudah redup dan gelap menyelimuti, mereka tidak mengenali letak Mekko karena keadaan yang gelap gulita. Setelah itu, janji-janji pun bertebaran untuk membuat Mekko semarak dan menyala. Tapi bahkan kita sebagai pembaca pun tahu, bahwa sampai hari ini, semua itu hanya pemanis bibir belaka.
Dentuman pengeras suara dari seberang rumah yang memutar lagu disko yang menghentakkan dada. Dari sisi lain, lagu-lagu akustik khas kafe mengalun, ikut mengisi udara Mekko dengan denting gitar dan suara yang dibuat mendayu-dayu. Di dalam rumah Pak Said, lagu khas dangdut kondangan membahana untuk menyemarakkan suasana siang itu.
Warga yang bergantian untuk kerja bakti membangun masjid mungkin merasa terhibur di siang yang suntuk, daripada hanya menikmati panas matahari tanpa henti, lebih baik mendengar suara perang lagu, bukan? Irama dangdut kemudian beralih pada lagu khas timur, dengan bahasa yang saya kurang mengerti. Temponya lambat, tidak ada suara gendang yang memacu gemuruh di dada, melenakan hampir satu rumah yang terlelap dalam lamunan panjang dan angan-angan tentang Mekko yang akan bangun dari tidur panjang.
Sorenya, Pak Bakri dan Fahri mengajak kami untuk ikut serta mengambil pukat yang telah mereka tebar pada siang hari. Sebelum matahari hilang dari peredaran, perahu yang disetir Pak Bakri berputar mengelilingi wilayah yang ditebar pukat, dengan Fahri yang menepuk-nepuk permukaan air dengan bilah bambu.
“Buat apa begitu, Pak?”
“Biar ikannya lari ke arah pukat.”
Kami menunggu sampai hari kian senja hingga Pak Bakri memutuskan untuk menarik pukat. Sayang, tangkapan ikan hari ini tergolong sedikit. Pukat yang terbentang sekitar 350 meter itu lebih banyak menangkap ganggang dan tersangkut terumbu karang.
“Hari ini banyak sampah, karena ombak,” terang Pak Bakri sambil menyoroti pukat dengan senter kepalanya.
“Kurang ajar!” gerutu Fahri. Adi, sepupunya, yang juga ikut melaut memperhatikan ganggang yang tersangkut dan mencoba melepaskannya satu per satu. Hanya ada lampu senter kepala para pencari ikan yang berkelap-kelip. Saya melihat sekeliling dan kehilangan orientasi hingga bingung menentukan di mana Mekko berada. Gelap. Kedepannya, Mekko mungkin akan menyala terang, tapi entah kapan. Di tengah kepungan gelap dan air laut, saya hanya bisa merapal doa sembari mencari kesempatan untuk bisa kembali ke sini.
***
Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.
Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.