Pagi itu, saya bersama dengan keenam teman indekos pergi meninggalkan Kota Medan, melaju menuju suatu tempat yang direkomendasikan Gina. Kebetulan rumah Gina berada di Kabupaten Langkat yang tak jauh dari lokasi yang ingin kami tuju yakni Pelaruga.

Dengan mengendarai sepeda motor, saya menikmati perjalanan selama satu jam lebih. Sebelumnya, saya dan teman-teman menjemput Gina di persimpangan jalan. Sesaat setelahnya, kami melipir ke tepi karena beberapa laki-laki menghentikan motor saya. Berbagai hal muncul di kepala, yang saya ingat hanya orangtua di kampung. Lalu merasa bersalah karena belum meminta izin terlebih dahulu kepada mereka.

Mujurnya, ada warga yang melihat saya dari kejauhan dan memberi isyarat untuk meninggalkan sekumpulan laki-laki tersebut. Saya dan teman-teman mulai panik dan mengikuti langkah warga tersebut. Beliau adalah tokoh masyarakat setempat. Dengan baiknya beliau mengakui saya dan teman-teman sebagai saudara yang ingin berkunjung ke rumahnya kepada sekumpulan laki-laki yang menghentikan sepeda motor tadi. Akan tetapi, tak semudah itu untuk menerima kebaikan orang yang baru dikenal, beberapa pertanyaan juga muncul di kepala saya, “Bisa saja beliau bagian dari sekumpulan laki-laki  yang mencegat kami di jalan, bukan?” Kemudian bantahan itu terpatahkan, sebab Gina mengenali si bapak. 

Perjalanan pun kami lanjutkan dengan rasa takut, senang, dan sedih yang bercampur menjadi satu. Sekitar lima belas menit dari kediaman si bapak, kami sampai di tujuan. Motor telah terparkir rapi, akan tetapi kolam abadi tak kunjung saya temui. Hanya ada sambutan hangat dari sablon ukuran besar yang bertuliskan “Mejuah juah Pelaruga”. Kata mejuah juah sendiri merupakan bahasa Karo yang berarti sejahtera. Biar saya beri tahu dahulu, saya bersama enam rekan lain. Mereka adalah Dina, Ade, Fitri, Lia, Wita, dan Gina. Tak ada satu pun laki-laki di antara kami.

Pemandu Alam Rumah Galuh
Pemandu Alam Rumah Galuh/Anggi Kurnia Adha

Seorang laki-laki kemudian menghampiri dan berkata “Mau ke Pelaruga, Kak?” serentak kami mengiyakan pertanyaannya. Ternyata ia adalah salah satu guide di Pelaruga, namanya Bang Asrul. Dengan membayar lima puluh ribu rupiah, sudah bisa menikmati keindahan Pelaruga. Biaya tersebut sudah termasuk parkir dan guide.

Bang Asrul menjelaskan peraturan selama di Pelaruga dan memberitahu kami untuk membawa satu ponsel saja menuju lokasi. Hal ini dilakukan agar meminimalisir hal-hal yang tak diinginkan. Sebab destinasi yang kami kunjungi adalah wisata air. Selain itu, Bang Asrul juga menjelaskan untuk tidak membuang sampah sembarangan dan berbicara kotor. Tentu saja, sebagai pengunjung kita wajib mematuhinya.

Bang Asrul, Guide di Pelaruga
Bang Asrul, guide di Pelaruga/Anggi Kurnia Adha

Setelah mengurus registrasi dan menitipkan barang-barang, saya dan teman-teman mengikuti langkah kecil Bang Asrul menuju lokasi pertama, “kolam abadi”. Perlahan langkah demi langkah menyusuri jalanan. Kanan dan kiri alam masih asri, hijau, pohon-pohon masih terus bertumbuh. Sesekali terdengar suara kicauan burung yang menjadi asupan energi  tersendiri.

Di tengah perjalanan, kami harus melewati titian yang terbuat dari bambu. Awalnya saya ragu karena takut jatuh, terlebih jika melihat ke bawah. Ada aliran air yang cukup deras. Namun, saya kumpulkan keberanian karena kami semakin dengan tujuan. Saya menandainya dengan suara gemericik air semakin keras, pertanda sumber air semakin dekat.

“Kolam Abadi” dengan airnya yang bening seperti kaca
“Kolam Abadi” dengan airnya yang bening/Anggi Kurnia Adha

Tak lama, kami sampai di sana. Dari kejauhan tampak “kolam abadi” dengan airnya yang bening seperti kaca. Warnanya biru, agak kehijauan. Kedalamannya mencapai hampir 3 meter. Karena sudah mengenakan pelampung, saya tak ragu untuk menceburkan diri, menikmati dingin dan segarnya kolam yang mulai terkenal setelah masuk dalam tayangan program travelling di salah satu stasiun televisi.

Dari sini, Bang Asrul kemudian mengajak saya dan teman-teman menuju titik “wisata” kami selanjutnya. Dengan pakain basah, kami menapaki jalanan naik dan turun untuk sampai tujuan. Ia membawa kami ke sebuah tempat yang lebih tinggi untuk bisa merasakan lompatan menuju aliran kolam. Tanpa berpikir panjang, satu persatu diantara kami pun mencobanya. Tentu saja bukan saya yang pertama mencoba, mengingat kaki baru saja pulih dari operasi.

Tak lupa, Bang Asrul memberi arahan untuk duduk di dalam air dengan saling mengulurkan kaki ke depan dan memegang erat kaki teman-teman. Dengan begitu tubuh kami membentuk seperti rel kereta api atau biasa disebut body rafting, siap melaju dengan arus air menuju Air Terjun Teroh-Teroh, lokasi berikutnya.

Saat mendekati air terjun, kami kembali trekking dengan medan yang cukup miring setelah keluar dari air. Lalu, kami menapaki anak tangga dengan tali yang tergenggam erat di tangan untuk sampai ke permukaan air terjun. Air tampak mengalir deras dari tebing-tebing bebatuan, tanda bahwa kami sudah tiba di Air Terjun Teroh-Teroh. 

Air terjun Teroh-Teroh
Air Terjun Teroh-Teroh/Anggi Kurnia Adha

Kami menepi di salah satu tumpukan kayu besar yang berada di dalam permukaan air. Dengan langkah penuh hati-hati dan saling menggenggam tangan satu sama lain, kami akhirnya bisa berdiri di atas bongkahan kayu besar. Dengan begitu, air dari Air Terjun Teroh-Teroh langsung mengalir dan menyentuh tubuh kami.

Setelah menyusun barisan dengan rapi di bongkahan kayu besar, Bang Asrul mengabadikan kebersamaan kami yang bagaikan tujuh bidadari penghuni air terjun. Sesekali saya dan teman-teman memijat bahu satu sama lain untuk menambah stamina yang sudah terkuras selama perjalanan. 

Sekitar lima belas menit berada di atas bongkahan kayu besar, Bang Asrul mengarahkan kami untuk turun kembali ke dalam air agar tidak terus menggigil kedinginan. Pun, hari semakin gelap. Pertanda kami harus berpisah dengan Air Terjun Teroh-Teroh. 

Anak tangga kembali kami naiki dengan sedikit beban yang semakin bertambah, yaitu baju saya dan teman-teman sudah basah. Sehingga tali kembali menjadi pacuan untuk bisa sampai ke atas. Saya dan teman-teman mengucapkan terima kasih dengan adanya Bang Asrul yang begitu mengayomi dan memaklumi  tingkah laku perempuan seperti saya, Dina, Ade, Fitri, Lia, Wita, dan Gina. 

Perjalanan menyusuri Pelaruga di Kabupaten Langkat akan menjadi perjalanan yang sangat dirindukan. Setelah sampai di posko awal, saya dan teman-teman berbenah diri dan kemudian berpamitan dengan Bang Asrul juga masyarakat setempat. Perjalanan pun kembali dilanjutkan menuju indekos di Medan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar