Kesenjangan tidak selalu berarti pertentangan, ada keapikan pariwisata yang tercipta dari garis hidup sebagian masyarakat yang berbalut kemiskinan. Bagi mereka yang kaya, tentulah ini saatnya untuk melihat bagaimana si miskin hidup dan bekerja di lingkungan yang termarjinalkan dan tidak higienis, bisa melihat dengan pengawasan yang tinggi tanpa harus menjadi bagian dari mereka. Tapi benarkah begitu?
Pariwisata kumuh adalah sebuah model “tidak biasa” dari pariwisata modern yang menyasar sekelompok masyarakat miskin di perkotaan untuk menjadi objek wisata. Lika-liku kehidupan mereka lengkap dengan sepenggal permukiman kumuh di pinggir kota adalah lanskap menarik baru untuk dijual dengan bungkus eksotisme. Meskipun banyak menjadi pertentangan, pariwisata kumuh tetap menarik minat orang-orang yang penasaran bagaimana rasanya hidup di daerah pinggiran.
Menilik dari sejarahnya, pariwisata kumuh yang kerap kali disebut poverty tourism/slum tourism/reality tours berkembang karena ada jurang yang besar antara orang miskin dan orang kaya, yang kemudian kemiskinan dilekatkan kuat dengan stigma negatif seperti kekerasan, narkotika, terbelakang, kebodohan.
Catherine Cocks memaparkan dalam bukunya Doing the Town: The Rise of Urban Tourism in the United States 1850-1915, bagaimana kemiskinan di Kota New York menjadi tontonan turis-turis kaya dari London. Kegiatan ini sekaligus menjadi ajang perbandingan daerah kumuh New York dengan tempat asal mereka. Pariwisata daerah kumuh kemudian juga diperkuat dengan adanya perusahaan-perusahaan yang mengkomersialisasi dengan menyediakan fasilitas tur dengan pemandu di daerah New York, Chicago, dan San Francisco Kemudian pada awal abad dua puluh, pariwisata kumuh menjadi bagian integral dari “wisata kota”.
Tren ini kemudian dengan cepat menyebar ke berbagai belahan negeri. Data yang dirangkum dalam buku Contemporary Geographies of Leisure, Tourism, and Mobility menunjukkan pariwisata kumuh berhasil mencatatkan kunjungan yang signifikan di berbagai negara seperti Afrika Selatan, Brazil, Namibia, Kenya, India. Sementara untuk negara-negara seperti Mesir, Thailand, Indonesia, Jamaika, Argentina, Meksiko pertumbuhan yang terjadi tidak terlalu tinggi.
Studi di Afrika Selatan menunjukkan bahwa sebagian besar keuntungan lari kepada operator non-lokal. Juga partisipasi masyarakat miskin yang sedikit karena terhalang oleh sumber daya manusia dan pendidikan yang rendah. Belum lagi masalah rasial yang menjadi basis masalah sejak lama di Afrika Selatan. Begitu juga di Rio de Janeiro, masalah yang dihadapi kurang lebih sama. Namun ada juga sisi positif yang dapat diambil dari wisata kumuh, semisal yang terjadi di Bangkok, tepatnya di Pon Mahakan yang semestinya digusur, kemudian memiliki nilai tawar di mata pemerintah kota. Berbagai kalangan mengkritisi salah satu bentuk pariwisata ini sebagai “tidak etis” dan “menjual kemiskinan sebagai tontonan”. Bagaimana dengan wisata kumuh yang ada di Indonesia?
Wisata Kumuh, Wisata Pembuka Mata
Di Indonesia, wisata kumuh digagas oleh Ronny Poluan pada 2008 dengan mendirikan Jakarta Hidden Tour, dengan tujuan pemukiman kumuh di sekitar Ciliwung, Tanah Abang, Papanggo, Galur, dan Luar Batang. Pariwisata kumuh sempat memantik banyak komentar terkait keabsahannya sebagai “wisata”. Pemerintah Indonesia melalui Menteri Pariwisata, Jero Wacik, menyesalkan adanya tur wisata yang memperlihatkan kemiskinan sebagai pertunjukkan. Dirinya dengan tegas menyatakan seharusnya kemiskinan dienyahkan, jangan malah dijadikan tontonan.
Dalam sebuah liputan CNN, Ronny menyatakan bahwa ia menyebut tur ini sebagai real Jakarta. Bagaimana Jakarta direpresentasikan sebagai kota megapolitan, ternyata ada wajah Jakarta yang disembunyikan. Para turis mancanegara dibawa oleh Ronny, juga mengomentari bagaimana kontrasnya kehidupan Jakarta.
Kerri Bell, salah satu turis yang ikut tur tersebut, yang saat itu diwawancarai CNN mengungkapkan keinginannya untuk melihat langsung Jakarta secara nyata.
“I’ve been in Asia once before and we didn’t want to just gloss over the surface and see all the things you can see in a western country. It feels to me much more like the real Jakarta, to see what drives it. To see that is so much more valuable than coming and lying on the beach.”
Ronny menekankan tur untuk melihat bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat yang hidupnya terpinggirkan. Pada tayangan tersebut para turis diajak untuk melihat bagaimana seorang perempuan sedang membuat tahu dengan tempat yang sederhana. Bagi para turis, pemandangan inilah yang mereka ingin lihat. Di balik gedung-gedung megah Jakarta, ada sekumpulan manusia yang hidup dengan ekonomi yang buruk di tempat yang terhimpit.
Benarkah tur ini mengeksploitasi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan seperti mana dalam definisi wisata kumuh?
“Melatih kepekaan,” ujar Ronny memulai pembicaraan.
“Kemiskinan itu adalah satu hal yang membuat kita nggak nyaman. Saya marah pertama kali melihat kemiskinan,” lanjutnya. Perlu kita ketahui bahwa kemiskinan di Jakarta, dari data BPS bulan September 2021 menyebutkan ada 498.029 ribu orang yang hidup miskin, yang berarti ada 498.029 ribu orang pendapatan hariannya di bawah 1,90 dollar (sekitar Rp28.688 kurs sekarang). Lebih kontrasnya, menurut Ronny, di dalam pancasila, kata keadilan disebutkan sebanyak dua kali, namun di mana letak keadilan itu pada kehidupan kita sehari-hari?
Ronny mengaku tur ini berawal dari sebuah ketidak sengajaan, ketika dirinya membawa seorang sineas berkeliling untuk membuat film dokumenter yang bertema kemiskinan. Dirinya kemudian disarankan oleh sang sineas untuk membuat tur ke tempat-tempat yang telah dikunjunginya.
Banyak orang asing yang tertarik dengan tur yang dikelola oleh Ronny, baik yang langsung dari luar negeri maupun ekspatriat. Media yang saat itu mengetahui kegiatan Ronny, mereka berbondong-bondong mewawancarai dan meliput Ronny seputar turnya. Ronny dan Jakarta Hidden Tour kemudian meledak dan menjadi topik pembicaraan karena “pariwisata kumuhnya” yang tidak biasa. Tur tidak biasa Ronny kemudian dikomentari oleh berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun pegiat sosial yang menyebut tur ini sebagai sesuatu yang tidak pantas.
Dengan latar belakang kesenian dan sempat mengenyam pendidikan di IKJ selama beberapa semester, pemikiran Ronny untuk menciptakan sesuatu yang baru mengalir, dan akhirnya jadilah tur yang tidak biasa ini.
Gedung-gedung tinggi, transportasi modern, jalanan yang luas, semuanya adalah kosmetik untuk menutupi kemiskinan ini. Ronny memilih titik kumpul di Plaza Indonesia, selain gampang untuk dituju, sekaligus memperlihatkan kontrasnya daerah sekitaran Plaza Indonesia dengan daerah tujuan. Ketimpangan itu nyata.
Menurutnya, kemiskinan perlu diekspos supaya menjadi perhatian bagi kita semua. Kemiskinan bukan penyakit, kemiskinan bukanlah hal yang memalukan bagi yang menyandangnya, tapi bukankah kita sepakat untuk membentuk negara yang mana menginginkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Siapa yang membuat kita berpikir kemiskinan dekat dengan kejahatan? Apakah mereka memang ditakdirkan untuk hidup miskin atau justru mereka justru dimiskinkan oleh sistem yang berlaku di kehidupan sosial kita?
Kemiskinan Jangan Ditutupi
“Sekarang tergantung anda sekarang melihatnya, dari sisi mana, perspektif apa, dan pendekatan anda bagaimana.”
“Yang terjadi di saya (terkait tur) memang pro dan kontra, apalagi waktu itu diberitakan media gila-gilaan. Di halaman sekian, di semua media deh waktu itu,” kenangnya.
Semua orang malu. Semua orang menudingnya mengeksploitasi. Padahal separuh keuntungan dari tur dia gunakan untuk kegiatan sosial yang dilakukan oleh Yayasan Interkultur, separuh keuntungan lainnya untuk masyarakat di sana. Orang-orang yang mengikuti turnya pun merasakan kesan yang mendalam melihat kehidupan yang tidak biasa, dan kemudian tergerak untuk membantu; ada yang menjadi penelitian, ada yang menyumbangkan buku-buku, ada yang melakukan kegiatan belajar-mengajar, ada juga yang membagi-bagikan uang.
Salah satu penyebab hebohnya pemberitaan menurut dirinya adalah karena salah paham penggunaan kata “pariwisata”. Sudah menjadi gambaran umum bahwa pariwisata seringkali diasosiasikan dengan jalan-jalan ke tempat yang indah dan menarik. Apabila kita memikirkan kata pariwisata, maka otak kita akan mengimajinasikan pantai, gunung, cagar budaya, atau tempat-tempat hiburan lainnya. Oleh karena itu tur ini memuat kata hidden, karena memang tempat-tempat tersebut cenderung tersembunyi di antara gedung-gedung.
“Makanya hidden, tersembunyi. Wilayah Jakarta yang tersembunyikan. Sebenarnya judul yang benar itu Hidden Jakarta Tour cuma sudah kadung Jakarta Hidden Tour. Perjalanan Jakarta yang tersembunyi, dalam hal ini kemiskinan,” ucapnya.
Meskipun orang luar negeri ramai mengikuti tur ini, hanya sebagian kecil dari orang lokal yang ikut. Itupun biasanya dengan kepentingan tertentu semisal mengambil data untuk bahan skripsi/jurnal. Secara umum, menurut Ronny, masyarakat kita tidak tertarik karena mungkin menilai tur ini tidak ada manfaatnya sama sekali.
“Ngapain jalan-jalan liat orang miskin, udah gitu bayar lagi hahaha,” kelakar Ronny.
Kemiskinan memang tidak hanya terjadi di Jakarta saja. Kemiskinan memang menjadi masalah bersama umat manusia, tapi mengapa untuk mengentaskannya saja, seakan kita tidak berdaya? Tur ini memang hanya segelintir usaha yang dilakukan untuk kembali memanusiakan manusia. Di dunia yang sudah menjadi serba cepat, kita luput untuk melihat bahwa di sekeliling kita, ada orang-orang yang hidupnya jauh dari kata nyaman. Mereka tidak berjuang untuk mendapatkan uang segunung, atau menumpuk emas di brankas. Mereka berjuang untuk makan sehari-hari yang kian sulit dipenuhi.
Kampung yang kumuh akan dicat dengan warna warni yang kontras di pandang mata. Dengan sekejap, warga berdatangan dan tempat tersebut viral dengan julukan “kampung pelangi”.Apakah warna warni adalah solusi mengentas kemiskinan di depan mata, hanya di cat dan mendatangkan wisatawan, kemudian semuanya terasa baik-baik saja?
Ronny kembali menegaskan bahwa tur ini akan salah jika hanya berhenti hanya wisatanya saja.
“Yang mengkritik saya itu nggak ngikut (tur), istilahnya nih saya bikin film, anda nggak liat film saya, sudah mengkritik saya, nggak adil dong.” Menurutnya lagi, keindahan tidak harus berbanding sama dengan glamor, bahkan pada kemanusiaan pun ada keindahan. Pada perkampungan kumuh tersebut ada cinta yang tumbuh, ada harapan yang berkembang ada usaha yang terus menerus.
Daripada menyebut wisata yang dikelola Ronny sebagai wisata kumuh, saya lebih tertarik menyebutnya sebagai wisata kemanusiaan. Bukankah kita diajari untuk selalu bersyukur, dan sebaik-baik cara bersyukur adalah berbagi, bukan?
Mengutip kalimat dari salah satu jurnal berjudul Slum Tourism in the Context of The Tourism and Poverty (Relief) Debate oleh Fabian Frenzel, mungkin bisa meringkas beberapa paragraf panjang di atas sebagai suatu kesimpulan. “Wisata kumuh mungkin tidak mengakhiri kemiskinan, tapi mengakhiri beberapa persepsi tertentu tentang kemiskinan.”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.