Bagi Pram, “Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan segala persoalannya,” tutur Pak Soesilo Toer mengulangi ungkapan kakaknya, Pram, saat saya tengah menyambangi pustaka sekaligus rumahnya.
Telah lama saya ingin berkunjung ke Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (PATABA) di Blora, yang diresmikan bertepatan pada hari kematian Pram, 30 April 2006 lalu. Dan barulah di tahun 2022 selepas merayakan hari raya, keinginan itu terwujud.
Saat itu selang dua hari Idulfitri 1443 H dilangsungkan, saya bersama tiga orang kawan berkesempatan melawat ke Blora. Ketiga kawan saya ini, sengaja tidak kembali ke kampung halaman karena beragam alasan. Lalu dari Jogja kami sepakat akan berangkat mengendarai sepeda motor.
Pagi-pagi usai sarapan, kami gegas meluncur lewat rute jalur Klaten, Solo, Surakarta kemudian belok ke Purwodadi. Dengan kondisi jalan ala kadarnya, waktu kami tersita akibat kondisi mudik dan akses yang kurang memadai. Ketika memasuki jalan lintas Purwodadi sebagai jalur alternatif, kecepatan motor terpaksa dilambatkan.
Menjelang zuhur, salah satu kawan bernama Resmi mengarahkan perjalanan untuk rehat sejenak di rumah kenalannya di sebuah desa yang tak jauh dari pusat Kota Purwodadi. Kami merespon tawaran itu dengan senang hati. Selain bisa istirahat, setidaknya bisa berhari raya.
Dua jam berlalu. Selama di sana, tuan rumah ramah sekali. Kami disuguhkan nasi Padang, kue-kue, sirup segar dan nasi lauk sebelum berpamitan. Siang itu cuaca masih panas, namun kami mesti bergegas. Kami menuju Blora—estafet terakhir. Kemudian di tengah jalan hujan menghadang kami sebanyak dua kali. Setelah menunggu dengan sabar, akhirnya kami bisa meneruskan kembali perjalanan dengan tantangan lain, yakni melintasi hutan jati—identitas Blora—sekaligus mengingatkan masa suram era politik kolonialis Belanda dan pembantaian dalam sejarah.
Sebelum Magrib berkumandang kami telah tiba di gapura bertuliskan “Blora Mustika.” Rehat sejenak lalu meluncur ke perhentian akhir, rumah Gufron. Salah satu kawan sejurusan dan komunitas yang telah berlapang dada menyambut kedatangan.
PATABA, Soesilo Toer & Pram
Jarak antara PATABA dengan rumah Gufron cukup terjangkau, jadi tak perlu risau. Hal ini memantik ide untuk melakukan kegiatan lain terlebih dahulu, yakni ke pasar dan memasak. Ketimbang buru-buru menuju rumah Pak Soes yang bisa jadi pagi itu sedang beraktivitas.
Pagi sebelum ke pasar, ibu Gufron menyuguhkan nasi pecel berbungkus daun jati—terima kasih setinggi-tingginya atas keramah-tamahan tersebut—lalu kami ke pasar membeli bahan masak untuk membuat rampa rw, kuliner khas dari Sulawesi Utara yang akan dimasak oleh Ali, pemuda Kotamobagu.
Menjelang siang hari, saya, Gufron, dan tiga kawan lainnya yang sudah siap-sedia mula beranjak. Menempuh waktu 15 menit, kami tiba di pelataran PATABA. Di sana saya mendapati Pak Soes tengah merebahkan badan kemudian seketika terjaga karena kedatangan kami. Lalu berdiri dan menyambut dengan ramah.
Pak Soes menyilakan kami masuk. Sekilas pandang, di halaman saya melihat motor yang biasa dipakai me-rektor (ngorek yang kotor-kotor) dan aneka hasil perburuannya. Juga ada beberapa ekor ayam ternak berkeliaran dan beberapa buah pohon jati serta tanaman lain yang tumbuh di sekitar pekarangan.
Ketika masuk, saya terpesona dengan interior jati rumah kelahiran Pram dan warisan ayahnya—Mastoer, tersebut. Terlihat buku-buku lawas berjejer di rak, lukisan Pram dan foto wajah Pak Soes yang diterbitkan Kompas. Berbagai macam penghargaan mulai piala hingga piagam berjejer dan buku terbitan Pataba Press, menghiasi rak buku lainnya.
Di awal perkenalan, saya tak menyangka Pak Soes begitu bersahaja dan riang menyambut kami—juga tetamu lainnya. Sehingga sepanjang bertamu, seolah tidak ada sekat di antara kami. Pak Soes sepanjang pertemuan sangat mendominasi pembicaraan. Beliau bercerita segala macam; sejarah Blora, pengalaman selama di Rusia, Siberia, cerita unik dirinya dengan masyarakat Eropa, Koeslah abangnya dan Pram. Dan keinginannya mengalahkan Pram dalam segala hal.
Beliau juga bercerita tentang PATABA yang dicap sebagai “perpustakaan liar” karena persetujuan yang tercederai oleh pemerintah. Terlepas dari hal tersebut, PATABA sudah cukup berkembang dan terbilang sukses memajukan budaya literasi di sana. Bahkan satu-satunya pustaka yang menyediakan tempat menginap bagi tetamunya dari jauh. “Tamu dari empat benua sudah ke sini,” ucap Pak Soes.
Hal yang paling saya ingat, yakni topik pembahasan mengenai Dunia Samin karangannya yang ditulis lewat riset selama 20 puluh tahun. Beliau menilai Dunia Samin yang ia tulis adalah folklore, namun dalam buku tersebut tertulis “novel.” Pak Soes menulis Dunia Samin dalam tiga bagian; Dunia Samin I (1963) oleh N.V. Nusantara, Dunia Samin II (1964) dan Dunia Samin III (1978-1979).
Terlepas dari folklore, Dunia Samin berkaitan erat dengan historis panjang di Blora. Samin merupakan representasi gerakan akar rumput dan ‘paham’ yang tumbuh di kalangan petani. Petani yang ingin menentukan nasibnya sendiri, merdeka dari segala kesewenangan pemerintahan Belanda dan menentang atas pajak tanah.
Selain soal Dunia Samin, ia menceritakan kenangan di masa remaja bersama Pram. “Pram saat itu meminta saya sekolah di Jakarta dan menyuruh saya datang ke sana. Namun bukan memperhatikan adiknya, ia malah membiarkan saya mencari penghidupan sendiri untuk meneruskan sekolah,” kenang Pak Soes.
“Tapi bukan berarti Pram abai, ia malah mengenalkan saya dengan beragam buku bacaan. Terutama bacaan-bacaan terkait Uni Soviet dalam hal ini Rusia. Sehingga dengan pengalaman dasar tersebutlah. Akhirnya saya dimudahkan ketika melanjutkan sekolah ke Rusia dengan beasiswa pemerintahan era Bung Karno.”
“Peristiwa yang menarik dari Pram,” Pak Soes kembali mengenang. Istrinya yang terlahir dari golongan kelas ekonomi atas, memilih menikahi Pram dengan alasan, “Aku mencintaimu karena kamu melarat, Pram”. Beliau sempat terkekeh dan kagum dengan sosok abangnya tersebut.
Tanpa terasa detik waktu telah berlalu. Sepanjang kedatangan kami, datang juga dua orang; satu asli Blora dan satu dari Tanjung Priok yang hendak sowan katanya. Disusul sepasang suami-istri dari Pekanbaru, kemudian bergurau, “kami silaturahim ideologis dulu baru biologis—lantaran sesampai di Blora mereka memilih ke rumah Pak Soes terlebih dahulu ketimbang rumah familinya.
Merawat Budaya Literasi
PATABA adalah representasi wajah perpustakaan sekaligus wujud yang mencerminkan etos kerja-kerja literasi. Dari rumah sederhana peninggalan ayahnya, Mastoer, Pak Soes mulai membangun peradaban pengetahuan di sana.
PATABA seperti yang diketahui, yakni Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa yang dalam sejarahnya telah dirintis Pak Soes sejak tahun 2004. Tahun ketika Pak Soes memutuskan untuk menetap di kampung halaman setelah pergumulan panjang di Jakarta.
Di Jakarta, beliau agaknya sudah tidak menemukan kedamaian lagi setelah puluhan tahun silam masa itu keluar dari penjara sebagai tahanan imigrasi bukan PKI—disalah persepsikan oleh kebanyakan masyarakat—‘ogah membaca’. Ia kembali, dan kemudian tanggal 30 April 2006, PATABA berhasil diresmikan bertepatan hari kematian Pram.
Lokasi PATABA berada di Jalan Sumbawa yang kini beralih nama Jalan Pramoedya Ananta Toer. Untuk ke PATABA, aksesnya tidaklah jauh dari pusat kota. Sepanjang berdirinya, PATABA telah cukup banyak berkontribusi. Seperti di tahun 2009, PATABA menerbitkan zine kecil-kecilan menggunakan nama Pataba Press di bawah naungan Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut.
Tahun 2011, Pataba Press melahirkan anak pertamanya berjudul Suwung. Berlanjut Februari 2013, Pataba Press bekerjasama dengan penerbit Semarang menerbitkan buku Pram dari Dalam. Sempat vakum dua tahun, kemudian tahun 2015 PATABA menerbitkan buku Pram dalam Kelambu. Lalu menyusul buku lainnya hingga sekarang sebagai bentuk sumbangsih terhadap gerakan literasi di Indonesia dan membangun budaya baca kolektif.
Di waktu terluang, saya menyempatkan diri bertualang menjelajahi koleksi demi koleksi perpustakaan yang dihadirkan untuk warga dunia tersebut. Bermacam judul saya temukan, mulai buku lawas ke-Indonesia-an hingga buku-buku berbahasa Rusia. Mulai bacaan sastra, sejarah, novel, hingga buku pemikiran tokoh pergerakan.
Tak ketinggalan saya mengamati satu-persatu pajangan yang menghiasi rumah baca tersebut. Dan saya mentok dan tercenung cukup lama mengamati lukisan karya Zein Nitamara, Palangka Raya, 2021 yang mencitrakan sesosok wajah dengan tulisan “Bacalah dan Bakarlah Semangatmu, Membaca dan Menulis”, – Soesilo Toer.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.