Perjalanan kami mulai dari titik kumpul yakni indekos Ade. Meskipun janji temu pukul 10, namun baru sekitar pukul 2 siang kami bergerak meninggalkan indekos Ade menuju indekos Fitri di daerah Medan Tuntungan. Perjalanan sekitar tiga puluh menit, sebelum akhirnya kami berhenti di sebuah masjid untuk menunaikan salat Ashar. Aku yang sedang datang bulan hanya duduk di pelataran tempat air wudhu.
Langit mulai gelap saat kami melanjutkan sisa perjalanan, angin pun masuk melalui celah jaket tebal yang baru saja aku beli di toko barang layak pakai. Harganya memang jauh lebih miring, tapi tetap berfungsi baik untuk menghangatkan tubuh yang mulai kedinginan.
Setelah menempuh waktu kurang lebih satu jam, aku, Lili, Rido, dan Fahwir ketinggalan rombongan di persimpangan jalan. Sedangkan teman-teman lainnya sudah menunggu di pom bensin yang lumayan jauh dari tempat persinggahan kami. Karena ada perbaikan jalan, kami pun harus putar balik dan mencari jalan lain. Kami kemudian melewati perkebunan stroberi yang belum berbuah sebelum akhirnya tiba di pom bensin.
Terlihat Ade, Fitri, Ihsan, Eka, dan Dimas menanti kehadiran kami. Satu persatu mulai membasuh wajah yang kian letih. Namun tidak dengan Fahwir yang sedang menyalakan kompor untuk memanaskan air. Lelaki gondrong tersebut membuat kopi dengan racikannya sendiri, sementara yang lain hanya ikut nimbrung mencicipi. Aku yang sudah menggigil setelah membasuh wajah sangat menikmati kopi buatan Fahwir.
Perjalanan Menuju Bukit Sipolha yang Luar Biasa
Usai menunaikan ibadah salat, kami melanjutkan perjalanan. Cuaca begitu bersahabat, tidak ada hujan, hanya saja udara dingin kian masuk menyusuri pori-pori kulit. Satu per satu motor beriringan membelah jalan. Sesekali obrolan terlontar di motor, agar sopir tak merasa kantuk. Aku yang membonceng Rido saling menyahut, “Apa? Nggak dengar?” “Oh, iya iya.”
Sekitar pukul sembilan, kami sampai di Kota Saribu Dolok, Kabupaten Simalungun. Udara semakin dingin, perut juga mulai keroncongan. Kami kemudian mencari tempat makan dan memilih menu yang sama, sebab tidak ada pilihan lain. Ayam cepat saji beberapa saat kemudian tersaji di meja. Dalam hitungan menit, hanya tersisa tulang ayam dengan piring plastik sebagai alasnya.
Perlahan, aku menilik wajah mereka. Kutemui wajah letih, lesu, namun masih mampu tertawa lepas. Sesekali asap rokok mengelilingi senda gurau di meja makan. Aku yang tidak tahan dengan gumpalan asap tersebut, memundurkan kursi makan. Setelah merasa cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan.
Carrier, gitar, dan perlengkapan lain sudah menaiki punggung kami. Ihsan menjadi komando di depan dan lainnya mengikut di belakang. Benar saja, setelah perut kenyang, kantuk pun datang. Agar tidak terjatuh oleh kibasan angin, aku menarik jaket Rido dari belakang. Malam begitu panjang, sebab tubuhku rasanya ingin tumbang.
Selain jalan berlubang, sekitar pukul dua belas malam kami mendapat “cerita” menarik lain. ‘Si Boy,’ motor yang aku kendarai mengalami ban bocor. Malam itu tak ada bengkel buka. Sampai akhirnya kumpulan bapak-bapak yang sedang nongkrong memberi tahu kami kalau di depan ada kios tambal ban. Dan sayang sekali, kios tersebut tutup. Sambil meringis karena meski sudah mengetuk pintu namun tak ada jawaban dari pemilik, kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan kondisi ban bocor.
Empat motor lainnya melaju pelan mengikuti motor kami hingga gapura Sipolha. Aku kira penderitaan Rido mengendarai ‘Si Boy’ berakhir di sini. Ternyata tidak. Tempat kami akan camping cukup jauh dari gapura, pun jalan menuju ke sana tak rata. Masih bebatuan dan curam. Kami memilih menyusuri jalan tanpa menaiki kendaraan. Meski lelah, bulan dan bintang malam itu menghibur kami hingga tiba-tiba ‘Si Boy’ mengeluarkan asap.
“Apa lagi ini?” Tanyaku.
Beruntungnya setelah kami periksa, ternyata keadaan motor baik-baik saja. Kami tidak mengerti asap tersebut keluar dari mana.
Malam di Bukit Sipolha
Akhirnya, setelah menempuh satu jam lebih perjalanan dengan ban sepeda motor bocor, kami tiba di lokasi camping. Kulihat jam di tangan, sudah pukul satu malam. Kelima anak lanang: Rido, Fahwir, Eka, Ihsan, dan Dimas mengurus administrasi dan menyampaikan masalah sepeda motor yang bocor kepada si penjaga parkir. Bapak itu memberikan solusi agar besok saja di pompa angin, ia meminta kami segera mendirikan tenda dan beristirahat.
Untuk mendirikan tenda pilihannya ada dua, yaitu di atas bukit dan di bawahnya. Sementara, tengah dini hari tenda-tenda sudah berdiri tegak di bawah perbukitan. Sehingga kami hanya punya satu pilihan untuk mendirikan tenda yakni, di atas bukit.
Perlahan kaki menapaki tangga yang sudah diberi kayu pegangan. Flash ponsel ikut menyinari perjalanan kurang lebih sepuluh menit mencari lokasi datar untuk mendirikan tenda. Tanpa banyak bicara, Fahwir dan keempat orang lain sigap melaksanakan tugas, sementara aku dan perempuan lain mengikuti perintah untuk membantu mereka. Sekitar lima belas menit berlalu, dua tenda kami pun berdiri tegak di atas bukit.
Nesting pun dikeluarkan dari carrier, milam (mie malam-malam) siap untuk disajikan. Aku yang cukup kelaparan menyantap milam buatan Fahwir dengan lahap ditambah dengan jajanan kacang super renyah. Tak lupa, aku menyeruput secangkir kopi. Ah, malam yang luar biasa.
Ihsan memetik gitar, tubuh kami yang lelah kini mulai berayun ke kiri dan kanan mengikuti alunan genjrengan gitarnya. Pukul tiga dini hari kami pun masuk ke dalam tenda karena merasa lelah.
Sekitar pukul empat pagi, perutku mulai menggerutu. Kali ini bukan karena lapar, mules yang kian memanas. Aku membangunkan Lili untuk menemaniku ke toilet di bawah bukit. Dengan lampu ponsel, kami menyusuri jalanan. Suasana sangat sepi, tampak gelap. Ada kejadian aneh pula.
Jadi, saat aku ke toilet, aku meminta Lili berada di toilet sebelah. Kami saling berbincang satu sama lain sampai akhirnya aku mendengar suara aliran air seperti orang sedang mandi dari toilet sebelah. Aku lalu bertanya kepada Lili, apakah ia masih berada di toilet sebelah, dan ternyata dia sudah di luar menunggu aku selai. Kami lalu buru-buru meninggalkan toilet, memanggil Fahwir dan Rido namun tidak ada balasan dari mereka.
Langkah kaki semakin cepat, sesampainya di tenda, aku menceritakan semuanya. Fahwir berkata, toilet sebelah memang kran airnya terus mengalir. Tapi yang terdengar olehku dan Lili bukan suara keran air, melainkan suara air yang sedang jatuh dari gayung seperti seorang sedang mandi. Ah, sudahlah, pikirku. Aku pun masuk ke tenda dan meninggalkan perdebatan dengan mereka. Mungkin mereka tidak ingin aku dan Lili merasa takut.
Menyambut Pagi
Pagi pun menyapa, beberapa alarm terdengar nyaring di telinga. Aku keluar tenda dan berjalan-jalan menikmati panorama Bukit Sipolha. Mata ini memandang ujung ke ujung Danau Toba dari Bukit Sipolha, membayar tumpukan lelah perjalanan sehari sebelumnya.
Semilir angin mengibas ilalang ke kiri dan kanan. Sejenak, aku bermain alat musik kalimba yang baru saja aku pelajari. Petikannya begitu nyaring terdengar, membuatku merasa sangat bersyukur atas apa yang ada di hadapanku pagi ini.
Setelah sarapan pagi dengan nasi, sosis, dan tempe goreng, kami turun dari atas bukit. Menyusuri pinggir Danau Toba, bermain-main air, dan bercengkrama. Kami habiskan waktu sekitar satu jam di sini sebelum akhirnya kembali bertualang dalam perjalanan pulang ke Medan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.