Jalanan terus menanjak. Aku hentikan langkahku di sebuah tikungan. Paras Gunung Tilu di depan sana tampak jelas. Arakan awan putih menghiasi langit biru di atasnya. Plang arah di depanku menunjukkan: arah kiri menuju Banjaran dan Soreang, arah lurus menuju Desa Mekarsari dan Pangalengan.
Sabtu pagi yang cerah itu, aku sedang melakukan perjalanan menuju Pangalengan melalui Gambung, Ciwidey. Baik Ciwidey maupun Pangalengan berada di kabupaten yang sama, yakni Kabupaten Bandung. Keduanya juga sama berada di kawasan selatan Kabupaten Bandung. Posisi Pangalengan berada di sebelah timur Ciwidey. Keduanya dipisahkan oleh sejumlah desa, perkebunan, hutan maupun gunung.
Dari Gambung, Ciwidey, ke Pangalengan berjarak sekitar 22,5 kilometer. Rute Gabung-Pangalengan tidak dilalui angkutan umum. Selain menggunakan kendaraan pribadi, maka alternatif satu-satunya yakni menyewa ojek pangkalan. Kalau tidak begitu, paling berjalan kaki.
Setelah berhenti beberapa jenak di tingkungan itu, aku meneruskan perjalanan. Jalan aspal yang semula lumayan mulus, kini justru mulai tampak kurang mulus. Di beberapa bagian, aspal jalan mengelupas, membuat jalan tidak rata.
Selang beberapa ratus meter, aku mulai melihat hamparan pohon teh membentang di kanan-kiriku. Kawasan Gambung termasuk salah satu sentra teh di Bandung Selatan sejak lama. Selain perkebunan teh, di Gambung terdapat pula Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK).
Awalnya, PPTK Gambung bernama Balai Penelitian Teh dan Kina (BPTK), yang didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 14/Kpts/Um/I/1973. Kemudian, pada tanggal 30 November 1989, terbit Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 823/Kpts/KB.110/11/1989 tentang Pengalihan Pengelolaan Balai-balai Penelitian di Bidang Perkebunan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian kepada Asosiasi Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Indonesia (AP3I), yang membuat Balai Penelitian Teh dan Kina berubah menjadi Pusat Penelitian Perkebunan Gambung.
Berikutnya, lewat Ketetapan Rapat Anggota AP3I Nomor 06/RA/VII/92, tanggal 25 Juli 1992 serta persetujuan Menteri Pertanian berdasarkan surat Nomor OT.210//552/Mentan/XII/92, tanggal 17 Desember 1992, nama Pusat Penelitian Perkebunan Gambung berubah menjadi Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung.
Sejauh ini, PPTK Gambung disebut-sebut sebagai pusat penelitian teh terbesar di Asia. Lokasi PPTK ini berada di Desa Mekarsari, Gambung, Ciwidey. Tak jauh dari Kantor Desa Mekarasari, kita dapat melihat sebuah tugu cangkir bertuliskan antara lain “Gamboeng Tea: Pusat Penelitian Teh dan Kina.” Sayang, sebagian huruf di tugu ini hilang akibat tangan-tangan jail.
Siang itu, tatkala aku melintas di depan Desa Mekarsari, tampak beberapa hansip sedang berjaga. Alunan musik terdengar keras datang dari dalam aula desa. Rupanya ada warga sedang menggelar hajatan dengan menyewa ruang aula desa.
Lepas dari depan Desa Mekarsari, hamparan pohon teh masih mendominasi di kanan dan kiri jalan. Jalanan terus menanjak. Udara kian sejuk, meski sinar mentari menyorot tajam. Lewat gawai yang kubawa, aku mengetahui bahwa suhu di sekitarku siang itu rata-rata 20 derajat Celcius.
Di sebuah sudut jalan, selepas sebuah jembatan, kulihat sejumlah onggokan daun teh yang baru saja dipetik oleh para buruh petik teh. Kulihat beberapa buruh masih sedang mengerjakan pemetikan teh. Buruh petik teh menjadi salah satu elemen penting dalam industri teh. Kita tak mungkin dapat menikmati segarnya minuman teh jika tidak ada buruh petik teh, yang pendapatannya umumnya masih jauh dari standar upah minimum.
Semakin jauh kakiku melangkah, suasana semakin sunyi. Panorama kebun teh mulai berganti dengan panorama pohon-pohon yang lebih tinggi dengan belukar yang lebat. Maklum, aku mulai berada lebih dekat ke kaki Gunung Tilu, yang notabene menjadi kawasan cagar alam dan menjadi daerah lindung sejumlah primata endemik seperti owa Jawa, surili, dan lutung Jawa.
Di antara rapatnya vegetasi di kaki Gunung Tilu, kulihat sebagian lahan, terutama yang dekat ke tepi jalan, hamparan pohon kopi. Aku sendiri kurang tahu apa jenis kopinya. Yang jelas, pohon-pohon kopi itu sedang berbuah. Tapi, buahnya masih hijau. Belum matang.
Suasana hening di sekitarku membuat gemericik air sungai di dasar jurang terdengar nyaring. Aku sendiri tak bisa melihat sungainya karena tertutup rapat pohon dan belukar. Satu-dua sepeda motor melintas dengan suara mesinnya menderu-deru.
Sembari istirahat di tepi jalan. Aku keluarkan gawai, bermaksud mengecek lokasi persisku lewat fasilitas Google Maps. Tapi, ternyata tak bisa. Pasalnya, sama sekali tak ada sinyal. Tempatku berhenti saat itu tak terjangkau sinyal seluler. Kumasukkan kembali gawaiku ke tas pinggang dan melangkah meneruskan perjalanan.
Tak jauh dari sebuah tebing, terlihat ada dua pria, kemungkinan warga lokal. Yang satu usianya kutaksir sekitar 40-an, sedang membersihkan tepian jalan dengan pacul. Satunya lagi, kuperkirakan berusia 60-an, berdiri di tengah jalan sambil memegangi kaleng plastik dan diasong-asongkan saat ada pengendara sepeda motor lewat. Namun, kuperhatikan, tak satu pun pengendara yang melemparkan atau memasukkan uang ke kaleng plastik yang diasongkannya.
Aku dekati pria yang sedang memegang kaleng plastik itu. Iseng kutanyakan posisi Gunung Tilu. Ia antusias menjawab.
“Itu sebelah sana,” katanya sembari menunjuk ke arah tenggara. “Kalo mau ke puncak, paling dua jaman dari sini. Jalan santai,” sambungnya.
Pria itu mengatakan bahwa di puncak Gunung Tilu terdapat lapang dan juga makam.
“Suka ada yang naik ke puncak untuk ziarah,” katanya lagi. “Tapi, kalau yang rekreasi sih banyaknya sekarang ke kebun teh atau ke hutan pinus,” tambahnya.
Aku manggut-manggut dan kemudian pamitan buat meneruskan perjalanan.
Vegetasi rapat dengan pohon-pohon tinggi mulai menghilang berganti kembali dengan panorama kebun teh. Aku kini mulai memasuki kawasan perkebunan teh Riung Gunung. Beberapa mobil berpelat luar kota terlihat berhenti di tepi jalan. Para penumpangnya berfoto-foto dengan latar kebun teh.
Terus bergerak ke arah timur, aku akhirnya sampai ke kawasan hutan pinus Rahong. Selain sebagai camping ground, hutan pinus Rahong juga menjadi kawasan wisata arung jeram, paint ball, flying fox, dan memanah. Hutan pinus Rahong berada di tengah-tengah perkebunan teh.
Saat aku melintas siang itu, tampak sejumlah kendaraan yang mengangkut sejumlah orang yang baru saja selesai bermain arung jeram merayap ke arah Pangalengan.
Menjauhi hutan pinus Rahong, suhu terasa semakin hangat. Selain kebun teh, kebun sayuran juga mulai terlihat. Di depan, samar-samar tampak perkampungan. Setelah beberapa puluh meteran, terlihat plang penunjuk arah. Dari plang penunjuk arah itu, aku ketahui bahwa untuk menuju Pangalengan aku harus ambil arah kiri.
Tatkala aku tengah berdiri tak jauh dari plang penunjuk arah itu, telingaku menangkap suara adzan Dzuhur sayup-sayup berkumandang dari kejauhan. Kupikir, sebaiknya aku mencari musala atau masjid terlebih dulu sebelum meneruskan langkah ke pusat kota Pangalengan, yang jaraknya kurang lebih sekitar 3 kilometeran lagi.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.