Banyak nama Banjar dan variannya yang menunjukkan nama tempat. Seperti Kabupaten Banjar di Kalimantan Selatan yang beribu kota Banjarmasin, Kabupaten Banjarnegara di Jawa Tengah, atau nama kecamatan seperti Kecamatan Banjaran di Kabupaten Bandung, atau bahkan nama desa seperti Desa Banjarsari Kabupaten Ciamis, dan lain sebagainya. Seperti di Kalimantan Selatan, di Jawa Barat pun ada Kota Banjar, hasil pemekaran dari Kabupaten Ciamis. Zaman dahulu, Banjar menjadi bagian dari Kerajaan Galuh.
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti satu kegiatan di Situ Mustika yang dikelola Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Banjar Utara, Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ciamis yang secara administratif termasuk Kelurahan Karangpanimbal, Kecamatan Purwaharja, Kota Banjar.
Dari laman Wikipedia berjudul Kota Banjar, status Banjar berkali-kali berubah. Dari 1937 sampai tahun 1940 sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Ciamis, dari tahun 1941 sampai dengan 1 Maret 1992 menjadi ibukota Kawedanan di Kabupaten Ciamis. Dari tahun 1992 sampai dengan tanggal 20 Februari 2003 menjadi kota administratif dan mulai 21 Februari 2003 menjadi kota yang berdiri sendiri.
Saat ini Kota Banjar memiliki 4 kecamatan yaitu Kecamatan Banjar, Kecamatan Pataruman, Kecamatan Purwaharja, dan Kecamatan Langensari.
Saya bersama enam orang rekan, yakni Deny, Ndan, Aep, Yusuf, dan Neulis berangkat dari Kota Bandung pukul 19.00. Jalanan cukup lengang. Kendaraan dilajukan santai oleh Yusuf. Rancaekek, Cicalengka, Nagreg, Malangbong, Ciawi, Tasik, pun terlewati.
Tiba di alun-alun Ciamis menjelang tengah malam. Beberapa toko, penjual makanan kaki lima masih buka. Beberapa pemuda juga tampak sedang mengobrol di bangku tembok taman dan di depan pertokoan. Suasana temaram oleh lampu-lampu jalan penerangan umum melarutkan suasana. Berenam sepakat untuk makan di kaki lima, 4 porsi nasi goreng dan 2 mi kuah ayam suwir dengan total biaya Rp78 ribu. Makan malam-malam di kota yang dikunjungi, rasanya lebih enak. Di 6 piring, tak sebutir nasi pun, dan sesendok kuah pun yang tersisa. Habis tandas.
Usai ngobrol-ngobrol seraya merokok—kecuali Neulis—sekira habis dua batang, perjalanan diteruskan. Jalan raya dari Ciamis menuju Banjar relatif lurus, beraspal mulus. Kami tiba di hotel Mutiara Kota Banjar sekitar pukul 1 pagi. Kami berlima lalu beristirahat di 3 kamar. Neulis menempati 1 kamar. Sementara Ndan menginap di rumah saudaranya, masih di Kota Banjar.
Tiba di lokasi, suasana sudah benar-benar beruba
Usai sarapan pagi, pukul 08.00 WIB, kami berangkat. Setelah sekitar 20 menit, di Jalan Raya Banjar—Ciamis, berbelok kanan menuju Situ Mustika. Lokasi tidak jauh. Namun bila dari arah Bandung berbelok ke kiri.
Tiba di lokasi, suasana sudah benar-benar berubah. Terakhir kali saya berkunjung tahun 1989 saat masih SMP kelas 3, ikut bapak dan rombongan kantor memancing. Di kiri kanan setelah pertigaan jalan menuju lokasi, suasana masih sunyi sepi, ciri khas hutan. Seram. Keadaan situ dibiarkan alami, belum—katakanlah—dibenahi secara serius profesional sebagai tempat tujuan wisata. Warung pun belum ada. Namun belum usai memancing, saya ingin pulang duluan. Saya kurang suka memancing. Waktu itu saya berpikir, apa asyiknya memancing. Kesal. Meskipun tentunya bagi penghobi mancing, kenikmatan memancing, dengan beribu cerita, adalah tiada tara.
Kini Situ Mustika dengan tarif masuk yang terjangkau, benar-benar telah dibenahi. Mulai masuk lingkungan ini, di satu tanah cukup tinggi sebelah kanan, ada tulisan besar berwarna hijau daun pisang berisi urutan huruf SITU MUSTIKA—sebagai sambutan selamat datang bagi pengunjung. Jalan di selingkungan lokasi sudah beraspal. Telah ada beberapa warung makanan dan minuman.
Situ Mustika sebagai tempat tujuan wisata sudah ideal. Ada dua tempat parkir cukup luas. Pepohonan seperti dari jenis jati, pinus, ketapang, bungur dan sebagainya, dengan tajuk-tajuknya menjadi penyejuk. Lokasi ini menjadi tujuan wisata semua umur. Ada wahana outbond dan perahu bebek sebagai sarana mengitari situ. Ada jaring untuk merayap. Ada jembatan gantung sebagai jalan menuju pulau kecil di tengah Situ Mustika—dan terdapat gazebo.
Untuk remaja dan dewasa yang hendak mengadakan pertemuan untuk pelatihan atau berdiskusi, ada ruang terbuka dan beratap. Untuk yang sedang menempuh pendidikan, tempat ini dapat menjadi tempat penelitian flora dan fauna. Untuk penggemar bunga jenis anggrek, ada taman anggrek dengan berbagai jenis—baru dibangun tahun 2020.
Bagi penggemar sepeda dan motor trail, tempat ini asyik menjadi jalur. Bagi pramuka atau yang hobi kemping, tempat ini juga nyaman. Malah pemancing, selalu rutin berkunjung. Untuk makan-makan sekeluarga, botram (makan bersama), tentulah nikmat.
Berdasarkan keterangan Ade, petugas pengelola Wisata Alam Situ Mustika, Situ Mustika adalah situ alami, bukan situ buatan, yang sudah ada semenjak dahulu. Sumber airnya berasal dari enam mata air, mata air yang familiar bernama Mata Air Mustika, nama yang sama dengan nama situ. Mulai dibuka secara resmi oleh Perum Perhutani pada tahun 1985.
Melalui pesan singkat, penulis menanyakan yang lebih detail tentang Situ Mustika kepada Dede Nandang yang akrab dipanggil Bah Oyon dari Perguruan Silat Adeng Gilang Kencana Banjar. Namun Bah Oyon menyarankan agar langsung saja menemuinya, untuk kemudian mengantar ke kasepuhan di Cisaga Banjar. Tetapi apa daya, penulis berkesempatan ke Situ Mustika pun karena kedinasan, tidak ada waktu luang.
Sungguh, kesejukan udara segar bersih dan keindahan lingkungan alam sangat terasa di Situ Mustika.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!
Gandi Sugandi tinggal di Bandung, lulus FIB Sastra Indonesia Unpad tahun 2.000. Di sela-sela kesibukan bekerja sebagai karyawan Perum Perhutani KPH Bandung Selatan, menyempatkan untuk menulis cerpen dan puisi. Keluarga Seni, buku kumpulan cerpen yang telah terbit.