Orang-orang sering membayangkan kehidupan tanpa rumah adalah kehidupan yang membebaskan, kemana saja tanpa harus terikat “rumah”. Bayangan itu semakin menjadi-jadi apabila kita membaca cerita petualangan orang-orang nomaden yang menjadikan berkelana sebagai jalan hidupnya. Lalu, bagaimana jika jalan hidup nomaden bukan seperti yang orang-orang kira? Bagaimana jika kehidupan seperti itu datang pada seseorang yang tidak menginginkannya? Film berjudul Nomadland inilah yang jadi jawaban dari pertanyaan tersebut.
Chloe Zhao sebagai sutradara rupanya ingin menyajikan realitas kehidupan orang-orang nomaden Amerika kepada penonton. Hampir 100% adegan yang digambarkan hampir sama dengan realitas kehidupan yang ada. Menurut IMDB, film ini mendapatkan 233 penghargaan dan 136 nominasi. Tentu saja yang paling bergengsi adalah Oscar. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 3 dari 6 nominasi berhasil didapatkan melalui best motion picture of the year, best performance by actress in leading role, best directing. Belum lagi ditambah BAFTA film award, AACTA international award, dan lainnya. Tentu saja Chloe Zhao patut berbangga diri atas pengukuhannya sebagai sutradara perempuan Asia pertama yang sukses di ajang Oscar.
Sebelum kamu menonton film ini, pastikan kamu tidak berekspektasi adanya drama-drama serta turning point yang berbeda dari film ini. Simpan semua ekspektasi kamu terhadap cerita bombastis yang menggugah.
Pace film ini terbilang lambat. Penonton akan disuguhkan cerita tentang Fern, seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya dan hidup sebatang kara. Hidup terasa begitu keras padanya, berpindah-pindah pekerjaan supaya tetap hidup, berjuang mandiri dengan mobil van dan hidup di jalanan, menempa Fern menjadi pribadi yang tangguh.
Tiap scene menyoroti Fern yang sudah mengalami kehilangan akan kotanya dan suaminya dengan emosi yang datar. Perpindahan tiap scene begitu halus, menggambarkan Fern yang sebenarnya sudah putus asa tetapi harus tetap bekerja keras demi menghidupi dirinya. Salah satu scene yang paling memorable di awal film adalah ketika anak salah satu temannya mengatakan dirinya adalah homeless people, tetapi Fern urung menggunakan kata itu dan memilih kata houseless, keteguhan hati Fern digambarkan begitu kuat meskipun rasanya dia juga pantas disebut sebagai homeless. Saya akui kualitas akting Frances Mcdormand memang bisa menggambarkan ketabahannya di tengah keputusasaan.
Cerita berlanjut mengenai keterlibatan Fern dalam komunitas nomaden yang sangat menentang kapitalisme. Berawal dari ajakan rekan kerjanya, akhirnya Fern bergabung dengan para nomaden yang berkumpul. Kehidupan para nomad, walaupun terasa menyenangkan, ternyata menyimpan cerita-cerita yang berbeda bagi setiap orang yang menjalaninya. Ada yang memang ingin menjalani kehidupan nomaden karena menyukai kebebasan dan ada pula karena alasan kehilangan, ataupun sebagai momen menenangkan diri.
Adegan-demi adegan terus berlanjut, kita disuguhi momen momen kesendirian Fern tanpa banyak dialog ataupun tindakan. Mungkin bagi sebagian orang momen close-up ini seakan membosankan, tapi jelas Chole Zhao ingin membuat kita merasakan dampak kehilangan seorang Fern. Tidak ada scoring yang mengganggu, musik latar pun terdengar begitu pesimis. Suasana film dibangun bukan untuk bersimpati kepada Fern, tapi untuk membuat kita menjadi Fern itu sendiri.
Dialog yang disajikan sepanjang film sangat kuat. Semisal ketika adegan Bob Weels memberi wejangan kepada para nomad tentang buruknya kapitalis dengan menyebut analogi kuda beban. Ada lagi adegan Fern yang berbicara tentang masa lalunya kepada Bob dan menyebutkan “I may be spent too much of my life just remembering,” seakan memberitahu penonton keadaan Fern dalam film seutuhnya. Karakter pendukung yang dihadirkan memang membantu atmosfer film lebih nyata, terlebih beberapa orang adalah nomad sungguhan.
Keindahan alam Amerika dari hutan hijau, padang pasir tandus yang dipotong oleh jalan, bukit batuan, suasana perkotaan kecil memberi kita penglihatan yang dalam dari bagaimana para nomad memandang dunia tanpa sekat plafon atau dinding.
Nomadland mungkin menyajikan kisah seorang perempuan pengembara yang kehilangan segalanya tetapi tetap harus melayani realita yang dia dapat untuk menyambung hidup. Dalam makna yang lebih dalam, pembuat film ingin menceritakan kesendirian, apapun keramaian yang kita lalui selalu saja ada momen kesendirian. Kesendirian inilah yang tampaknya dibawakan oleh Fern sebagai suatu keniscayaan bahwa semua dari kita akan mengalami “perjalanan” sepertinya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.