Baru ditinggal tiga bulan merantau, banyak hal berubah di Solo. Dari mulai tempat makan, pembangunan infrastruktur, sampai ikan cupang yang kini mudah dijumpai di mal. Padahal aku meninggalkan pesan saat merantau, “Kamu jangan berubah ya, tetap menjadi seperti apa yang aku kenal.” Namun ternyata, Solo tidak menepati janjinya kecuali ketenangan yang sulit aku temukan di kota lain.

Hari ke-7 di rumah, tidak ada yang aku lakukan selain goler-goleran di kasur. Malas keluar rumah, tapi bosan di rumah. Iseng mengecek WhatsApp, tidak tahunya temanku mengajakku untuk menjajal naik BST atau Batik Solo Trans. Ini pengalaman pertama untukku. Padahal transportasi umum ini sudah diadakan sejak 2010 lalu, semasa Jokowi masih menjabat sebagai Walikota Solo. Pada 2021 ini, BST meningkatkan fasilitas serta akses kemudahannya. 

BST dulunya hanya berwujud bus, dan jumlahnya tak banyak. Tapi kini sudah jauh berkembang lagi, bahkan untuk angkutan umum, sebut saja angkot, wilayah Solo juga ikut menyeragamkan warna dan motif catnya. Jika dulu BST hanya memiliki satu warna yaitu biru, sekarang untuk bus koridor 1 dan 2 yang melayani perjalanan rute Bandara Adi Soemarmo—Palur atau sebaliknya memiliki warna berbeda yaitu merah, dengan kapasitas penumpang yang lebih besar daripada model bus warna biru. 

Karena norak belum pernah sama sekali naik BST, maka bergegaslah aku bersiap-siap lalu menuju titik kumpul yang sudah diberi tahu oleh temanku. Ku kendarai motor menuju Mall Solo Square, guna memarkirkan motor sekaligus “titip” motor. Mengapa Solo Square? Karena dari arah Jalan Slamet Riyadi terdapat halte, dan dari arah Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) juga terdapat halte, dan keduanya (baca: halte) berdekatan dengan lokasi Mall Solo Square. 

Dengan hati senang aku menyetujuinya, dan mengira bahwa temanku sudah pernah naik BST, tapi ternyata kami bertiga sama saja. Belum pernah ada yang pernah menjajal transportasi itu. Sehingga kami semua awam akan prosedur naik BST. Karena sistem yang berbeda dengan naik bus PATAS, ekonomi, atau bahkan bus yang pintu tempat kondekturnya terbuka. 

Padahal fasilitas transportasi umum itu dibuat dengan tujuan salah satunya untuk menanggulangi masalah kemacetan lalu lintas yang terjadi di sebuah kota. Perencanaan sistem baru dengan menyesuaikan sistem yang sudah ada, hingga uji coba untuk mendapatkan kepuasan dari pengguna dan pemerintah. 

Apalagi dengan meningkatnya pasar kendaraan, masyarakat semakin banyak yang membeli kendaraan pribadi, atau bahkan menambah koleksi pribadinya. Tujuannya sama-sama untuk mempermudah mobilitas masyarakat itu sendiri. Tapi dengan bertambahnya angka kendaraan pribadi dari suatu masyarakat seharusnya juga berbanding lurus dengan peningkatan infrastruktur jalannya sehingga bisa mengurangi angka kemacetan yang terjadi. 

Itulah sebabnya pemerintah mengadakan sebuah transportasi umum, gunanya adalah mengurangi angka kemacetan, karena tidak dipenuhi dengan kendaraan pribadi. Apalagi bus trans ini sudah memiliki jalur tersendiri. 

Tapi kembali lagi pada pilihan masyarakat. Kelebihan dari menggunakan kendaraan pribadi adalah untuk mempermudah diri sendiri. Ketika di transportasi umum pun mesti menghormati kepentingan orang lain, sehingga sopir juga tidak bisa diburu-buru, karena semua yang berada dalam satu transportasi tersebut sama-sama memiliki kepentingan yang sama, mencapai tujuan dengan cepat dan selamat. 

Gantungan BST/Dian Ariffah Kusumaningtyas

Pelayanan BST ini juga cukup memuaskan dengan terus memperhatikan protokol kesehatan. Tersedia hand sanitizer di pintu masuk penumpang. Sopirnya yang juga selalu memakai masker. Bahkan saat itu terdapat penumpang yang mungkin lupa untuk kembali menaikkan masker, sehingga terlihat hidungnya, dan diketahui sopir, saat itu juga langsung ditegur, ia akan diberitahu untuk selalu menggunakan masker dengan baik dan benar. Pun pada saat turun dari bus, bahkan semua penumpang yang turun selalu mengucapkan terima kasih pada sang sopir, baik diucapkan dalam Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia. Hal remeh seperti itu nyatanya bisa bikin senyum-senyum sendiri.

Bus Trans yang kami tumpangi ini berada di koridor 1 dan 2 dengan rute Bandara Adi Sumarmo—Palur. Tujuan kami yakni Pasar Gede. Dulunya Pasar Gede ini merupakan tempat jual beli ikan. Khususnya ikan hias. Dari yang paling murah hingga yang mahal, dari ikan pemakan takari sampai pemakan daging, semuanya ada. Bahkan pusat jual beli ikan berada di Pasar Gede. Tetapi sekitar tahun 2014 pedagang ikan yang semula berada di Pasar Gede direlokasi ke Pasar Depok. Anggapan pemerintah yang ingin mempertahankan citra Pasar Gede, karena dari awal, tepatnya pada masa penjajahan Belanda, Pasar Gede tersebut merupakan tempat jual beli barang-barang hasil bumi, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan palawija. 

Sekarang Pasar Gede sudah seperti awal dulu, penjual sayur dan buah menempati kios-kios yang sudah disediakan. Dengan perkembangan zaman saat ini, pada lantai dua Pasar Gede terdapat foodcourt. Tidak seperti foodcourt di mal pada umumnya. Tempat ini menjual makanan dengan harga terjangkau yang menyediakan pemandangan hiruk pikuk kesibukan masyarakat Solo. Makanan yang paling terkenal di foodcourt ini adalah dimsum, bahkan instastory anak muda dipenuhi dengan makanan satu itu.

Pasar Gede tampak depan/Dian Ariffah Kusumaningtyas

Sebelum beranjak untuk makan dimsum, dari halte Pasar Gede kami menjumpai sebuah warung di pojokan kios. Namanya memang Toko Podjok, menjual kopi dan juga cokelat. Nampak asing bagi kami karena baru pertama kali menjumpai warung itu. Ternyata mengetahui warung itu adalah sebuah keterlambatan. Karena track record warung ini yang sudah memasok kopi juga cokelat ke beberapa coffee shop, bahkan dalam jumlah besar. 

Cerita Toko Podjok ini dimulai pada tahun 1947, dan sekarang warung ini sudah dikelola oleh penerus generasi ketiga. Cokelat juga kopi ini tidak hanya diambil dari dalam negeri, tetapi mereka juga mengimpor dari negara lain. Salah satu yang paling saya ingat, cokelatnya mereka ambil dari Sulawesi Selatan.

Toko Podjok/Dian Ariffah Kusumaningtyas

Kami pun membeli es coklat untuk diminum langsung di tempat dan membeli bubuk cokelat juga kopi untuk dibawa pulang. Menurut informasi langsung dari penjual, awalnya warung ini hanya menjual mentahan, tetapi baru-baru ini mencoba untuk melayani para pembeli yang ingin mencoba produk mereka yang sudah menjadi minuman. 

Harga Rp5 ribu untuk es cokelatnya. Dibungkus dengan tempat se-proper ini. Bahkan di luar ekspektasi kami. Rasa dari cokelat masih ada dan tidak terlalu manis. Untuk yang suka cokelat murni, ini bisa menjadi rekomendasi. 

Kemasan minuman cokelat/Dian Ariffah Kusumaningtyas

Sruput. Mmmmm, enak! 

Harga bubuk coklat juga terjangkau, Rp10 ribu dapat tiga, untuk tiga kali minum. Sedangkan kopinya delapan belas ribu untuk seperempat kilogram.

Satu yang paling berkesan, ketika kami tanya kepada penjual, kenapa dijual dengan harga yang sangat murah, bahkan membayangkan akan dapat keuntungan saja sepertinya tidak sampai. Bayangkan saja, minuman yang dikemas sedemikian rupa, dengan rasa yang tidak mengecewakan, tetapi pembeli hanya membayar Rp5 ribu saja.

Lalu jawaban penjual adalah “Kalau nanti kami jual dengan harga mahal, itu sudah menjadi bagian para pemilik coffee shop.” Lalu, kami juga bertanya kenapa hanya menyediakan meja dan beberapa kursi untuk melayani pembeli, kenapa tidak buka warung yang istilah anak muda aesthetic. Lagi-lagi jawabannya sama, biar itu menjadi bagian pemilik coffee shop, kalau kami buka seperti itu juga yang ada malah mengambil rezeki orang lain, melayani membuat minuman seperti ini kan supaya pembeli bisa langsung merasakan dan tahu bagaimana rasanya produk kami. 

Salut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar