Di atas anjungan bertuliskan ‘Pantai Gandoriah’, hamparan pasir tampak luas membentang. Payung-payung tempat bersantai, tertancap tegak di bibir pantai. Pelbagai kendaraan silih berganti terparkir di tepi jalan. Tak jauh dari pantai, kereta api wisata tiba di sebuah stasiun kota. Orang-orang berdatangan, bermain ombak, memadu kasih, hingga berfoto-foto. Tak jarang terlihat ibu-ibu yang mondar-mandir menenteng kepiting, udang, dan sala lauak—olahan gorengan berbentuk bola khas Pariaman—dijajakan ke setiap pengunjung.
Saya tiba di Pantai Gandoriah ketika matahari sedang terik. Sore itu, buai angin pantai barat yang keras menampar-nampar muka saya. Kadang berhembus, kadang tidak berangin sama sekali. Pantai ini terletak di pusat Kota Pariaman, Sumatera Barat. Selain terkenal dengan kelapanya yang melimpah, Pariaman juga mempunyai pantai yang menawan, salah satunya Pantai Gandoriah.
Di balik kemenawannya, nama pantai ini diambil dari sebuah cerita rakyat tentang kisah cinta yang tidak berakhir bahagia. Kisah tersebut menceritakan perjalanan cinta Anggun Nan Tongga dengan Puti Gondan Gondoriah, yang pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa mereka berdua adalah saudara sepersusuan yang tidak boleh saling menikah.
Nan Tongga dalam cerita rakyat tersebut di kemudian hari dijadikan nama sebuah hotel di tepi pantai Pariaman, yang merupakan hotel tertua di kota ini. Keberadaan hotel ini menjadi inspirasi nama pantai oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Padang Pariaman saat itu. Akhirnya nama Gondoriah dipilih dan diresmikan sebagai nama pantai ini—yang kemudian menjadi Pantai Gandoriah—pada masa pemerintahan Bupati Zainal Bakar (1990-1994).
Sebagai daerah yang terletak di pinggir pantai, Pariaman sudah menjadi tujuan perdagangan dan rebutan bangsa asing yang melakukan pelayaran kapal laut beberapa abad silam. Tomé Pires, seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia dalam Suma Oriental (1512-1515) mencatat bahwa telah ada lalu lintas perdagangan antara India dengan Pariaman, Tiku dan Barus.
Sore kian terik, para pengunjung semakin ramai berdatangan. Akhir pekan memang menjadi waktu yang istimewa untuk berekreasi. Di tepi jalan raya, pohon-pohon pinus besar menjulang tinggi ke langit. Menjadi penyejuk di balik terik pantai yang menyengat. Warung-warung kecil berjajar di antaranya.
Seorang perempuan tua menghampiri saya, “Nak, buliah minta tolong?” Pintanya untuk membantu mengangkat dagangan ke atas kepalanya yang telah dialasi beberapa helai kain. Saya cukup terkejut ketika membantu mengangkatkan keranjang berisikan tebu-tebu dan kacang-kacang edamame—kedelai muda dengan kulit hijau berbulu yang direbus—itu ke atas kepalanya. Keranjang itu cukup berat bagi saya yang seorang lelaki muda. Namun perempuan yang telah berusia senja itu dengan gagah menggendongnya di atas kepala, menjajakannya ke setiap pengunjung pantai. Terkadang hidup memang keras.
Waktu silih berganti semenjak kedatangan Pires dan kapal-kapal perdagangan dunia di Pariaman berabad-abad silam. Kini, kawasan pantai yang penuh sejarah dan cerita ini beralih fungsi menjadi ujung tombak pariwisata Pariaman. Tidak hanya pantai Gandoriah, pantai-pantai yang berdekatan dengannya—Pantai Cermin dan Pantai Kata—ditata sedemikian rupa. Berbagai fasilitas umum dan ‘daya pikat’ wisata dihadirkan oleh pemerintah.
Di Pantai Gandoriah, pada tepi muara di bangun sebuah tugu yang disebut Monumen TNI AL. Sedangkan di tengah-tengah pantai, juga berdiri gagah sebuah anjungan besar bertuliskan ‘Pantai Gandoriah’. Sekilas tampak seperti yang ada di Pantai Losari, Makassar.
Di Pantai Cermin, banyak dijumpai berbagai macam fasilitas olahraga seperti lintasan sepatu roda, lapangan bola, dan skatepark. Sedangkan di Pantai Kata, kawasan ini dipenuhi pepohonan pinus yang rindang dan ada juga sebuah tugu berbentuk ikan yang sekilas tampak seperti yang ada di Surabaya. Saya terkadang heran, kenapa pemerintah setempat tidak menciptakan ciri khasnya sendiri.
Di antara pohon-pohon pinus raksasa dan warung-warung tepi jalan, jalan setapak kecil lajur sepeda terbentang menghubungkan ke tiga pantai ini. Tampak beberapa pemuda berlari dan bersepeda melintasinya. Melewati pepohonan, hingga warung-warung milik warga yang menyediakan payung-payung—yang kadang direndahkan oleh pengunjungnya—tempat muda-mudi nongkrong dan bermesraan. Semua dibangun demi mendatangkan wisatawan dari berbagai daerah.
Beberapa event-event besar pariwisata turut dihadirkan di pantai-pantai ini tiap tahunnya. Pada awal bulan Muharram (kalender Islam), sebuah festival budaya besar diselenggarakan di Pantai Gandoriah. Festival Budaya Hoyak Tabuik, sebuah acara tradisi yang memperingati kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib cucu dari Nabi Muhammad SAW berhasil mendatangkan ribuan pengunjung dari berbagai daerah di luar Pariaman.
Selain itu, ada juga Pariaman International Triathlon yang merupakan gabungan perlombaan dari tiga cabang olahraga seperti renang, sepeda, dan lari. Pesertanya juga berasal dari luar Sumatera Barat. Event ini sudah berlangsung sejak tahun 2014. Pada tahun 2019 tepatnya sebelum pandemi COVID-19 melanda, upaya-upaya pemerintah dalam mendorong sektor pariwisatanya berhasil mendatang 3,8 juta pengunjung ke Kota Pariaman.
Senja terasa begitu cepat datang di Pariaman, cahaya jingga telah memancar di ufuk barat sana. Pariaman telah berkembang dengan pesat. Meski cinta Gondan Gondoriah telah hanyut dibawa arus pasang, Pantai Gandoriah menjadi primadona andalan pariwisata Kota Pariaman.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.