“Buanglah Sampah pada tempatnya!” Seruan ini tentu kita sangat familiar di telinga kita. Kita tahu bersama bahwa sampah merupakan persoalan besar yang kita hadapi saat ini. Kali ini saya tidak akan bercerita tentang bagaimana persoalan sampah di negara kita, saya akan bercerita tentang bagaimana sampah bisa menjadi sebuah kelas literasi.
Hari itu Sabtu 13 maret 2021 saya dan salah seorang teman berangkat untuk mengunjungi Dusun Ekas Buana, Desa Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Ekas sebelumnya desa yang cukup populer karena keindahan alamnya dan menjadi salah satu tempat pelepasan benur tahun 2020 lalu. Tujuan kami ke Ekas bukan untuk berwisata, kami ke sana ingin mendengar langsung sebuah cerita yang sangat inspiratif.
Menggunakan kendaraan roda dua kami berangkat dari Praya. Perjalanan yang kami tempuh menuju lokasi kira-kira menghabiskan waktu sekitar satu jam. Jalan yang kita lalui cukup mulus karena sudah tersentuh oleh tangan pemerintah, kita tak perlu risau tak tahu arah sabab Google Map akan menunjukkan jalan sampai tempat tujuan dan terdapat penanda pada setiap persimpangan. Suasana asri khas pedesaan akan kita temui sepanjang jalan. Sawah yang terbentang luas dan bukit-bukit yang ditanami pohon jagung sejauh mata memandang.
Sesampainya di sana, kami dibuat takjub oleh suasana alam yang ada, pantulan sinar matahari membuat warna laut semakin indah, warna yang tercipta menjadi biru berkilauan. Keiindahnnya warnanya semakin indah dengan terparkirnya puluhan perahu warna warni yang menghiasi Pantai Ekas Buana.
Terdapat juga rumah-rumah kecil yang dijadikan nelayan menjadi rumah singgah saat melepaskan benur, atapnya memiliki warna yang berbeda menjadikan pantai ini memiliki keindahan dan keunikannya sendiri. Pasir putih di bibir pantai juga semakin terlihat berkilau dengan paparan sinar dari mentari.
Setelah beberapa saat menikmati keindahan alam Ekas Buana, kami disambut dengan hangat oleh Ruth Seran. Ia akrab disapa teacher Noy. Noy kemudian mengajak kami berbincang di Panorama Cottage, villa yang dibangun sejak tahun 2018 bersama sang suami, Massimo Otto seorang warna negara Italia.
Perempuan kelahiran Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) itu sudah tinggal di Ekas sejak tahun 2018 silam bersama suaminya. Pada tahun 2018 ini pula Noy mulai mengajak masyarakat khususnya anak-anak untuk penduli terhadap lingkungan dan menjaga kebersihan pantai. Tak jarang Noy sering mengadakan lomba untuk anak-anak, sebagai pemacu semangat mereka.
“Kami mulai pada tahun 2018 dengan mengadakan lomba membersihkan pantai,” tutur Noy.
Kegiatan membersihkan pantai terus berlangsung hingga pada Desember 2020 terbesit keinginan pada Noy untuk membuat sebuah kelas belajar. Ide ini muncul karena Noy melihat minimnya kegiatan yang dilakukan anak-anak akibat pandemi COVID-19. Dalam proses pembelajaran Noy mengajak anak-anak didiknya belajar di bawah pohon waru yang ada di pinggir pantai. Dan dari sinilah kelas belajar Noy diberi nama Tree of Hope Ekas atau Pohon Harapan Ekas.
Setelah berbincang cukup lama, satu persatu dari tiga puluh murid Tree of Hope Ekas datang. Dari belakang pintu masuk suaranya sudah terdengar, “Good afternoon teacher.” Wajah bahagia dari Noy mendengar murid-muridnya datang untuk belajar tak bisa disembunyikan, Noy langsung berdiri dari tempat duduknya dan menyambut mereka. Sayangnya, siang itu angin tertiup cukup kencang dan langit ditutupi oleh awan-awan gelap, sehingga memaksa pembelajaran dialihkan ke restoran villa yang saat ini tutup karena pandemi.
Sebelum proses pembelajaran dimulai, anak-anak tersebut tampak membuat lingkaran kemudian menyanyikan lagu anak-anak seperti Naik-Naik ke Puncak Gunung, Cicak-Cicak di Dinding yang sudah dialih bahasakan ke bahasa asing. Semangat mereka untuk belajar terdengar sangat jelas dari bagaimana mereka bernyanyi, suaranya lantang dan keras.
Setelah selesai menyanyi mereka kemudian duduk rapi beralaskan tikar. Sebelum Noy menanyakan tentang tugas mereka, mereka sudah mengangkat tangan dan tak sabar ingin menceriatkan cerpen yang telah mereka baca.
Noy menyampaikan kepada kami bahwa proses pembelajaran harus disampaikan dengan cara yang menyenangkan, sebab anak-anak yang ikut kelas Tree of Hope Ekas dimulai dari usia PAUD sampai SD.
Bersama Masimo, Noy mengarahkan fokus pembelajaran bahasa asing. Terdapat lima bahasa yang diajarkan yaitu Bahasa Inggris, Italia, Spanyol, Korea, dan bahasa Jepang. Noy mengungkapkan pembelajaran bahasa asing fokus pada Bahasa Inggris dan Bahasa Italia.
Meskipun proses pembelajaran masih terbilang baru bulan, namun Noy murid-muridnya sudah menunjukkan perkembangan pesat. Mereka sudah mampu mengucapkan salam dari beberapa bahasa dan sudah mampu menggambarkan situasi dan kondisi alam yang ada di Ekas.
“Ciao, Valentino Rossi! Noi siamo I bambini di Ekas in Lombok! Dai Vieni a trovarci: Ia nostra seiagigia e’ bianhissma, il mare e’ azzurro e tutto il villaggio ti aspetta (Halo Valentino Rossi! Kami adalah anak-anak Ekas di Lombok! Datang dan kunjungi kami, pantai kami sangat putih, lautnya biru dan seluruh desa menunggu anda)” kata Salwa salah seorang murid Tree of Hope Ekas dalam Bahasa Italia.
Apa yang dilakukan oleh Noy dan Massimo ini, tak lain karena mereka ingin melihat anak-anak didiknya tidak canggung saat bertemu dengan wisatawan asing. Mereka percaya, anak-anak Tree of Hope Ekas mampu memperkenalkan keindahan Ekas ke kancah dunia. Sebab Ekas diyakini sebagai penyangga pantai Kuta Mandalika lokasi Sirkuit Moto GP 2021.
Noy dan Massimo berharap Tree of Hope Ekas memiliki sebuah taman baca yang dapat menunjang pembelajaran, Ia juga berharap pemerintah setempat dapat menyediakan bak sampah di area pantai.