Negara-negara di Asia terkenal dengan hasil hutan yang beragam. Dari kayu dengan kualitas terbaik, sumber daya mineral yang melimpah, dan rempahnya dari yang berbau harum semerbak sampai pedas menggigit. Hasil hutan berupa rempah seperti pala, cengkeh, kayu manis, dan lainnya merupakan komoditas yang jaman dahulu nilainya sangat tinggi.
Pencarian sumber rempah itu akhirnya mendorong orang-orang Eropa berlomba melakukan perjalanan dengan dalih eksplorasi, yang akhirnya memicu kolonialisasi di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia.
Hasil hutan nusantara selain menjadi rebutan koloni Eropa, juga menjadi pendorong keberagaman masakan Indonesia. Beda daerah, beda pula selera lidah—masakan Jawa Tengah terkenal dengan rasa manisnya, masakan Sumatra Barat terkenal dengan santan yang banyak, Maluku yang melimpah rempah justru menggunakan rempah yang minimal pada masakan.
Beberapa waktu lalu, di salah satu lokakarya Hore Hutan x Sekolah TelusuRI, saya mengetahui bahwa Hutan Itu Indonesia memiliki program yang mendukung produksi hasil hutan bukan kayu (HHBK). Setelah ditelusuri, ternyata beberapa contoh hasil hutan bukan kayu tidak asing di telinga saya. Adalahmadu, sagu, bunga telang, dan kopi. Namun terminologi HHBK ini cenderung baru saya dengar, walaupun produk-produknya sendiri sudah sering saya konsumsi.
Saya berbincang dengan Diyah Deviyanti, seorang Project Coordinator di Hutan Itu Indonesia yang juga seorang pecinta kuliner Indonesia. Semenjak pandemi ini, ia cukup senang bisa bekerja dari kampung halamannya, Kabupaten Kapuas Hulu. Salah satu alasannya adalah karena bisa menikmati makanan endemik Kapuas Hulu setiap harinya.
Kapuas Hulu masih memiliki banyak hutan, maka tidak heran makanan sehari-hari Diyah berbahan utama HHBK. Saya pun sangat tertarik dengan HHBK di Kapuas Hulu. Berbeda dengan produk-produk HHBK yang saya sebutkan sebelumnya, kali ini Diyah berbicara tentang HHBK yang jarang diketahui orang dan jarang diproses secara industrial. Tentunya HHBK yang akan dibicarakan di sini adalah hasil hutan yang tidak dilindungi dan tidak langka.
Ternyata banyak sekali HHBK di Kapuas Hulu yang menarik dan unik. Berikut ini beberapa yang diceritakan Diyah kepada saya.
Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku atau yang sering disebut pakis, banyak tumbuh di daerah hutan maupun rawa karena termasuk tumbuhan liar. Entah mungkin saya yang mainnya kurang jauh, tapi saya belum pernah menemukan makanan yang berbahan dasar tumbuhan paku.
Saking banyaknya, ragam jenis tumbuhan paku juga bermacam – macam. Ada pakis ikan, pakis midin, dan pakis benua.
Karena masyarakat Kapuas Hulu masih banyak yang memanfaatkannya sebagai bahan pangan, tumbuhan paku ini juga dapat ditemukan dijual di pasar tradisional. Kata Diyah, hal ini dikarenakan sudah jarang masyarakat Kapuas Hulu yang masih ke hutan untuk mencari hasil bumi seperti pakis ini.
Saya pun penasaran, makanan seperti apakah yang biasa dibuat dari tumbuhan paku ini. Ternyata tumbuhan paku ini bisa dengan sederhana diolah seperti ditumis, dan rasanya diakui Diyah juga tidak kalah dengan tumisan lain.
Kulat
Mungkin kalian lebih familiar dengan sebutan jamur. Ya, kulat atau jamur juga menjadi HHBK yang sering dimanfaatkan menjadi masakan. Salah satunya adalah kulat taun.Seperti namanya, kulat taun ini tumbuh sepanjang tahun dan biasa hidup di pohon-pohon yang tumbang dan sudah lapuk di hutan. Walaupun sekilas perawakannya mirip dengan jamur tiram, kulat taun memiliki rasa dan tekstur yang berbeda.
Tekstur kulat taun lebih kenyal dan memiliki rasanya memiliki sedikit aroma khas batang pohon lapuk. Namun rasanya akan hilang setelah dimasak dan dicampur rempah dan bahan masakan lain.
Buah dan Tumbuhan Lainnya
Hasil hutan rasanya tidak lengkap apabila tidak disertai dengan menyebutkan buah-buahan maupun tumbuhan lainnya. Buah yang pertama adalah buah ngkala. Ngkala berbentuk bulat dengan sisi atas dan bawahnya berbeda ketebalan, berwarna merah muda saat masak. Cara memakannya juga sangat unik. Buah yang matang harus dipanaskan terlebih dahulu dalam air panas. Bisa dikasih garam sebagai tambahan bumbu.
“Rasanya manis, asin, dan creamy seperti durian” ucap Diyah.
Berbicara durian, durian hutan Kalimantan sudah tersohor banyak jenisnya. “Durian hutan bentuknya lebih kecil, lebih terasa manis dan lebih kuning dagingnya daripada durian biasanya” tambahnya.
Umbut rotan dan umbut kangkang juga merupakan hasil hutan yang populer di masyarakat lokal. Umbut, atau yang biasa kita sebut pucuk, kerap disajikan dalam masakan khas masyarakat Kapuas Hulu.
Buah asam petikala tumbuh di dataran tinggi Kalimantan. Daging buahnya terasa asam dan berwarna hitam. “Biasa dicampur dengan cabe, garam, dan terasi, lebih nikmati dimakan langsung meski bisa menjadi sambal ataupun sebagai pengasam makanan.”
Jenis sawi unik juga ada yang tumbuh di ladang-ladang Kapuas Hulu. Sawi Dayak berbentuk lebih kecil dan berbau menyengat layaknya wasabi. Ada berbagai cara pengolahannya seperti ditumis, diasinkan seperti kimchi, atau ditaburi garam dan dicampur asam kandis.
Hutan Terjaga, Air Sungai Mengalir, Ikan Air Tawar Melimpah
Hutan menjadi salah unsur penting untuk menjaga kualitas air sungai yang baik. Nah, selain HHBK, hutan yang terjaga membuat ikan air tawar melimpah. Sebagai sumber protein hewani yang murah dan mudah didapat, ikan mendapatkan banyak penggemar di Kalimantan, termasuk Kapuas Hulu. Keragaman ekosistem air tawar yang ada di sana berbanding lurus dengan spesies ikan yang juga melimpah.
Semisal gabus. Ada dua varietas gabus yang biasa dijadikan santapan masyarakat disana, runtuk dan toman. Kedua ikan yang masuk kedalam genus channa ini diketahui mengandung protein albumin yang tinggi.
Meski ketersediaan ikan gabus melimpah, masyarakat lebih memfavoritkan ikan lais, patik, dan biawan. Diyah berujar daging ikan-ikan tersebut terasa lebih lezat dan empuk daripada daging gabus. Selain jenis ikan, masyarakat Kapuas Hulu juga mengkonsumsi kuyung batu, sejenis keong tutut yang biasa hidup di bebatuan sungai.
Diyah, selain tertarik dengan pelestarian, juga menggemari menyantap kuliner lokal sebagai salah satu hobinya. Untuk memperoleh masakan lokal dengan citarasa terbaik, sulit didapatkan di meja-meja restoran. “Interaksi dengan masyarakat lokal lah yang akhirnya bisa membawa kita mencicipi masakan lokal” paparnya. HHBK jarang menjadi komoditi ekspor karena sifatnya yang terbatas.
Kondisi alam yang terus berubah semenjak eksploitasi berlebihan memainkan peran yang signifikan dalam pelestarian hewan maupun tumbuhan endemik. Satu persatu hewan dan tumbuhan memperoleh status diambang kepunahan ataupun punah sama sekali.
Satu persatu pula makanan lokal yang awalnya mudah ditemukan menjadi tidak terlihat akibat bahan baku yang sulit didapat. Sekali lagi, tanpa hutan, bisakah kita melestarikan makanan lokal kita?
Artikel ini merupakan kolaborasi TelusuRI dengan Hutan Itu Indonesia.