Blitar tidak hanya dikenal dengan Museum Bung Karno dan Wisata Kampung Coklat-nya saja. Namun, salah satu kota di Jawa Timur yang berbatasan dengan kabupaten Malang ini juga menyuguhkan wisata pantai yang menarik untuk dikunjungi. Tidak mengherankan apabila Blitar mendapatkan julukan “Seribu Pantai.”

Dengan menumpang kereta api lokal dari Malang, saya nekat untuk sambang ke indekos salah satu teman yang sedang berkuliah di sebuah kampus negeri di Kota Blitar. Perjalanan hanya memakan waktu kurang lebih dua hingga tiga jam. Sesampainya di Blitar, saya langsung disambut dengan pertanyaan, “mau ke pantai mana?” Saya yang baru pertama kali ke Blitar dibuat kebingungan.“Terserah, yang penting sepi dan ada tulisannya.”

Perjalanan dimulai keesokan harinya. Saya dan tiga orang yang lain sempat mampir ke sebuah kedai yang menjual sate tahu, salah satu makanan khas Kota Blitar. Makanan tersebut kami jadikan bekal untuk mengganjal perut saat telah tiba di pantai. 

Pantai ini terletak di Desa Sumbersih, Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar. Dengan mengemudikan dua kendaraan bermotor, kami mencoba melalui jalan yang ditunjukkan oleh arah anak panah Google Maps. Kami juga melewati kawasan yang seluruhnya hutan, hanya dibelah oleh jalanan berbeton. Total waktu perjalanan kira-kira selama dua jam dari pusat Kota Blitar. Karena saat itu musim hujan, kami harus dihadapkan oleh jalanan setapak ekstrem penuh lubang dan berlumpur. Hingga motor teman saya harus terperosok ke dalam parit. Bukannya menolong, kami malah tertawa (jangan ditiru).

Setelah sempat bergulat dengan kondisi jalan yang sungguh menguras tenaga. Sayup-sayup terdengar suara deburan ombak menghantam karang. Tidak ada biaya masuk, hanya ada biaya parkir sebesar lima ribu rupiah. Selanjutnya kami menarik langkah kaki menuju sebuah gubuk kayu di pinggir pantai. Segera kami membuka pembungkus kertas sate tahu yang sedari tadi tersimpan rapi di dalam tas. Sungguh nikmat rasanya merasakan gurih dan manisnya bumbu kacang sate tahu sembari melemparkan pandangan ke arah lautan Samudra Hindia.

Pantai Peh Pulo/Melynda Dwi

Seperti halnya slogan yang tertempel pada papan kayu di bibir pantai ini. ‘Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak/mantan’, kami tidak lupa untuk segera membuang kertas pembungkus pada sebuah tempat berbentuk bundar berisikan beragam jenis sampah. Sungguh beruntung, karena hanya kami bertiga yang menjadi pengunjung. Nampak air laut meninggi menutupi batuan karang. Terhampar beberapa tebing batu karang, tidak mengherankan jika Pantai Peh Pulo disebut sebagai Raja Ampat-nya Blitar. Sepertinya pantai ini belum dikelola oleh Pemerintah ataupun swasta. Sehingga keasrian dan kealamiannya benar-benar masih terjaga. Namun jangan khawatir, karena sudah ada toilet dan musala.

Tidak ada aktivitas yang terlihat, hanya ada seorang nelayan yang tengah memperbaiki jala. Serta tampak dari kejauhan sebuah bangunan sederhana bertuliskan ‘warung’. Tanpa pikir panjang kami menghampiri pemilik warung untuk meminta membuatkan kami beberapa gelas es degan (kelapa muda). Saya yang sedari awal merasakan peluh terus mengucur, langsung saja memesan dua gelas sekaligus. Makanan dan minuman yang ditawarkan terhitung sangat terjangkau. Hanya dengan mengeluarkan uang sebesar tiga ribu rupiah, sudah bisa menikmati segelas es kelapa muda. Bahkan terdapat juga menu olahan seafood seperti ikan bakar yang ditangkap langsung oleh nelayan.

Foto Pemandangan dari Atas Bukit/Melynda Dwi

Setelah merasa stamina telah terkumpul, kami memutuskan untuk menikmati view dari atas bukit. Diawali dengan melewati jembatan bambu, kami harus menghadapi jalanan menanjak melawan gravitasi bumi dengan berjalan kaki. Kami disuguhkan dengan sebuah perkebunan jagung yang telah nampak menguning. Tidak melewatkan kesempatan, kami sempat untuk mengabadikan foto diantara rimbunnya pohon jagung. Terlihat pula sebuah tumpukan kayu bekas api unggun yang menandakan bahwa telah ada manusia yang camping disini sebelumnya. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah tebing beralas tanah. Pemandangan gundukan pasir membentuk perbukitan sungguh memanjakan mata. Untuk beberapa menit kami mengamati pergolakan air laut dari atas. Namun tiba-tiba ombak menyambar tebing yang kami singgahi. Masih beruntung kami tidak mengalami suatu hal yang tidak diinginkan.

Foto Batu Karang/Melynda Dwi

Selanjutnya kami berkeinginan sejenak merasakan dinginnya air laut Pantai Peh Pulo. Saat mentari semakin terik, nampak air laut telah menjauh dari bibir pantai. Batu-batu karang tanpa ragu muncul ke permukaan. Bergegas kami menuruni bukit dan singgah sejenak ke sebuah warung yang tadi didatangi. Hanya saya yang membeli es kelapa muda lagi. Total ada tiga gelas es kelapa muda yang telah saya teguk dalam sehari. “Ya Allah, Mbak Mel, awas jadi sapi gelonggongan,” ucap seorang perempuan berkerudung navy panjang. Saya hanya membalasnya dengan tertawa kecil.

Saat menuju gugusan batu karang yang tertutup lumut. Kami menjumpai sosok kecil penghuni laut, semacam cacing yang terbawa oleh air pasang. Kami hanya menatapnya dari kejauhan karena merasa geli. Kami lebih tertarik untuk menikmati suara ombak dan hembusan angin yang terus menerpa.

Tinggalkan Komentar