Kekayaan Nusantara itu Bernama Halili dan Topi Nunu

Di Tanah Celebes, pohon nunu tumbuh di hutan-hutan. Tubuh besarnya mampu menaungi apapun yang ada di bawahnya. Sementara akarnya mampu mengikat tanah. Konon katanya, pohon nunu didiami setan-setan. Maka, tiada orang yang berani menebang.

Pada zaman prasejarah, ketika serat sintesis belum tercipta, manusia menggunakan pakaian yang terbuat dari alam. Di Sulawesi Tengah, ada karya nusantara yang dibuat dengan tekun oleh para perempuan. Ina Tobani, ditemani Hasna, menceritakan salah satunya kepada saya, tentang Halili dan Topi Nunu, pakaian tradisional dari Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, yang terbuat dari kulit kayu.

“Dari zaman kita punya orang tua, hanya membuat Halili dan Topi Nunu dari pohon nunu dan tea. Nunu itu artinya beringin. Jadi pohon nunu itu beringin dan tea itu mirip seperti pohon sukun,” ucap Hasna.

Proses Pembuatan Halili dan Topi Nunu

Ina Tobani menceritakan proses panjang pembuatan Halili dan Topi Nunu kepada saya di Rabu siang. 

Lepas musim tanam padi, kulit nunu dipanen pada pertengahan bulan muda, ketika daun pohon nunu sudah tampak mengkilat. Namun jangan sampai terlalu hitam, karena kulit kayu sudah tebal dan keras sehingga sulit untuk dikupas. 

Bagian yang diambil adalah yang berada di antara tulang dalam pohon dan kulit luar. Sementara batang pohon yang dipangkas adalah bagian cabang atau ranting pohon nunu.

Halili dan Topi Nunu
Proses pembuatan Halili dan Topi Nunu/Diyah Deviyanti

“Kami tidak menebang pohon. Hanya mengambil cabang atau rantingnya saja,” Hasna menjelaskan.

Kulit nunu yang sudah berhasil dikupas, lalu dicuci, dan kemudian direbus untuk menghilangkan getah dan kotoran yang menempel. Lepas bersih, kulit kayu dibungkus dengan tanaman belukar bernama daun lebonu, lalu diperam dalam bakul selama tiga malam.

Keesokan paginya, peralatan lain disiapkan. Pembuatan kain kulit nunu memasuki proses selanjutnya; penghalusan kulit nunu dengan cara dipukul-pukul. Dua buah balok kayu diletakkan dengan jarak tertentu di atas ambin di pekarangan. Kayu itu bernama pola

Selembar kayu lain yang lebih lebar dan panjang, tatua, diletakkan di atas kedua pola, sebagai landasan  untuk meletakkan kulit nunu yang akan dipukul. Sebuah kayu panjang dari pelepah enau yang disebut pala berfungsi sebagai alat pemukul.

“Dipukul sampai hancur, sampai dia menjadi lunak, tiada lagi bajari-jari, lalu dipukul lagi deng batu banama ike,” ucap Ina Tobani dengan logat Melayu yang kental.

Tak hanya satu, ada beberapa jenis batu ike yang dipakai untuk menghaluskan kulit kayu. Penghalusan pertama menggunakan batu ike tinahi, merupakan batu ike terbesar yang berfungsi untuk memanjangkan kulit nunu. Dilanjutkan dengan batu ike tiwa yang berfungsi memanjangkan kulit nunu, lalu batu ike pogea untuk melebarkan kulit nunu, dan penghalusan kulit nunu berakhir dengan menggunakan batu ike popapu yang bergerigi besar dan kasar pada bagian belakang sementara sisi lainnya berukuran lebih kecil.

Ina Tobani, perempuan yang sudah membuat kain kulit nunu sejak tahun 1957 itu terus bercerita. Kulit nunu kemudian dijemur di bawah sinar matahari hingga kering. 

Lepas mengering, kulit nunu kemudian diawetkan menggunakan pengawet alami dari pohon ula. Pengawetan ini dimaksudkan untuk menguatkan kulit kayu agar tidak sobek. Pohon yang, semacam buah manggis ini, juga digunakan sebagai pewarna alami untuk menghasilkan warna merah.

Setelah halus seperti kain, kulit nunu kemudian dibersihkan dengan cara direndam ke dalam air, diperas, lalu dijemur hingga kering. Lepas semua usai, barulah kulit nunu dibentuk sesuai dengan pakaian yang ingin dibuat.

“Semua bahan kami ambil dari alam. Pewarna hitam dari lumpur, dan ada kulit kayu tertentu yang menghasilkan warna merah. Kalaupun ingin menggunakan aksesoris, manik-manik dari alam saja. Ada pohon-pohon yang kecil di hutan.” ucap Hasna.

Alam adalah Ibu

  • Halili dan Topi Nunu
  • Halili dan Topi Nunu
  • Halili dan Topi Nunu

Adat istiadat dan budaya nusantara memang selalu berjalan sejajar dengan kelestarian alam. Hidup dalam satu bentangan alam tertentu, membuat masyarakat memiliki filosofi hidup “alam adalah ibu”. Bahwa alam harus dijaga agar terus lestari sampai ke anak-cucu. Mereka mengambil seperlunya, tidak berlebihan, karena menyadari, jika alam rusak, mereka pun akan kehilangan rumah dan segala kebutuhan hidupnya.

Pun yang terjadi pada pembuatan Halili dan Topi Nunu. Tidak ada pohon yang ditebang, tidak ada alam yang rusak. Mereka hanya mengambil ranting-ranting pohon nunu, selain sebagai upaya untuk meremajakan pohon itu sendiri.

“Beringin ini ‘kan perakarannya kuat. Karena kami di pegunungan, daerah-daerah di kemiringan, keberadaan pohon nunu untuk menahan erosi agar tidak longsor,” ucap Hasna.

Ada cerita menarik yang terlontar dari Hasna ketika saya bertanya mengenai mitologi pohon nunu yang, barangkali, dipercaya oleh warga Kulawi. Ia menceritakan bahwa pohon nunu ditakuti oleh warga. Mereka memercayai bahwa pohon nunu dihuni oleh setan-setan.

“Mungkin orang tua kami dulu menciptakan mitos bahwa pohon itu banyak setan agar orang tidak menebang.”

Simbol untuk Konservasi

  • Halili dan Topi Nunu
  • Halili dan Topi Nunu

Di Pulau Jawa, tempat tinggal saya sekarang, pohon beringin juga dipercaya sebagai pohon yang dianggap mistis karena dihuni oleh roh-roh nenek moyang. Di Yogyakarta, pohon beringin memiliki perannya sendiri bagi Kesultanan Yogyakarta. Pohon besar dan rimbun itu dianggap sebagai simbol pengayoman seorang raja untuk rakyatnya. 

Dua pohon beringin yang dipagari berdiri tegak di tengah Alun-alun Utara dan Selatan Yogyakarta. Ringin kurung, begitu masyarakat menyebutnya, dipercaya sebagai gerbang muka dan belakang Keraton Yogyakarta yang dilalui sumbu imajiner antara gunung di utara dan pantai di selatan. Tak heran, masyarakat Yogyakarta memercayai pohon beringin sebagai pohon pusaka.

Saya jadi tergelitik, barangkali sama dengan yang terjadi di pohon nunu, orang Jawa zaman dulu membuat mitos bahwa pohon beringin itu adalah pohon pusaka agar tidak sembarang ditebang. Tidak ada yang tahu pasti.

Pada zaman ketika peradaban kain belum masuk ke nusantara, Halili dan Topi Nunu ini merupakan pakaian sehari-hari, tidak ada yang istimewa. Namun, kini telah bergeser. Pakaian dari kulit nunu itu memiliki peran khusus dalam adat istiadat.

“Kalau sekarang naik derajat menjadi pakaian adat yang digunakan dalam upacara-upacara adat seperti menari dan menerima tamu,” jelas Hasna.

Saya berpendapat, dengan keanekaragam kekayaan alam ini, yang juga sejalan dengan filosofi ibu bumi, membuat nusantara memiliki komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu yang juga sangat beragam. 

Selain kain kulit nunu, Hutan Itu Indonesia mencatat dalam hutanitu.id/pesonahutan, tanaman hutan berupa pandan, nipah, bambu, dan rotan memungkinkan untuk diolah menjadi suatu barang yang memiliki nilai jual lebih seperti kain tenun, anyaman, tikar, bahkan sebatas pewarna alami.

Sepi Penerus

Halili dan Topi Nunu

Meski begitu, ada kegundahan yang menderu di benak Hasna. Ia mengkhawatirkan tentang daerah lain yang tidak meneruskan tradisi pembuatan kain kulit ini kepada generasi muda, mengingat pembuatan Halili dan Topi Nunu yang memiliki proses rumit dan panjang.

“Ini soal kepedulian dan minat orang,” ucapnya lantang. Di Pulau Sulawesi, kekayaan Nusantara ini hanya terdapat di Kabupaten Sigi dan Poso. Di Sigi sendiri ada di Kecamatan Kulawi, Lindu, Tipikoro, dan Kulawi Selatan. Sementara di Poso, terdapat di Bada dan Besoa. 

“Di pulau ini tinggal satu-dua tersisa orang seperti Ina Tobani ini yang mau melanjutkan,” Hasna meneruskan keluh kesahnya.

“Bagaimana dengan dukungan pemerintah daerah?” tanya saya kemudian.

Hasna menjawab, “Dukungan pemerintah daerah hanya sebatas membantu dalam hal dokumentasi dan promosi. Belum sampai pada aturan atau himbauan.”

Lagi-lagi, ini masalah yang sudah lumrah terjadi di Indonesia. Tidak maksimalnya dukungan pemerintah membuat banyak karya anak bangsa yang luntur satu demi satu, menghilang dari ingatan. Ditambah dengan kurangnya minat generasi muda untuk meneruskan tradisi nenek moyang. Mereka lebih memilih pergi ke kota-kota besar, bekerja menjadi pegawai, lupa pada akar rumput. Hingga akhirnya tersadar, bahwa sudah tiada lagi pohon nunu dan hijau hutan meranggas menjadi abu-abu kerasnya bangunan.

Jangan sampai.


Artikel ini merupakan kolaborasi TelusuRI dengan Hutan Itu Indonesia.

Tinggalkan Komentar