Di akhir minggu kedua Februari kemarin, TelusuRI bincang-bincang dengan Jessica Novia, founder dari Carbon Ethics dan Carbon Ecotrip di segmen #NgobrolBareng. Pada sesi kali ini, kami banyak membahas tentang sampah tak terlihat yang kerap kali dilupakan, yakni jejak karbon.
Untuk kamu para pejalan, traveling memang jadi satu hal mengasyikkan. Namun, sadar nggak sih kalau aktivitas traveling kita ternyata menghasilkan jejak karbon yang berkontribusi dalam pemanasan global dan perubahan iklim?
Bumi sudah mengalami krisis iklim
Perlu disadari, beberapa tahun belakangan ini cuaca sering kali nggak menentu. Baru-baru ini, dari hampir semua media memberitakan banjir yang menggenangi daerah-daerah hijau. Karena banjir, petani jadi gagal panen. Belum lagi gelombang tinggi yang membuat para nelayan sulit mendapat ikan. Akibatnya, kalau kita mau melihat lebih jauh keluar, krisis iklim ini dampaknya kemana-mana mulai dari ekonomi, sosial, kesehatan, dsb. Krisis iklim ini bisa terjadi tak lain karena adanya jejak karbon yang terus meningkat setiap tahunnya.
Jejak karbon sendiri adalah emisi atau sampah yang kita hasilkan dari kegiatan atau aktivitas kita sehari-hari. Contoh yang simple aja deh, misalkan kita buka ponsel dan nonton hal-hal yang lagi viral, karena seru kita tidak sadar kalau baterai ponsel habis dan harus diisi ulang. Pada saat kita nge-charge, kita menggunakan listrik, yang pada dasarnya listrik berasal dari batu bara yang dibakar dan menghasilkan karbon dioksida.
Tanpa disadari, emisi karbon muncul dari aktivitas sesederhana ini. Hanya saja, kembali lagi, kita nggak menyadarinya. Kalau terus dibiarkan, kerusakan alam dan bencana diprediksi akan lebih sering dijumpai.
Traveler juga penyumbang emisi karbon terbesar
Kata Jessica, ilmuwan mulai berkoar-koar kepada warga dunia kalau kita sudah tidak punya waktu lagi untuk menyelamatkan bumi. Waktu aman kita cuman sampai 2030, sekitar 9 tahun lagi. Dari semua itu, traveler adalah penyumbang 8% emisi karbon sedunia. Angka delapan mungkin terlihat kecil, tapi dampaknya besar banget.
Setiap perjalanan yang kita lakukan selalu menghasilkan jejak karbon. Jejak karbon ini bisa berasal dari perjalanan menggunakan pesawat yang semakin jauh jarak tempuhnya, semakin besar karbon yang dihasilkan hingga penggunaan transportasi darat lain.
Nggak hanya itu, ketika melakukan perjalanan, kita juga suka banget yang namanya wisata kuliner. Aktivitas yang kita sukai ini juga tanpa sadar menghasilkan jejak karbon.
Yang bisa kita lakukan untuk mengurangi jejak karbon
Jessica sebagai founder dari Carbon Ethics dan Carbon EcoTrip punya tagline yang bisa banget kita terapkan sebagai upaya “tebus dosa”. “Reduce what you can, offset what you can’t”, kurang-kurangin apa yang bisa, dan tebus apa yang kita nggak bisa.
Kita bisa mengurangi karbon mulai dari hal sederhana, misalnya dengan memilih makanan yang akan kita konsumsi dari daging sapi, daging ayam, sama sayuran. Daging merupakan makanan dengan penghasil emisi karbon tertinggi, oleh karenanya kita bisa mulai mengurangi konsumsi jenis makanan ini. Alternatifnya, kita bisa memilih sayur sebagai penyumbang emisi karbon terendah untuk dikonsumsi lebih banyak Dengan begitu kita sudah menerapkan upaya yang pertama yaitu “reduce what you can, offset what you can’t,” jelas Jessica.
Lalu, ‘tebus apa yang kita nggak bisa’ ini maksudnya apa sih?
Nah, kalau lagi traveling tentu kita akan menggunakan transportasi baik darat, laut, maupun udara. Nggak mungkin kan mau jalan kaki dari Jakarta sampai Bali, misalnya.
Traveling dengan mengendarai alat transportasi ini yang nggak bisa hindari. Oleh karenanya, wajib kita tebus karbon-karbon yang dihasilkan. Untuk upaya tebusnya, kita bisa menanam pohon.
“Dari segi biologi, pohon yang ada disekitar kita akan membutuhkan CO2 untuk berfotosintesis, karbon akan menuju batang dan oksigen akan dilepaskan kembali, dunia sudah punya sistematika yang begitu luar biasa”, tutur Jessica.
Carbon Ecotrip sendiri punya beberapa rangkaian yang dilakukan sebelum pergi traveling bersama para pejalannya. Yang pertama, pastikan kita membawa botol minum sendiri, lalu bawa tas yang bisa digunakan sebagai pengganti plastik, lalu selalu memilih makanan lokal selama traveling berlangsung.
Jessica bilang, kita harus melihat teliti memilih makanan yang akan dimakan. Jangan sampai memilih makanan yang bahan-bahannya berasal dari luar daerah karena membutuh transportasi dengan bahan bakar lebih untuk mengantar bahan-bahan makanan tersebut.
Lalu yang terakhir adalah planting yang berkolaborasi dengan masyarakat lokal.
Harapan kedepan untuk para pejalan
Di Indonesia peraturan tentang jejak karbon belum terlihat jelas, namun sudah seharusnya kita memiliki ambisi untuk berkontribusi dalam menangani krisis iklim dan pemanasan global. Oleh karenanya Jessica mengajak kamu, para pejalan, untuk ikut ambil andil dan merencanakan perjalanan dengan lebih baik untuk mengurangi timbulnya sampah-sampah tak terlihat dari aktivitas perjalanan.
“Kita punya andil yang besar untuk mengurangi jejak karbon, kita punya Kalimantan yang disebut paru-paru dunia, tapi sayangnya tidak dijaga. Kita harus punya ambisi yang jelas dan aksi yang jelas.” pungkas Jessica.
Sampah Kita merupakan sebuah tajuk untuk berbagi pengalaman refleksi tentang sampah. Sampaikan cerita dan refleksimu soal sampah, bagikan tips dan kiat menyelesaikannya di telusuri.id/sampahkita.
Sampah Kita didukung oleh Lindungi Hutan dan Hutan Itu Indonesia.