Sutra Bugis atau Sabbe yang saya ingat adalah sarung dengan tekstur kaku. Warnanya cerah dan berkilauan jika terkena cahaya. Lebih berat dibanding kain biasa.
Nenek saya menjemurnya tiap pulang dari pesta pernikahan. Begitulah fungsinya. Dalam beberapa ritual adat terutama pernikahan, sarung sutra Bugis (Lipa’ Sabbe) adalah setelan utama—di luar jas tutup dan baju bodo. Ini jadi semacam cara membedakan tamu undangan di sebuah pesta—mana kerabat, dan yang bukan.
Harga Sabbe bisa mencapai jutaan rupiah. Selain untuk ritual, benda satu ini menunjukkan identitas kelas. Tapi, mengapa harganya setinggi itu?
Jawabannya ada di Kabupaten Soppeng dan Wajo. Berjarak sekitar empat sampai lima jam perjalanan dari Makassar. Ada dua jalur untuk ke sana. Semuanya adalah jalanan menanjak yang curam dan berkelok tajam.
Pertama, jalur Camba—lewat Kabupaten Maros. Di sini, jalanan lebih luas dan beraspal halus pada beberapa titik. Kanan dan kirinya diapit kawasan karst terbesar di dunia. Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Tebing-tebing menjulang, sawah terhampar, dan udaranya cukup sejuk.
Yang kedua adalah Buludua—lewat Kabupaten Barru. Jalannya sempit dan berkerikil, tapi lebih landai dibanding Camba.
Jika lewat Camba, kita melewati Kabupaten Bone terlebih dahulu. Sementara Buludua memotong langsung ke Pasar Sentral Takkalalla yang sudah bagian dari Soppeng. Dari sini, perjalanan ke Desa Pising tinggal 30-40 menit.
Ulat dan Murbei dari Hulu
Pising masuk kawasan khusus pengembangan sutra di Soppeng. Dari Pasar Sentral Takkalalla harus melewati ibukota kabupaten untuk sampai ke sana. Di desa ini, kita dapat menyaksikan produksi sutra dari hulu sampai hilir.
Saya akhirnya paham, alasan kain sutra dijual dengan harga tinggi. Alur produksinya cukup panjang. Mulai dari budidaya murbei sebagai pakan. Ulat ke kokon (kepompong) hingga dipintal jadi benang—sampai tenun yang hampir di setiap proses butuh pengrajin khusus.
Di Pising, murbei ada di hampir tiap pekarangan dan beberapa kebun. Kebanyakan yang ditanam adalah varietas Alba Multicaulis. Tanaman ini berperan penting dalam produksi sutra. Tanpanya, tidak akan ada benang.
Pemeliharaan ulat sutra cukup singkat, tapi punya kesulitan sendiri. Hewan ini hanya mengonsumsi murbei untuk menghasilkan benang. Sensitivitasnya juga sangat tinggi. Sedikit saja udara terkontaminasi input kimia seperti herbisida atau pestisida, ulat akan mati.
Sementara, di desa yang separuh warganya mengandalkan pertanian untuk hidup—input kimia sulit dilepaskan. Karena itu, ulat dipelihara jauh dari kebun. Tepat di bawah kolong rumah tinggal khas Sulawesi yang berbentuk panggung.
Hewan ini juga rentan penyakit. Pada titimangsa 1970-an, ulat lokal terkena wabah pebrine. Penyebabnya adalah protozoa Nosema Bombycis. Ini adalah parasit yang menyerang ulat sutra dari fase telur hingga dewasa. Infeksinya ditandai lewat kemunculan bintik coklat pada tubuh ulat, atau kematian sebelum sempat jadi kokon.
Menurut akademisi Universitas Hasanuddin, Andi Sadapotto, wabah ini membuat ulat lokal dimusnahkan. Awalnya pemerintah mengimpor bibit telur dari Jepang untuk mengatasi krisis bahan baku. Saat itu, sedang ada kerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Sampai sekarang, budidaya ulat sutra di Soppeng dan daerah sekitarnya justru mengandalkan bibit telur dari Cina. Harganya Rp400 ribu per-kotak. Telur impor itu dijual oleh tiga perusahaan. Perum Perhutani, BUMN yang juga bergerak di usaha kayu dan wisata. CV Masalangka, perusahaan swasta yang memiliki izin sebagai importir. Dan KPSA (Kesatuan Pengusaha Sutra Alam).
Memintal kokon jadi benang di kolong rumah
Saat menetas, ulat sutra akan melalui lima masa istirahat (instar). Setiap memasuki fase ini, mereka berhenti makan. Pergantian kulit terus terjadi hingga instar keempat.
Dari menetas hingga instar kelima, memakan waktu dua minggu atau lebih. Di masa istirahat terakhir, pergantian kulit berhenti. Ulat sutra bersiap jadi kokon dan memproduksi serat benang.
Kokon harus dijemur lebih dulu. Agar tidak rusak dan mencegah transformasi ulat jadi ngengat. Seleksi tetap dilakukan untuk berjaga. Beberapa kokon mungkin kempes atau berisi ulat mati.
Semua aktivitas ini tidak membutuhkan ruang lapang. Dapat dilakukan di halaman atau kolong rumah. Termasuk aktivitas pemintalan.
Kebanyakan pemilik ulat di Soppeng menyerahkan kokonnya ke pemintal dan membayar Rp60 ribu. Saya tidak menemukan ada yang memintal sendiri. Hanya ada 18 unit mesin penggulung listrik 100 volt di seluruh kabupaten, dan semuanya adalah bantuan pemerintah. Mungkin itu alasannya.
Setelah dijemur dan disortir, kokon direbus selama 10 sampai 15 menit. Api untuk memasak menggunakan kayu bakar. Sulit untuk menaksir waktu pastinya jika tidak terbiasa.
Ketika matang, kokon dipindahkan ke wadah persegi di mesin penggulung. Serat benang ditarik menggunakan belahan bambu. Ujungnya digiring melewati lubang, lalu dililit ke paralon.
Semuanya dilakukan di atas rendaman kokon yang baru mendidih. Jika menunggu air dingin, proses penggulungan tidak akan berhasil.
Bila serat habis, yang tersisa adalah kulit kokon dan pupa. Keduanya digunakan sebagai pakan ternak ikan atau unggas. Pada tahap ini, seluruh proses awal telah selesai. Pemintalan berlanjut ke penggulungan ulang.
Benang diulir ke sebuah mesin kayu dengan dua sisi membentuk tanda silang. Kedua bagian dihubungkan balok sepanjang dua atau tiga jengkal. Ini adalah tahap akhir sebelum benang masuk proses pengikatan dan siap digunakan.
Hasil akhirnya bisa kita dapatkan di Toko Dua Tani Marhaya. Letaknya di pusat pertokoan Sengkang, ibukota Kecamatan Tempe—bagian dari Kabupaten Wajo.
Waktu yang menciptakan tenun
Menurut sejarawan Cornell, Heine-Geldern, orang bugis sudah mengenal kebudayaan tenun sejak abad ke 13. Sampai sekarang, kegiatan menenun itu masih berdenyut di beberapa titik. Di Sulawesi Selatan, Wajo yang paling terkenal.
Soppeng dan Wajo memang bertetangga. Dari Desa Pising ke Sengkang, waktu tempuh hanya satu jam lebih. Saya awalnya berasumsi jika dua kabupaten ini berbagi kebudayaan yang sama sebab jaraknya berdekatan. Namun dalam beberapa hal, salah satu lebih menonjol ketimbang yang lain.
Orang Soppeng bisa menenun, tapi hasil tenun Wajo lebih baik. Begitupun sebaliknya. Di Wajo, beberapa warga Kecamatan Sabbangparu memintal dan memelihara ulat. Tapi Soppeng lebih produktif dalam bidang ini. Karena itu, hubungan keduanya lebih condong ke berbagi peran.
Ada tiga jenis alat yang digunakan untuk menenun. Alat Tenun Mesin (ATM) yang hanya bisa saya temukan di Losari Silk—usaha tenun terbesar di Sulawesi Selatan. Lalu Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM/semi otomatis) yang dalam bahasa bugis disebut bola-bola, sebab bentuknya mirip rumah. Kemudian alat tenun tradisional (Gedogan) atau sering disebut walida.
Bentuk walida mirip alat tenun di uang rupiah pecahan Rp5 ribuan. Semua proses operasinya serba manual. Di Desa Tosora, tempat berdirinya Masjid Tua yang merupakan peninggalan Kerajaan Wajo—para perempuan memangku walida dari siang hingga sore adalah pemandangan biasa.
Sementara bola-bola berbeda. Cara kerjanya mirip mesin jahit berpedal, tapi tanpa listrik. Sampai sekarang, ini alat tenun yang paling banyak digunakan di Wajo.
Harga tenun sutra dibedakan berdasarkan alat kerja dan motifnya. Semakin tradisional peralatan, harganya semakin mahal. Untuk motif, nilainya ditentukan oleh tingkat kerumitan. Menenun sendiri adalah aktivitas berdurasi paling lama dari seluruh rangkaian produksi sutra.
Ada dua jenis benang yang digunakan saat menenun. Bentangan vertikal yang berfungsi sebagai dasar kain disebut ‘lusi’. Biasanya butuh pengrajin sendiri untuk tahap ini. Terutama jika menggunakan alat tenun gedogan.
Benang dimasukkan ke dalam sisir khusus yang sangat rapat, kemudian dililit ke bambu untuk ditegangkan. Hal ini dilakukan terus menerus hingga dasar kain mulai terbentuk. Aktivitas ini disebut massau bennang.
Sementara bentangan horizontal yang membentuk motif disebut ‘pakan’. Pada proses inilah penenun mengerjakan tugasnya. Menautkan benang helai demi helai hingga jadi Sabbe yang berkilauan. Butuh sedikitnya dua minggu atau sebulan hingga satu tenun selesai.
Kilau pada sutra tidak alami. Ada dua proses pemasakan yang harus dilalui untuk menciptakannya. Proses awal, butuh minimal seminggu termasuk mencuci dan mengeringkan. Sedangkan tahap selanjutnya hanya memerlukan satu atau dua hari. Benang dimasak bersama abu buah maja dan ketapang yang telah didiamkan sehari sebelumnya.
Benang yang telah berkilau akan digulung dan diberi warna sesuai pesanan. Khusus pakan, benangnya diikat pada beberapa bagian untuk menciptakan pola. Bagian inilah yang nantinya dikenali sebagai motif.
Proses pemasakan dan pewarnaan begitu rupa, hanya berlaku untuk tenun yang menggunakan sutra asli. Jika bahan dasarnya adalah sutra sintetis, ceritanya beda lagi.
Yang sutra dan yang bukan
Harga benang sutra sekira Rp600 ribu per-kilogram untuk benang lokal dan di atas satu juta rupiah per-kilogram jika benang impor. Ditambah alur produksi yang panjang dan berkelindan. Harga satu kain atau sarung bisa mencapai jutaan rupiah.
Posisi sutra dalam ritual masyarakat bugis membuatnya selalu dibutuhkan. Namun, harga olahan sutra asli sekitar Rp300-500 ribu untuk modern dan Rp500-700 ribu untuk motif tradisional. Kain yang ditenun dengan walida harganya lebih mahal, bisa mencapai dua juta rupiah atau lebih. Jika mampu menembus pasar Jakarta atau Jawa, harga semua jenis produk Sabbe bisa mencapai belasan juta.
Dengan harga seperti itu, tidak semua kelas sosial dapat membeli produk ini. Itu sebabnya, beberapa olahan sutra asli hanya dibuat berdasarkan pesanan oleh para pengusaha tenun.
Agar roda produksi terus bergerak, usaha tenun dan para pengrajinnya memilih beralih ke bahan baku yang lebih murah. Benang sintetis seperti Viscose, atau Polyester. Harganya, hanya Rp59 ribu per-kilogram.
Benang sintetis juga lebih mudah ditenun. Waktu pengerjaannya lebih singkat. Satu sarung atau kain bisa selesai hanya dalam dua atau tiga hari. Karena itu, produk yang menggunakan bahan ini bisa dijual dengan harga yang lebih murah yakni Rp70-100 ribu.
Produk berbahan sintetis lebih diminati calon pembeli karena harganya terjangkau. Itu sebabnya, jika berkunjung ke sentra penjualan tenun seperti di Kampung BNI, Sengkang atau di Jalan Somba Opu, Makassar jenis kain dan sarung olahan Polyester dan Viscose jadi produk yang mendominasi etalase penjualan mereka.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
Wew, sy baru tahu klau soppeng ternyata juga daerah penghasil kain sutra. Artikel yg mendetail ini, (mulai dari pembahasan seputar sutra, hingga jenis2x alat produksix), semakin membuat sy bergairag untuk menjelajahi kampung sy.