Suasana dingin dan jurang di kanan-kiri tersimpan dalam memori pengalaman pertamaku naik gunung, di Argowiloso. Pengalaman itu kurasakan sudah sekitar lima tahun lalu saat aku duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas, persisnya tahun 2015.
Bertempat tinggal di dataran tinggi, bukan berarti aku sering melakukan pendakian. Puncak Argowiloso di Kabupaten Kudus itu adalah gunung yang pertama kudaki—dan satu-satunya yang kudaki sampai detik ini. Genderlah satu-satunya yang menjadi alasan kuat aku tak diizinkan kedua orangtuaku untuk traveling sesuka hati, apalagi untuk melakukan pendakian. Dan itu masih kurasakan sampai aku menulis pengalaman ini.
Pagi itu, masih pukul 06.30 WIB, aku berdandan rapi dengan seragam putih abu-abu namun tanpa dasi dan sabuk. Tak seperti hari-hari biasanya, hari itu tasku tak kujejali dengan buku pelajaran, melainkan baju kaus lengan panjang. Alas kakiku juga bukan sepatu sekolah, hanya sepatu-sandal gunung.
“Ma, berangkat, ya,” aku pun pamit untuk berangkat sekolah.
Namun, alih-alih sampai di sekolah, aku berhenti di rumah teman. Waktu itu, Selasa, 16 Juni 2015, sekolah sedang mengadakan classmeeting untuk menyambut libur kenaikan kelas. Aku dan teman-teman sudah bikin rencana lain, yaitu jalan-jalan. Benar, aku hendak jalan-jalan tapi pamitnya akan ke sekolah—aku tahu jika aku minta izin untuk jalan-jalan pasti takkan diperbolehkan. Ini, ya, jangan ditiru.
Matahari pun mulai naik sedikit demi sedikit. Jam delapan kami pun berangkat mengendarai roda dua. Berbohong seperti itu membuat perjalananku terasa sedikit tidak nyaman. Bagaimana tidak, untuk menuju ke lokasi pendakian kami harus melewati depan rumahku dulu. Aku khawatir jika ada saudara atau orang yang kukenal melihatku saat itu. Ada yang melihat, habislah riwayatku.
Dari rumah temanku menuju lokasi, kami harus menempuh perjalanan kira-kira 20 kilometer. Karena rutenya lewat depan rumah, tentu aku hafal jalan sampai ke lokasi. Meskipun begitu, aku tak bosan-bosan juga dengan pemandangan sepanjang perjalanan. Naik, turun, tikungan tajam, sawah, sungai—indah sekali. Segar rasanya udara di sana. Posisi matahari sudah di atas, tapi panasnya seolah tak dapat menyentuh kulitku.
Sesampai di daerah Colo, kami memarkiran kendaraan dan meniti jalan setapak menuju air terjun. Jadi, untuk menuju jalur pendakian ini ada dua cara: pertama jalan kaki melewati air terjun, kedua mengendarai motor langsung menuju Air Tiga Rasa.
Namanya jalan-jalan, bukan motor-motoran, aku dan dua belas temanku tentu memilih cara pertama. Untuk ke air terjun kami harus melewati jalan setapak bebatuan yang dibentuk layaknya tangga. Di sepanjang itu juga berderet kios penjual makanan ringan dan air minum. Setiba di air terjun, kami langsung saja menyeberang, tidak mampir. Jika mampir dulu, bisa-bisa hari sudah keburu sore.
Di atas air terjun terdapat jalan bercor yang bisa dilewati kendaraan bermotor. Tapi hanya motor berkopling saja yang bisa naik, sebab medannya terjal. Di ujung tanjakan itu ada semacam pasar kecil yang diramaikan oleh banyak warung makanan. Naik sedikit, kami tiba di Air Tiga Rasa dan beristirahat di sana.
Di sana terdapat tiga sumber mata air yang dingin dengan rasa berbeda-beda. Ada yang masam, ada yang bersoda, ada pula yang seperti air putih biasa. Namun, air itu cuma akan memiliki rasa jika diminum saat masih dingin. Dibawa turun, ketika sudah tak dingin, air itu hanya akan seperti air dingin dengan rasa sedikit aneh—setidaknya begitu yang kualami. Konon, mencuci muka di Air Tiga Rasa bikin awet muda.
Dekat Air Tiga Rasa ada tulisan “Puncak Argowiloso.” Itu bukan jalur resmi, tapi kami memutuskan untuk melewatinya. Sepanjang trek, banyak makam lawas entah pusara siapa. Satu-dua ada yang ziarah ke sana entah demi tujuan apa.
Menuju Puncak Argowiloso, medan yang kuhadapi tentu saja lebih sering mendaki. Akar-akar besar melintang-membujur. Tanah gembur juga menjadi tantangan tersendiri. Salah mengimbil pijakan, bisa jatuh ke jurang yang menganga di kanan-kiri. Kami juga mesti memanjat tangga yang terbuat dari susunan kayu bertalikan rafia. Pengalaman yang memacu adrenalin itu akan selalu kukenang.
Kami juga tak henti-henti berhitung untuk memastikan bahwa anggota kami tak kurang. Sekali waktu, anggota ketiga-belas agak lama menyahut.
“Loh? Kurang siji?!” salah seorang di antara kami berteriak, entah memang karena panik atau cuma mau bikin suasana jadi meriah.
“Telulas!” anggota ketiga-belas pun menyahut. Kami lega.
“Woo! Wes pas!”
Hitung-hitungan itu kami selingi dengan celotehan dan candaan agar suasana tetap gembira.
Lucunya, meskipun merasa sudah melakukan persiapan yang lumayan, kami tak membawa camilan sedikit pun. Air juga hanya kami bawa secukupnya.
Sudah agak di atas, kami berhenti, istirahat, dan berfoto ria di ranting pohon yang kokoh. Sementara kami yang cewek berpose sambil memamerkan secarik kertas berisi tulisan—yang waktu itu sedang tren—para cowok melanjutkan perjalanan ke atas, sampai puncak. Begitu turun, mereka bercerita bahwa puncak berada sekitar dua kilometer dari tempat kami foto-foto, melewati tanah basah yang longsor di sana-sini. Untung saja kami yang cewek-cewek tidak ikut naik.
Kami turun usai foto-foto dan istirahat. Aku lupa jam berapa, yang jelas belum terlalu sore. Perjalanan turun itu bagiku seberat menahan beban hidup. Kakiku gemetar menyangga tubuhku. Aku turun pelan-pelan, menginjak akar pohon secara pasti sembari memegang akar yang lain.
Cobaan sesungguhnya dalam pendakian gunung ternyata adalah perjalanan turun, bukannya perjalanan naik memanjat-manjat itu. Jika tak ikut naik Puncak Argowiloso, mungkin aku tak pernah tahu tentang cobaan terberat itu.
Seperti itulah cerita naik gunung atau “muncak” pertamaku. Perjalanan yang tak sampai sehari itu, yang tak pula sampai membuat kami menginap, masih teringat sampai sekarang.
Omong-omong, seingatku, sampai sekarang aku belum pernah cerita tentang perjalananku itu kepada kedua orangtuaku. Dan—sttt—ini cukup jadi rahasia kita saja, ya.