“Kok kampus kita belum ada edaran, ya?” tanyaku pada teman-teman, suatu sore di bulan Maret 2020, saat menunggu jam tutup laboratorium komputer di fakultasku. Selain itu, aku juga memikirkan masa depan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang semestinya sebentar lagi kulaksanakan.
Awal Maret itu, surat edaran dari universitas-universitas di Indonesia soal pemberlakuan kuliah daring sudah mulai disebarkan. Tapi kampus kami belum mengeluarkan edaran serupa. Tentu itu membuatku bertanya-tanya.
Akhirnya malam Minggu berikutnya surat resmi dari kampusku disebarkan ke seluruh mahasiswa. Kampus memutuskan untuk melaksanakan kuliah daring mulai Senin, 16 Maret 2020. Juga, tidak akan ada penerjunan KKN, hanya KKN daring. Kebijakan terakhir itu tentu membuat aku dan teman-teman kecewa. Pupus sudah harapan untuk merasakan dinamika tinggal di lokasi KKN yang katanya menyenangkan itu.
Meski sudah ada kebijakan bahwa KKN akan didaringkan, aku dan teman-teman satu unit kukuh hendak melakukan survey lapangan sekalian pamit pada induk semang-induk semang kami (para pemilik rumah yang rencananya akan menjadi pondokan kami).
Rasa takut dan rasa ingin tahu bercampur dalam diriku ketika berangkat ke lokasi KKN kami di Kabupaten Gunungkidul. (Tentu kami berusaha menjalankan protokol kesehatan dengan sebaik-baiknya.) Tapi pemandangan indah sepanjang jalan yang kulewati bisa membuatku sejenak melepaskan diri dari rasa waswas. Setiba di lokasi, salah seorang induk semang kelompok unitku bercerita bahwa di wilayah KKN kami sudah ada satu orang yang positif COVID-19.
Pengalaman survey semasa pandemi itu takkan kulupakan. Walau tidak jadi turun ke lapangan, setidaknya aku sudah pernah menginjakkan kaki di rumah yang seharusnya kutinggali selama KKN dan merasakan keakraban bersama teman-teman.
Meski kuliah sudah daring, aku tetap ke kampus untuk melaksanakan tugasku sebagai asisten laboratorium komputer. Saat itu mulai sering diadakan pelatihan untuk dosen. Tapi, kampus yang biasanya selalu ramai, penuh mahasiswa dan civitas akademika, kini sepi kehilangan penghuni. Sudut-sudut yang biasanya selalu semarak sekarang kosong. Angin berembus kesepian, sebab tak bisa menyejukkan sesiapa. Hari demi hari berganti sampai akhirnya aku tidak diperbolehkan lagi masuk ke kampus. Semenjak dilarang masuk kerja, aku sangat sering berkoordinasi dan bertanya soal nasibku pada atasanku.
Sebagai anak rantau yang hidup sendiri, aku khawatir juga mendengar kabar yang beredar soal corona yang sudah ada di mana-mana. Satu per satu kamar kos di lingkunganku ditinggalkan penghuninya. Aku juga ingin pulang sebenarnya, tapi saat itu sedang gencar-gencarnya kampanye untuk tidak mudik. “Jangan mudik dulu,” kata mereka. “Jangan pulang kampung. Sayangi keluarga di rumah.” Aku pun berpikir ulang untuk pulang kampung.
Tak terasa kalender Maret hampir habis. Alih-alih semakin membaik, corona malah makin merajalela dan menjajah segala penjuru. Di Yogyakarta kasus semakin banyak. Kotaku, Pati, pada 28 Maret 2020 seketika menjadi zona merah setelah seorang anggota DPR-RI yang terjun ke beberapa desa untuk mengadakan edukasi soal corona meninggal dengan status positif COVID-19.
Malam itu aku menangis sejadi-jadinya. Aku khawatir akan keadaanku tapi aku juga mencemaskan keluarga besarku di rumah. Pikiranku campur aduk. Tidak ada yang bisa menenangkan hatiku yang mulai gelisah. Aku mencoba mencari masukan dari teman-teman terdekatku. Merasa masih ada yang mengganjal, aku menyisihkan waktu untuk berdoa dan menangis di hadapan Tuhan. Hatiku pun sedikit lega dan pikiranku mulai jelas. Memang benar adanya bahwa tempat paling nyaman untuk mengadu adalah Yang Maha Kuasa, yang pasti dan selalu memberikan jawaban.
Minggu, 29 Maret 2020, aku menghubungi papa. “Pa, aku mau pulang, tapi aku juga takut kalau aku bawa virus buat Mama dan Papa. Tapi di Jogja kasusnya makin banyak. Aku harus gimana?” kunyatakan ketakutanku sambil menangis.
“Dah, beresin barang-barangmu. Tak jemput sekarang, ya. Jam 10 Papa berangkat,” jawab orangtuaku.
Secepat mungkin aku memasukkan barang-barang yang kubutuhkan ke dalam koper dan tas-tas kecilku. Sebentar saja, bawaanku sudah tertata rapi dan siap untuk diangkut. Ada gunanya juga ternyata membereskan kamar selama masa-masa “di kos aja.”
Sore itu juga, begitu orangtuaku tiba di Jogja, aku meninggalkan Jogja untuk pulang ke rumah. Di dalam mobil, aku duduk sendirian di deret bangku paling belakang. Dengan masker menutupi mulut dan hidung, tentunya. Setiba di rumah, aku menjalani karantina mandiri di dalam kamar.
Memang ada enaknya, sih, kuliah daring, terutama untuk kaum mageran—tak harus ke kampus, tak harus mengotori baju bagus, tak harus mandi karena tak ada yang mengendus. Tapi, selama kuliah daring, aku rindu sekali suasana kehidupan “sesungguhnya” sebagai mahasiswa—datang ke kampus, bertemu teman-teman dan dosen, melakukan aktivitas entah apa bersama teman-teman, menjaga laboratorium. Kuliah “langsung” di kampus juga pastilah membuat mahasiswa tak perlu menyediakan anggaran ekstra untuk membeli kuota internet.
Begitu kebijakan kuliah daring diperpanjang hingga akhir tahun ajaran 2020, aku memutuskan untuk mengambil seluruh barangku di kamar kos dan benar-benar meninggalkan Yogyakarta yang istimewa, kota yang kutempati selama tiga tahun dan sudah melukiskan banyak kenangan. Entah kapan aku akan kembali menyinggahinya.
Kini aku mulai mencapai akhir dari perjalanan studiku. Namun aku tidak akan berhenti. Aku akan bersiap-siap untuk melakukan perjalanan lain.