“Buku yang mencari pembacanya.” Waktu mendengar kalimat itu dari Ajo saya hanya tertawa. Lawakannya masih garing seperti biasa. Logikanya ‘kan pembaca yang mencari buku. Tapi, saya benci mengatakan bahwa lawakan garing Ajo itu ternyata benar adanya.
Buku Life of Pi menjadi saksi bisu bahwa ternyata buku mencari pembacanya. Novel Yann Martel itu ada di antara puluhan buku dan alat tulis yang dikirim oleh Tri Widya Asrie, sahabat dari Bali yang biasa kami panggil Neng. Dia memang giat mengumpulkan donasi buku melalui wadah Good Things For Good People untuk dibagikan ke berbagai daerah. Neng berbaik hati mengumpulkan buku untuk didonasikan ke Pulau Kapoposang, tempat saya tinggal. Pulau ini memang minim buku dan rencananya kami akan membuat rumah baca.
Coba bayangkan: sebuah buku usang dengan sampul sudah mulai lusuh berkelana dari pemilik pertamanya—yang entah tinggal di mana—lalu sekarang bisa sampai ke tangan saya di sebuah pulau kecil jauh dari mana-mana. Kopian Life of Pi yang sampai ke Kapoposang ini tampaknya adalah sebuah kado untuk seseorang yang berulang tahun. Di halaman judul ada beberapa ucapan tulis tangan dari para pemberinya. Tak jelas nama sang pemilik buku, tapi di halaman persembahan ada sebuah sajak panjang tentang Tuhan, dengan nama, tanda tangan, dan tahun: 2006.
Saat membolak-balik halamannya, saya mendapat kejutan lain, yakni selembar foto triptik khas kotak-berfoto (photobox). Dalam bingkai-bingkai triptik itu lima perempuan muda mejeng seperti gengnya Cinta dalam film AADC.
Saya lupa kapan kali terakhir menamatkan sebuah buku. Padahal, mulai dari sekolah tingkat dasar hingga kuliah, membaca buku adalah kegiatan menghabiskan waktu yang menyenangkan buat saya. Sekarang, internet adalah penggoda utama yang mendistraksi dan menghalangi saya menyantap buku. Membaca buku seperti tak seasyik dulu.
Ketika memegang buku Life of Pi, yang pertama kali terbayang adalah filmnya. Saya justru mengenal buku ini setelah menonton film adaptasinya yang disutradarai Ang Lee. Filmnya sangat memukau mata dan seperti nyata. Namun, meskipun sudah mengetahui jalan ceritanya, saya tetap tergerak untuk membuka buku peraih Man Booker Prize tahun 2002 ini. Sebagai bahan bakar agar tak berhenti di halaman-halaman pertama, saya tantang diri ini untuk menamatkannya, membacanya dari depan sampai belakang.
Halaman-halaman buku ini mengisahkan keping-keping kehidupan Piscine Molitor Patel atau Pi. Pi tinggal di Pondicherry, India, bersama ayahnya yang keras, ibunya yang penyayang, dan kakaknya yang selalu menjahilinya. Ayah Pi adalah pemilik sekaligus pengurus sebuah kebun binatang di kota itu. Tapi, pada suatu masa keadaan memaksa keluarga itu untuk menjual kebun binantang mereka, pergi dari Pondicherry, dan mengarungi samudra menuju Kanada. Itulah awal petualangan Pi meniti garis antara hidup dan mati.
Kapal yang mereka tumpangi tenggelam. Pi mujur karena menemukan sekoci. Semula ia bertahan bersama beberapa ekor binantang. Namun, yang menjadi temannya sampai akhir—setelah berjuang menghadapi ketakutan, kelaparan, dan keputusasaan selama 227 hari— ketika lunas sekocinya menyetuh pasir di sebuah pantai di Meksiko adalah seekor harimau Benggala seberat 225 kg bernama Richard Parker.
Halaman demi halaman Life of Pi membuat rasa penasaran dalam diri saya dibawa jalan-jalan naik roller coaster. Kadang saya lega dibawa menurun ke cerita-cerita yang menenangkan, di waktu lain saya dibawa naik ke puncak ketidakpastian—untuk kemudian dihempaskan lagi pada kelegaan yang mencurigakan. Tapi, di akhir cerita Life of Pi, keraguan seakan-akan tersisa seperti noda di baju.
Buku Life of Pi menjadi teman perjalanan ke Pangkep dari pulau Kapoposang. Membaca kisah hidup Pi Patel di kapal joloro serasa ikut masuk dalam dunianya, lebih dari menonton film 3D di bioskop. Sensasinya sangat terasa. Pi seperti duduk di samping saya yang menatap jauh ke laut dan bersama-sama kami melihat ikan berloncatan, merasakan bagaimana diayun-ayunkan gelombang, mencicipi percikan-percikan air asin….
Banyak sekali kutipan dalam novel ini yang cocok untuk direnungkan di kapal. Salah satunya: “Iman adalah rumah dengan banyak kamar. Dan ada ruang untuk keraguan dalam setiap lantainya.”
Saya mengangguk-angguk. Manusia wajar saja merasa ragu dengan agama. Agama dan iman adalah proses perjalanan, bukan sekadar menemukan Tuhan dan berhenti di sana.
Akhirnya saya menamatkan buku Life of Pi. Dan saya dapat bonus: rasa penasaran saya terhadap membaca kini kembali. Membaca buku ibarat menjelajahi alam yang selalu saja menyimpan kejutan-kejutan.
Tampaknya saya harus berterima kasih pada sang pemilik buku dan Geng Cinta-nya. Jika teman-temannya tidak menghadiahkan buku ini padanya, tak mungkin saya bisa membaca kisah Pi. Dan jika sang pemilik hanya menyimpan buku ini di raknya, tak memperbolehkannya ke mana-mana, buku ini juga tidak akan berada di tangan saya.
Setelah oleh saya, kisah Life of Pi akan dibaca oleh anak-anak Pulau Kapoposang. Saya yakin mereka juga akan memberi makna pada Pi dan petualangannya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.