Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah berita di portal daring soal peraturan (sementara) untuk memasuki Pulau Bali. Pendatang yang masuk lewat udara mesti menunjukkan hasil tes PCR, sementara mereka yang datang lewat laut diminta memperlihatkan hasil tes cepat (rapid test).
“Wah, ribet juga,” pikir saya.
Lalu pikiran saya melayang ke pertengahan tahun 2013 ketika manusia masih leluasa untuk masuk dan keluar Pulau Dewata.
Malam itu dengan bersemangat kami turun dari feri lalu berjalan ke luar pelabuhan Padang Bai. Kami—tentu saja—tak perlu menunjukkan surat apa pun. Setelah hampir dua minggu berkelana, kami sudah tak sabar lagi untuk segera kembali ke Pulau Jawa. Rencananya kami akan mencari angkutan umum malam itu juga ke Gilimanuk. Kalau bisa yang langsung. Malangnya, angkutan yang tersisa cuma melayani carteran. Terlalu mahal ongkosnya.
Terpikirkanlah alternatif lain: naik truk. Kami pun berdiri di depan pos polisi sambil mengangkat ibu jari. Akhirnya ada truk yang berhenti. Ketika sang supir membuka pintu dan melongokkan kepalanya, kami nyatakan keinginan kami. Ia mengiyakan. Tapi tidak gratis. Kami mesti membayar Rp50.000. Kalau tidak salah ia menawarkan akan mengangkut kami sampai Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi.
Tak perlu waktu lama bagi kami untuk berunding. Tawaran itu menarik sekali. Saat kata sepakat sudah terlontar dan kami sedang bersiap menaikkan ransel ke kabin truk, beberapa orang datang menghampiri. Ternyata para awak angkutan sewaan.
Mereka tak rela kami menumpang truk. Setengah berteriak, mereka menegaskan pada sang supir truk bahwa itu adalah wilayah mereka. Kami disuruh menjauh. Sebentar kemudian, truk itu mulai jalan. Kami ditinggalkan. Para awak angkutan sewaan itu pun bubar dan kembali ke tongkrongan masing-masing.
Hanya ada dua pilihan sekarang. Pertama, jalan kaki malam-malam sampai ke jalan besar dan mencari tumpangan di sana. Kedua, tidur di kawasan pelabuhan untuk menunggu pagi. Karena pegal di kaki belum sepenuhnya hilang setelah perjalanan berhari-hari melintasi Gunung Rinjani dan mengelilingi Gili Trawangan, kami ambil pilihan kedua.
Atas saran seorang polisi yang sedang berjaga, kami menggelar matras dan kantong tidur di teras rumah kosong samping pos polisi. Untuk mengisi perut, kami keluarkan kompor, kami masak air, lalu kami racik makanan dari bahan-bahan yang masih tersisa dalam keril-keril besar yang kami bawa. Setelah perut kenyang, saya coba tidur. Ternyata susah. Banyak nyamuk dan angin bertiup lumayan kencang. Beginilah kalau bermalam di pinggir laut. Akhirnya malam itu saya cuma tidur-tidur ayam sampai pagi.
Keesokan pagi, ketika warna langit sedang berubah dari hitam ke biru, bus tujuan Gilimanuk datang. Kami bergegas mengemas barang-barang, meloncat naik, kemudian mengempaskan bokong ke kursi empuk. Di kursi bus itulah saya baru bisa tidur nyenyak. Kami sempat berhenti di beberapa terminal dan sarapan nasi jinggo. Hari itu Bali sepi. Dari kernet bus kami tahu bahwa hari itu akan ada pemilihan umum daerah di Pulau Dewata. Orang-orang diliburkan agar bisa mencoblos di TPS.
Rute yang berputar-putar membuat bus itu perlu waktu lumayan lama untuk mencapai Gilimanuk. Siang menjelang sore barulah kami tiba di pelabuhan. Segera saja kami masuk, membeli tiket, lalu menaiki feri yang hendak berangkat. Sekitar satu jam kemudian kami tiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Hari sudah sore. Kami berencana menumpang KA Sritanjung esok pagi.
Malam pun tiba dan kami mesti mencari tempat menginap. Ada Indomaret dekat pertigaan stasiun. Kami berjalan ke sana lalu menggelar jas hujan di teras. Supaya aman, kami tidur bergantian. Lama-lama, teras itu terasa makin tak nyaman; lantai keramik putih itu terlalu dingin. Kami pun menggeser lapak ke pekarangan berlapis paving block. Lumayan, jadi lebih hangat.
Entah jam berapa, saya terbangun. Eka, salah seorang kawan saya, entah kenapa malah tertawa. Saya tak melucu padahal.
“Kenapa?” saya bertanya.
Ia bercerita bahwa tadi ada tiga orang turis mancanegara—bapak, ibu, dan anak kecil—yang mampir ke Indomaret. Melihat saya dan Teguh, kawan satu lagi, sedang tidur di pekarangan minimarket itu, sang anak berhenti, dan, sambil menudingkan telunjuk ke kami, bilang, “Mom, look!”
“Terus,” Eka bercerita, “ibunya langsung buru-buru bawa anaknya masuk ke dalam.”
Kalau jadi anak itu, saya juga pasti akan heran.
Akhirnya Subuh. Kami bergegas kembali ke stasiun untuk membeli tiket kereta api menuju Yogyakarta. Eka yang mengantre. Saya dan Teguh menunggu di pinggir lobi. Agak lama sampai Eka tiba di depan loket. Ketika akhirnya berhadap-hadapan dengan petugas, dengan muka kikuk ia menoleh ke arah kami, lalu nyengir.
“Ongkosnya naik,” ujarnya setengah berteriak.
Ongkosnya memang naik banyak. Lebih dari dua kali lipat kalau tidak salah. Itu memang waktu yang bersejarah bagi dunia perkeretaapian Indonesia. Kereta kelas ekonomi dan bisnis mulai diberi pendingin ruangan. Dan keberadaan pendingin ruangan itu—juga peraturan-peraturan lain—membuat ongkos melambung tinggi. Terpaksa kami merogoh kantong lebih dalam.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.