Iringan musik dan lagu bernada keroncong itu pun lenyap dari pendengaran. Tepuk tangan riuh kembali menggema. Tiga sosok laki-laki berpakaian safari tempo dulu maju dengan gaya jenaka. Lawakan-lawakan dibawakan dengan sangat apik sehingga berbuah tawa. Gambang Semarang kembali hadir di ujung lorong Kota Lama Semarang.

Jika belum familiar dengan Gambang Semarang, cobalah main ke Stasiun Tawang yang berada tak jauh dari Kota Lama Semarang. Memasuki pelataran, pasang telinga baik-baik saat ada kereta masuk. Walau cuma berdurasi beberapa detik, dengarkan nada khas yang muncul dari pengeras suara. Itulah Gambang Semarang.

Gambang Semarang sebenarnya adalah tarian yang diringi musik dari instrumen yang terbuat dari bilah-bilah kayu yang disebut gambang. Tak hanya tari dan musik saja yang ditampilkan, lawakan dan lagu juga disajikan. Kini alat musik yang dipakai semakin beragam sehingga pementasannya jadi jauh lebih menarik. Tata lampu dan suara menjadi bumbu-bumbu penyedap yang menyulap Gambang Semarang menjadi lebih berkilau.

Pertunjukan Gambang Semarang/Dhave Dhanang

Serpihan-serpihan Gambang Semarang kini dicoba untuk disatupadukan kembali. Bagian-bagian yang hilang dibuat kemudian dimunculkan kembali. Tahun 1963 tarian ini sudah eksis dan diawaki oleh baik pribumi maupun keturunan Tionghoa. Mereka biasanya mengadakan pertunjukan di daerah pecinan, yakni di Gang Pinggir.

Sejarah Gambang Semarang bermula dari Gambang Kromong Betawi. Tersebutlah sebuah kelompok seni Gambang Kromong bernama Putri Kedaung yang sering berpindah-pindah kota. Putri Kedaung dijalankan oleh Suhardi bersama saudara-saudaranya, yakni Mpok Neni, Mpok Royom dan Mpok Ira. Mereka keluar dari Jakarta lalu manggung berpindah-pindah. Bandung, Bogor, Pekalongan, hingga Weleri di Kendal adalah lokasi-lokasi pentas mereka.

Pada tahun 1963 mereka tiba di Kota Lumpia dan mulai dikenal sebagai Gambang Semarang. Meskipun langkah Gambang Semarang tak semulus yang diharapkan, kelompok ini terus bertahan hingga muncul generasi kedua pada tahun 1957. Bersamaan dengan itu muncul juga kelompok kesenian serupa yang dipimpin oleh Lie Tik Boen. Grup baru ini memberi banyak warna baru sebab musik yang ditampilkan mengusung irama rancak ala melayu, syahdu ala mandarin, romantis ala pop, dan hangat ala keroncong.

Gambang Semarang

Pengatur tempo sedang beraksi/Dhave Dhanang

Hingga sekarang Komunitas ini masih terus unjuk seni di sudut Kota Lama di belakang Gereja Blenduk, menampilkan kesenian yang semakin terkikis oleh zaman. Dari anak-anak hingga orang dewasa, semua duduk lesehan menghadap panggung. Lagu-lagu pop, keroncong, dan mandarin didendangkan dengan lantunan alat musik lengkap.

Kendang, bonang, kempul, gong, suling, kecrek, dan gambang berpadu menjadi musik yang harmonis. Pengaruh musik Tionghoa tampak pada penggunaan alat musik gesek kongahyan atau tehyan. Saya seperti kembali pada masa pra-kemerdekaan, ketika kesenian mempersatukan rakyat saat sedang benar-benar butuh hiburan.

Saya sangat menikmati lantunan lagu yang diringi dengan musik yang harmonis. Ketika musik indah itu masih terngiang-ngiang di telinga, Gambang Semarang kemudian menyuguhkan tari-tarian rampak dan—inilah khasnya—sebagai pengatur tempo muncullah lawakan-lawakan segar yang akan mengocok isi perut penonton. Saya bangga bahwa anak mudalah yang mementaskan itu.

Tinggalkan Komentar