Raja Ampat mungkin destinasi yang diimpikan banyak orang. Bagaimana tidak? Kepulauan Wayag dan Pianemo yang sangat terkenal itu tampak begitu mengagumkan di Google.
Tetapi, dalam perjalanan kemarin saya tidak ke kedua gugusan kepulauan itu. Yang saya tuju adalah sebuah pulau kecil tanpa sinyal bernama Meosmanggara. Bersama 26 orang teman, saya berkesempatan tinggal di sana selama hampir dua bulan.
Perjalanan panjang itu dimulai dari Bandara Adisucipto Yogyakarta (JOG) pukul 18.00 WIB menggunakan maskapai plat merah. Kami transit di Makassar (UPG) selama lima jam. Waktu transit ini saya pergunakan untuk makan malam dan tidur sejenak di boarding room.
Penerbangan selanjutnya pukul 02.50 WITA menuju Sorong dengan pesawat lebih kecil. Setiba di di Bandara Domine Eduard Osok (SOQ) pukul 07.00 WIT, kami naik bis menuju Pelabuhan Sorong kemudian lanjut lagi naik kapal ke Pelabuhan Waisai. Kapal Express Bahari yang kami tumpangi itu hanya beroperasi pada hari-hari tertentu. Jadi, jika hendak ke Waisai, usahakan untuk menyesuaikan waktu kedatangan pesawat dengan waktu keberangkatan kapal menuju Waisai. Tarifnya Rp150.000 dengan fasilitas bangku bernomor, AC yang dingin banget, televisi, dan kamar mandi.
Setelah dua jam perjalanan, tiba juga kami di Waisai, pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Raja Ampat. Cuaca saat itu sangat panas.
Saya dan tim tinggal selama tiga hari di Waisai. Setiap sore saya dan beberapa teman jalan-jalan keliling kota Waisai. Salah satu tempat yang kami datangi adalah Pantai WTC (Pantai Waisai Torang Cinta). Tidak ada pasir putih di bibir pantai itu, hanya ada tumpukan dinding batu dan jembatan kayu tempat para bocah lokal loncat ke laut. Di sana, kami membaur dengan bocah-bocah itu. Teman-teman saya yang laki-laki bahkan ikut berenang bersama mereka.
Dari Waisai, kami bertolak ke tujuan utama, Pulau Meosmanggara, dengan kapal milik bupati. Karena transportasi umum dari/ke Pulau Meosmanggara tidak ada, perjalanan hanya bisa dilakukan dengan kapal milik warga atau pemerintah. Kenyataan seperti inilah yang membuat berwisata ke pulau terpencil menjadi sulit untuk dilakukan.
Menuju Pulau Meosmanggara, kapal saya melewati sebuah tempat bernama Teluk Kabui. Kata sang nakhoda kapal, Teluk Kabui ini ibarat KW-nya Wayag, gugusan kepulauan karst dengan air laut yang super jernih. Tapi, meskipun dibilang KW, tetap saja rasanya saya ingin menyemplungkan diri!
Kapal saya akhirnya merapat di dermaga sederhana Pulau Meosmanggara. Saya dan tim disambut hangat oleh warga, yang kemudian berbaik hati membawakan gembolan kami yang berat-berat itu.
Pulau Meosmanggara kecil. Hanya ada 40 rumah warga. Tidak ada moda transportasi bermesin apa pun, entah motor atau mobil, di daratan. Jalan hanya berupa semen selebar satu meter, tidak beraspal. Benar-benar hidup bebas polusi.
Selama dua bulan saya dan tim tinggal di salah satu bangunan rumah bekas kantor PKK. Bangunannya berdinding kayu dan berlantai semen, dilengkapi dua kamar dan satu kamar mandi dengan bak mandi yang airnya harus diambil dari sumur yang berjarak lima meter dari dari sisi belakang rumah. Warga membuatkan dapur di luar rumah. Atapnya daun kelapa kering, dindingnya seng, mejanya dari kayu bekas, dan lantainya pasir pantai. Walau sederhana, dapur itu adalah saksi dari banyak resep spesial yang tercipta untuk mengenyangkan perut kami.
Di Pulau Meosmanggara hanya ada satu sekolah, SD YPK Ebenheizer. Gedung sekolah itu berlantai semen dengan papan tulis kapur. Jumlah siswa di tiap kelas bervariasi. Siswa kelas satu sampai kelas tiga biasanya paling banyak, bisa mencapai 30 orang. Tapi, siswa kelas empat dan kelas lima tidak sampai 10 orang.
Adik-adik yang bersekolah di SD YPK Ebenheizer menggunakan seragam selayaknya murid di tempat lain, merah-putih dan pramuka. Tapi, terkadang ada saja yang memakai seragam tidak sesuai jadwal. Sebagian besar dari mereka ke sekolah tanpa alas kaki. Hanya beberapa yang menggunakan sandal. Saya lihat-lihat, hanya satu atau dua orang yang menggunakan atribut lengkap—dasi, kaus kaki, dan sepatu.
Guru yang mengajar hanya empat orang termasuk sang kepala sekolah. Buku pelajaran tersedia, tapi sangat kurang. Sehari-hari, para murid hanya membawa satu buku tulis untuk merekam semua pelajaran yang mereka terima dari para guru.
Bel sekolah akan berbunyi pukul 10.00 WIT untuk memulangkan siswa kelas satu sampai kelas tiga, kemudian kembali bersuara pukul 12.00 WIT untuk melepas kepulangan anak-anak kelas empat sampai kelas enam. Jangan bayangkan belnya seperti yang biasa kamu lihat di depan rumah, yang begitu dipencet akan langsung bersuara. Bel SD YPK Ebenheizer cuma besi panjang yang harus dipukul kencang agar berbunyi.
Tapi, jangan kaget mendapati mereka sudah minta pulang sebelum bel berbunyi. Mereka sudah tak betah dan ingin segera bermain. Sepulang sekolah biasanya mereka akan bermain sampai hari mulai gelap. Halaman luas depan tempat tinggal kami—yang semakin ramai saat sore tiba—jadi salah satu taman bermain mereka. Kalau haus, mereka memetik buah kelapa langsung dari pohon.
Menjelang sore, jika hari itu saya piket masak, saya dan beberapa teman akan ke dermaga memancing ikan untuk dimakan. Tapi, memancing rupanya bukan hal yang mudah; mendapat ikan ternyata susah. Untungnya warga sering membagi hasil pancingan untuk kami jadikan lauk. Jadilah, selama dua bulan di sana, hampir setiap hari kami makan ikan yang dimasak dengan berbagai resep.
Masyarakat Meosmanggara memang sangat menggantungkan hidup pada alam, baik laut maupun daratan. Karena sangat bergantung pada alam, masyarakat Meosmanggara pun berkewajiban untuk melestarikannya. Salah satu cara yang mereka praktikkan adalah Sasi. Sasi, singkatnya, adalah pelarangan [untuk] menggunakan sumber daya alam dalam [rentang] waktu tertentu.
Pada sore-sore saat saya tidak kebagian piket masak, saya bersama teman-teman akan bersosialisasi dengan warga. Sebagian di antara kami snorkeling, sebagian lain jogging keliling pulau, ada pula yang bermain voli di lapangan. Percayalah, ini sangat menyenangkan; sambil menunggu senja bersosialisasi dengan warga.
Di Pulau Meosmanggara hanya ada satu warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Warung itu menjual beras, minyak, tepung, gula, bawang, air mineral botol, sampai camilan-camilan ringan. Tapi, setiap jajan kita harus mengecek tanggal kedaluwarsanya, sebab banyak makanan yang sudah lewat tenggat kelayakan. Pemilik warung punya kapal yang digunakan untuk berbelanja. Terkadang teman-teman saya, Bima dan Agung, ikut sang pemilik warung pergi ke Waisai untuk belanja kebutuhan tim kami.
Gereja Ebenhaezer adalah satu-satunya rumah ibadah di Pulau Meosmanggara. Mayoritas warga memeluk Kristen. Seingat saya, hanya ada dua rumah penganut Islam. Setiap Minggu dan setiap habis ada acara besar di gereja adalah waktu paling saya tunggu-tunggu, sebab kami bisa menyantap makanan super enak—sotong dan ikan-ikan super besar!
Omong-omong, tidak ada warga Pulau Meosmanggara yang memelihara babi. Jadi, jarang sekali mereka memasak babi. Selama dua bulan saya di sana, hanya sekali warga memasak babi.
Toleransi di Meosmanggara begitu besar. Warga membantu kami saat hendak beribadah; mayoritas tim saya Islam. Kebetulan, saat berada di sana, kami melewati Idul Fitri. Untuk beribadah, kami yang memeluk Islam diantarkan oleh warga dengan kapal kecil ke Pulau Manyaifun, setengah jam perjalanan dari Meosmanggara, yang dihuni komunitas muslim dan memiliki satu masjid kecil.
Rumah-rumah penduduk Meosmanggara sangat sederhana, hanya berlantai semen dan berdinding kayu atau rotan. Meskipun bersahaja, rumah-rumah itu penuh kehangatan yang terkadang bisa membuat kami lupa kalau di pulau itu tidak ada sinyal. Kalau sudah mengobrol dengan warga, kami sampai lupa dengan gawai.
Sebenarnya ada satu titik khusus di mana saya bisa mendapatkan sinyal, namanya “pohon sinyal.” Kalau dideskripsikan, kira-kira lokasi ini ada di bawah pohon dekat pantai. Di bawah pohon itu ada satu tiang dari bambu setinggi satu meter. Di atas tiang tersedia wadah dari botol air mineral yang dipotong ujungnya: tempat meletakkan ponsel. Bentuknya serupa mikrofon lengkap dengan stand. Jadi, menelepon hanya bisa dilakukan dengan mengaktifkan loudspeaker. Sinyal internet? Jangan harap. Sinyal telepon saja kadang putus-putus.
Jika malam datang dan hari mulai gelap, saya dan beberapa teman biasanya bertandang ke rumah warga untuk bertukar cerita dalam cahaya senter yang mulai redup. Tidak ada listrik di Pulau Meosmanggara. Listrik hanya dari genset yang dinyalakan jika saya dan tim butuh listrik untuk program kerja. Sekali pun menyala, laptop, kamera dan senterlah yang jadi prioritas untuk di-charge. Ponsel belakangan saja, toh tidak ada sinyal.
Beberapa kali warga mengadakan acara besar dan memainkan tambur, alat musik seperti gendang berukuran besar yang dimainkan secara berkelompok. Tambur-tambur itu memberi ketukan pada alunan suling. Pemain tambur berjalan keliling pulau diikuti oleh massa. Saya dan tim tidak pernah melewatkan tambur. Alunan musik tradisional itu menghipnotis saya—dan warga lain—untuk berjoget keliling pulau. Semua berbahagia!
Dengan segala keterbatasan fasilitas, Pulau Meosmanggara punya keindahan yang luar biasa. Toleransi yang sangat hangat dan kesederhanaannya membuat saya dan tim begitu merasa berat utuk pulang.
Inilah pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di Papua. Semoga suatu hari Tuhan mengizinkan kami kembali ke Meosmanggara.
Saat kami menjauh dari pulau, sepenggal lagu yang sering dinyanyikan warga Meosmanggara terngiang-ngiang dalam kepala saya, “Meosmanggara, pulau tercinta…..”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.