Demi pengalaman baru, pagi-pagi jam 4 saya sudah bangun dan bersiap-siap menuju sebuah dermaga di Lepa Mola, Wakatobi. Tak ada hasrat untuk mandi. Untung semalam sudah; kesegaran masih tersisa di badan.
Dalam perjalanan ke dermaga, saya berdebar-debar membayangkan petualangan baru yang akan segera saya rasakan. Pagi ini saya akan ke laut untuk melihat kawanan salah satu mamalia tercerdas di dunia, yakni lumba-lumba.
Setiba di dermaga, matahari sudah terbit dan perlahan-lahan meninggi. Namun, perahu yang akan saya tumpangi belum tampak juga. Setelah beberapa saat menunggu, sebuah perahu mendekat. Pak Albar, pemandu saya hari itu, berdiri di haluan. Sebentar kemudian perahu itu sandar di dermaga.
Dengan wetsuit terpasang rapi di badan, saya berjingkat-jingkat menuju perahu. Untuk sampai ke titik di mana mamalia laut itu biasanya mencari tuna, perlu waktu lebih dari setengah jam. Setiba di sana, kami nanti juga tak bisa segera melihat lumba-lumba. Kami mesti menunggu dan mengamati permukaan laut dengan cermat untuk menemukan makhluk yang abadi dalam lagu Bondan Prakoso itu.
Saya duduk di perahu sambil mendengar cerita Pak Albar tentang lumba-lumba. Saya mesti memasang telinga lekat-lekat sebab suaranya mesti bersaing dengan deru mesin kapal. Ternyata, masyarakat suku Bajo menyebut lumba-lumba sebagai lummu. Bagi mereka, lummu adalah sahabat.
“Oracle” suku Bajo
Lummu dianggap sahabat karena kemunculan-kemunculannya diyakini sebagai pertanda dari banyak hal, dari mulai rezeki yang melimpah sampai bencana atau mara bahaya. Lumba-lumba bagi suku Bajo layaknya “oracle” bagi orang-orang Yunani zaman baheula.
“Ada lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) yang biasa disebut lummu pakorek atau lummu dayah [yang] dipercaya membawa rezeki karena selalu berada di sekitar ikan,” jelas Pak Albar.
Selain lummu pakorek, ada dua jenis lumba-lumba lagi yang dipercaya membawa keberuntungan, yakni lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) atau lummu pangkol dan lumba-lumba totol (Stenella attenuata) atau lummu panawang yang biasa berkeliaran di sekitar tuna dan cakalang.
Pak Albar kemudian bercerita tentang jenis lummu yang menjadi tanda malapetaka bagi nelayan, yakni lumba-lumba putih (Sousa chinensis) atau lummu mapota. Kalau melihat lumba-lumba jenis ini, orang Bajo yang sedang melaut mesti segera berbalik haluan menuju daratan: pulang.
Untungnya, sepagi ini tidak ada lummu mapota yang berkeliaran. Eh, tunggu. Jangan-jangan….
Saat sedang melamun memikirkan lummu mapota, tiba-tiba saja sekawanan lumba-lumba berloncatan. Meskipun jumlah mereka tak terlalu banyak dan kebanyakan masih kecil, saya senang sekali melihatnya. Lincah sekali lummu-lummu itu sampai-sampai kami kesulitan menebak arah pergerakan mereka. Sejak dulu sebelum manusia membuat mesin penghitung waktu, memang hanya kedalaman lautan yang membatasi gerak mereka.
Menurut Pak Albar, kalau sudah kenyang mereka bakal bermain-main di sekitar perahu. Namun, pagi itu sepertinya mereka masih lapar; selang sebentar mereka berenang menjauh dari kami.
Matahari makin tinggi dan kawanan lummu itu berenang makin jauh. Pengalaman ini dan cerita-cerita soal kearifan lokal Lepa Mola yang saya dapat dari Pak Albar membuat saya tergugah untuk jadi lebih bersahabat dengan lumba-lumba.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.