Matahari kian meninggi
di Pantai Wambuliga. Para perempuan dan laki-laki muda itu tengah bersiap diri.
Mereka sibuk bercermin memastikan diri tampil maksimal dengan riasan wajah
menawan. Kostum-kostum bernuansa kuning keemasan dan hitam tampak menyala,
kontras sekali dengan latar langit biru di angkasa.
Penabuh gendang dan pemetik gambus serta pengetuk gamelan pun juga tak kalah sibuk. Tung! Tung! Tung! Bunyi gamelan sedang dicoba terdengar dan menjadi pengusik diri yang makin penasaran.
Mereka adalah anggota Sanggar Natural yang sedang bersiap untuk menampilkan tari Hesurabi, tari yang menggambarkan tradisi masyarakat Wakatobi dalam kegiatan menyuluh di pasir atau karang. Ini adalah pertunjukan yang tak biasa bagi mereka. Jika biasanya mereka tampil untuk menyambut tokoh masyarakat atau menyemarakkan acara-acara khusus lainnya, sekarang mereka akan tampil untuk kamera.
Pentas mereka siang ini adalah semacam panggung berlantai blok-blok batuan di pinggir dermaga.
“Satu, dua, tiga….” La Arus, sang koreografer tari Hesurabi, bertepuk tangan memberi ketukan bagi para penari yang sedang geladi bersih. Menurut Filma, Ketua Sanggar Natural yang hari itu mendampingi para anggotanya menari, La Arus sudah senior dan jam terbangnya memang tinggi soal urusan menari.
Mendengar pejelasan selanjutnya dari Filma, soal bagaimana perspektif masyarakat dahulu soal laki-laki yang menari, sosok La Arus menjadi tampak luar biasa di mata saya. “Dulu orang pandang sebelah mata (penari laki-laki). Dibilang benconglah atau apa,” ujar Filma. Namun sekarang pandangan masyarakat sudah sudah berubah. Mereka sudah lebih bisa menerima penari laki-laki.
Satu, dua, sampai tiga kali para penari mengulangi Hesurabi di tengah udara yang kian panas. Matahari makin tinggi, sementara hanya sebagian saja dari panggung yang terlindungi bayang-bayang. Namun, meskipun mereka harus berbagi fokus antara menari dan menahan panas, mereka konsisten meliuk-liuk dengan presisi.
Akhirnya, dengan wajah berkeringat, para penari memberi tahu bahwa mereka sudah siap. Camera. Roll. Action!
Mula-mula para penari berbaris di pinggir panggung. Para laki-laki masuk terlebih dahulu untuk memantau kondisi laut dan langit. Mereka lalu memanggil para perempuan, menggoda mereka, lalu mengabarkan bahwa air laut sudah surut dan bulan purnama telah tiba.
Para perempuan lalu melenggak-lenggok datang. Lantas, berpasang-pasangan mereka menari, menggambarkan kegembiraan menyuluh di pasir menggunakan alat sederhana seperti obor.
“Dalam cerita juga ada bagian soal ompo, wadah untuk budidaya sebagian hasil tangkapan,” jelas Filma saat kami mengobrol di pinggir pantai.
Hasil menyuluh, sebagaimana diceritakan dalam tarian, tidak habis sekadar untuk dikonsumsi sendiri atau dijual, namun juga dibudidayakan sebagai tabungan untuk masa depan. Bagi masyarakat setempat, ini memang sudah jadi kebiasaan yang turun-temurun.
Para penari makin meringis menahan panas. Telapak kaki mereka mulai terbakar. Beberapa di antara mereka bahkan sampai minta izin untuk menggunakan sandal. Saya dan kawan-kawan pun segera menciduk air dengan wadah seadanya—sampah-sampah pantai—lalu menyiramkannya ke “panggung” agar panas sedikit berkurang.
Namun para penari Sanggar Natural toh tetap bersemangat mengabadikan kekayaan budaya Wakatobi itu. Untuk mempersiapkan pertunjukan hari ini saja, agar bisa tampil ciamik depan kamera, mereka rela latihan serius selama beberapa hari. Mereka bagi saya bukan sekadar penampil, namun juga para penjaga budaya dan tradisi.
Filma, yang sekarang sudah berusia 60 tahun, sejak beberapa tahun belakangan makin serius mengabdikan diri untuk menjaga kelestarian budaya Wakatobi lewat tari. Perempuan yang sedari remaja menekuni tari ini sudah menciptakan tak kurang dari sepuluh tari kreasi, yang gerakan-gerakannya tak jauh-jauh dari keseharian orang Wakatobi, sembari, tentu saja, tetap menurunkan berbagai tarian tradisional kepada para penerusnya.
“Kadang saya malam terpikir suatu kegiatan masyarakat lalu membayangkan gerakannya. Esoknya (saya) praktikkan dan gerakannya dibikin (menjadi) lebih cantik, lalu (saya) panggil anak-anak (anggota) untuk diskusi dan bikin tarian bersama,” ujar Filma sambil memeragakan beberapa kegiatan yang “dipercantik” tersebut.
Sayangnya, persoalan regenerasi masih jadi pekerjaan rumah bagi Filma. Umumnya para penari akan aktif berkegiatan sejak mereka remaja sampai kuliah. Namun, setelah tamat kuliah, bekerja, dan menikah, fokus mereka pun berubah. Tentu akan sangat melelahkan jika terus menerus harus mencari calon penari baru yang kelincahannya belum teruji untuk mementaskan tarian-tarian yang juga baru.
Melihat anak-anak didiknya yang siang itu berjuang menahan panas demi mengabadikan tari Hesurabi, ia memang merasa iba. Namun ia juga paham bahwa ini akan jadi pengalaman tersendiri buat pemuda-pemudi yang sedang belajar itu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.
1 comment
[…] Wakatobi (singkatan dari Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, sekarang sudah jadi kabupaten) di Sulawesi Tenggara dulunya cuma […]