Pariwisata pada dasawarsa ini memerankan peran vital sebagai penggerak ekonomi, baik dari kalangan bawah hingga kalangan atas, semua kecipratan rejeki pariwisata. Selagi dampak baik tersebut berkembang, peran perempuan semakin berkembang dan jauh lebih berkecimpung daripada sebelumnya. Perempuan akhirnya bisa menjatuhkan stigma bahwa mereka hanya sebagai pengekor lelaki.
Tahun ini, UN Women—entitas PBB untuk perempuan—mengusung tema “Kesetaraan Gender Hari ini untuk Masa Depan yang Berkelanjutan” pada perayaan Hari Perempuan Internasional. Tema ini diangkat karena perempuan lebih rentan dalam menghadapi perubahan iklim karena kuatnya ketidaksetaraan gender yang ada, tetapi di sisi lain perempuan lebih efektif dalam pengambilan keputusan dan memimpin adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Pariwisata berkelanjutan adalah panutan dan kiblat pariwisata pada masa modern ini. Sebab, dibutuhkan untuk menanggulangi efek-efek negatif pariwisata dalam dua dekade terakhir seperti mass tourism, pariwisata para pemilik modal, ataupun yang lainnya. Dalam menginisiasi gerakan sustainability di Indonesia, peran perempuan mulai terlihat dan siap mendampingi perubahan.
Perempuan adalah fajar penyingsing perubahan.
Women in Tourism Indonesia bersama TelusuRI ingin memberikan sedikit apresiasi kepada para perempuan hebat yang telah memulai atau mengubah wajah pariwisata negara kita dengan mendirikan pelbagai perkumpulan sebagai wadah kegiatan masing-masing untuk berkembang.
1. Dinni Septiningrum
Dinni Septiningrum menginisiasi berdirinya Sea Soldier bersama dengan Nadine Chandrawinata. Kepeduliannya akan lingkungan muncul dari kegelisahan dari kondisi lingkungan yang mencekam akibat kehadiran sampah-sampah di lautan. Dinni merasakan dukungan serta energi positif dari masyarakat dalam kegiatannya sebagai Sea Soldier. Ditambah dukungan relawan yang semakin banyak dari hari ke hari, Dinni berharap Sea Soldier dapat menjadi wadah belajar yang bermanfaat bagi semua orang.
Dirinya kerap terlibat langsung dalam kegiatan Sea Soldier, baik di lapangan maupun di luar lapangan. Misalnya kampanye #SeasoldierMask yang menjadi simbol penyampaian pesan kampanye ramah lingkungan dengan mengajak masyarakat untuk membuat “masker” dari sampah atau barang-barang yang sudah tidak terpakai. Kampanye ini menjadi pengingat juga bahwa sampah-sampah di laut adalah hasil dari kegiatan manusia yang berada di darat.
Dinni memang tidak memperdulikan masalah gender dalam urusan lingkungan, namun dia berharap peran perempuan dalam industri pariwisata dapat lebih besar dari sekarang.
“Senang melihat yang indah-indah itu biasa, yang tidak biasa adalah mempertahankan keindahan dengan cara bertanggung jawab akan sampah masing-masing, demi kelestarian tempat tinggal kita bersama,” ungkap Dinni dalam salah satu postingannya.
2. Githa Anathasia
Begitu besar perhatian Githa pada pemberdayaan orang-orang lokal di sekitar Arborek, hingga tergerak hatinya untuk mendirikan Arborek Dive Shop, yang tidak hanya sebagai pusat menyelam tapi juga sebagai pusat konservasi dan pengembangan masyarakat.
Pelan-pelan Githa membuka usaha dive shop hanya dengan bermodalkan empat tabung, dengan kecakapan yang diperolehnya sewaktu bergabung di sebuah NGO, Githa berhasil merangkul orang-orang lokal untuk berdigdaya bersama mengolah potensi alam Raja Ampat.
“Ibu-ibu yang biasanya membuat kerajinan buat mereka sendiri, akhirnya bisa dikembangkan dan menjadi potensi yang bisa dijual,” terang Githa dalam suatu wawancara.
Perhatian besar wajib dicurahkan kepada masyarakat Papua, menurut Githa mereka perlu dorongan untuk terus berkembang jauh, bukan hanya berhenti di pelatihan tapi tidak sampai masuk ke tahap pembinaan. Githa akan terus berusaha untuk mengembangkan komunitas lokal untuk mampu mengelola alam Papua.
3. Puspita Ayu Permatasari
Apa jadinya pemanfaatan teknologi aplikasi untuk menyimpan dan mengelola data-data mengenai batik dan seputarnya? Jawabannya adalah iWareBatik. Aplikasi yang diciptakan oleh Puspita Ayu Permatasari, seorang doktor lulusan Università della Svizzera italiana (USI) Swiss dengan kecintaan luar biasa pada budaya Indonesia terutama batik.
Dalam salah satu artikel di media daring, Ayu menjelaskan bagaimana niatnya mengembangkan aplikasi ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang warisan budaya Indonesia.
“Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pariwisata berkelanjutan dan pelestarian situs warisan budaya dan warisan budaya takbenda UNESCO di Indonesia,” jelasnya.
Tumbuhnya kecintaan terhadap batik dimulai dari melihat ibu dan neneknya yang merupakan perancang busana dan perias pengantin, dari situlah akhirnya Ayu memahami batik mempunyai filosofi serta motif yang beragam. Ayu pun bertekad untuk memperkenalkan batik ke seluruh penjuru dunia dan melestarikan nilai-nilai serta menjadi database bagi batik.
4. Alfonsa Horeng
Alfonsa mendedikasikan cintanya kepada kampung halaman dengan melestarikan budaya daerahnya. Alfonsa berasal dari Desa Nita, sebuah desa yang terletak di Maumere, Nusa Tenggara Timur. Beliau mendirikan sanggar Lepo Lorun, yang menampung para pengrajin tenun di daerahnya. Namun tidak hanya tenun, sanggar tersebut juga melestarikan kesenian daerah lainnya seperti menari, menyanyi lagu daerah, dan sebagainya.
Dikutip dari wawancara Alfonsa dengan WTID, beliau menegaskan bahwa pembuatan tenun ikat bukan semata untuk mendapatkan keuntungan. “Tenun ikat di sini sudah menjadi gaya hidup yang mendarah daging. Kami bukan UMKM yang menunggu bantuan dari pemerintah. Misi utama kami adalah untuk pelestarian tenun,” terangnya.
Berkat ketekunannya, Alfonsa berhasil meraih berbagai penghargaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri seperti Meexa Award, Australian Leadership Award, She Can Tupperware Award, dan lainnya. Sepak terjang Alfonsa menarik untuk diikuti dan ditiru oleh putra-putri daerah lainnya.
5. Sri Mujiyati
Sri Mujiyati mengelola ViaVia Travel, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan jasa perjalanan yang berkembang bersama komunitas mulai memfokuskan diri mengelola livelihood program (program-program berbasis kemasyarakatan. Pasalnya pandemi merusak sistem yang sudah berjalan dan membuat sebagian masyarakat harus mengurut dada karena ekonomi yang terdesak. ViaVia bertekad untuk tidak meninggalkan masyarakat di daerah-daerah yang menjadi destinasi tur mereka.
Program mereka ada banyak, seperti pemeliharaan kambing di puncak Kleco, Kulon Progo, menanam tanaman bersama komunitas jathilan di Purworejo. Bahkan mereka juga menyempatkan diri untuk mengajar bahasa Inggris dan guiding skill.
Sri Mujiyati memang seorang perempuan dengan idealis yang tinggi bahwa perempuan bisa bekerja di sektor pariwisata. Dirinya merintis ViaVia Travel dengan memfokuskan pada pengembangan peran perempuan sebagai pemandu wisata. “ViaVia ingin menyediakan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di bidang pariwisata dan menyampaikan pendapatnya,” ungkapnya dalam wawancara dengan WTID.
6. Dini Hajjarahmah
Satu lagi wanita inspiratif penggerak pariwisata berbasiskan masyarakat dan lingkungan. Namanya Dini Hajjarahmah yang akrab disapa Dini, merupakan seorang perempuan penggemar perjalanan dan backpacker. Dalam perjalanannya yang sering menemui berbagai orang dengan berbagai latar belakang, Dini menjadi sadar akan adanya jurang pemisah antara wisata dan masyarakat lokal.
Dalam wawancara dengan WTID, Dini mengungkapkan kegelisahannya akan peran masyarakat lokal yang tidak dilibatkan. Dia ingin melibatkan masyarakat lebih jauh, bukan sekedar menjadi penonton. Selain hal itu, isu lainnya yang menjadi perhatiannya adalah isu sampah. Akhirnya Dini mendirikan IdWanderlust, agensi wisata yang berfokus pada pengembangan masyarakat lokal, utamanya perempuan.
Dini dan tim berhasil melaksanakan berbagai kegiatan seperti mengadakan latihan pengolahan limbah plastik menjadi barang serbaguna, memberikan pelatihan intensif kepada UMKM di Subang, mengadakan kelas-kelas pelatihan daring, dan lain sebagainya. Baginya hal tersebut masih jauh dari yang ditujunya, namun perlahan-lahan dia mencoba untuk terus berupaya ke sana.
Tantangan yang dihadapi adalah masih besarnya pengaruh laki-laki di ranah pariwisata. Ruang gerak perempuan dibatasi oleh cara pandang masyarakat yang masih patriarki, padahal perempuan juga bisa memimpin jika diberi kesempatan. “Ketika ingin merintis usaha di sektor pariwisata, hal pertama yang penting adalah menemukan tim dan support system yang solid,” pungkasnya.
7. Ni Made Ghandi Sanjiwani
Ni Made Ghandi Sanjiwani atau yang akrab disapa Gandhi menekuni profesi menjadi analis dan praktisi pariwisata berkelanjutan. Gandhi sekarang menjabat sebagai Business Development Executive di Go Destination Village (GODEVI) dan sekretaris di Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Wisata Sayan, Ubud.
Gandhi yang berasal dari Bali memiliki ketertarikan isu-isu pariwisata di Bali yang memiliki tingkat kompleksitas tinggi. Sebagai generasi muda, dirinya memiliki hasrat untuk membangun pariwisata ke arah yang berkelanjutan, menciptakan Bali menjadi kawasan ramah lingkungan. Dirinya pun kembali ke Desa Sayan dan mulai berdiskusi dengan berbagai pihak.
Kesulitan yang dihadapi Gandhi yang terbesar adalah mengajak anak muda untuk ikut partisipatif dalam pembangunan desa. Menurutnya sebagian anak-anak muda perlu disadarkan pada peran mereka sebagai generasi penerus. Belum lagi dengan pekerjaan yang menuntut pada hasil, masyarakat masih belum satu ritme yang pas dalam bekerja, sehingga kendala menjadi sering muncul.
Keberhasilan Gandhi patut diapresiasi sebagai sekretaris di Desa Wayan. Dirinya berhasil menjembatani negosiasi dengan berbagai pemangku kepentingan dan akhirnya membawa manfaat bagi desa. Berbagai program seperti bank sampah dan eco hotel dianggap bagus dan memperjelas peran masyarakat Desa Wayan, tidak hanya menjadi penonton namun juga berperan untuk kemajuan desanya sendiri.
8. Wiwik Mahdayani
Wisata berkelanjutan masih menjadi barang yang relatif baru di sektor pariwisata Indonesia. Hal ini masih gencar dikampanyekan agar semua sadar; kita membutuhkan pariwisata berkelanjutan untuk menggantikan pariwisata konvensional yang sudah usang. Salah satu perempuan yang gencar mengkampanyekannya adalah Wiwik Mahadyani.
Wiwid merupakan pendiri sekaligus direktur DESMA Center, sebuah lembaga yang membantu masyarakat untuk mengembangkan potensi pariwisata berkelanjutan dan konservasi. Pengalamannya yang sudah banyak membuat dirinya percaya diri untuk mengembangkan DESMA Center.
Salah satu pengalamannya yakni Wiwik pernah bekerja di UNESCO sebagai koordinator program pengembangan ekowisata dan heritage tourism untuk Indonesia. Selain itu dia juga pernah membantu GIZ di Jerman. Modal pengalaman yang banyak itu membuat Wiwid lebih banyak sudut pandang dalam mengembangkan ekowisata di Indonesia.
Wiwid percaya, peran perempuan di bidang pariwisata tidak dapat dinafikan begitu saja. Keterlibatan perempuan harus lebih dari sekedar bekerja di lapangan, tetapi menurutnya perempuan juga harus ikut dalam penentuan kebijakan sebuah tempat wisata.
“Seharusnya gender sudah bukan menjadi isu lagi. Sudah saatnya semua pihak memainkan peran yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Selama masing-masing individu memiliki kompetensi yang mumpuni, kenapa harus dibatasi dengan isu gender?” ungkapnya dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Hanin Br.
Artikel ini hasil kerja sama TelusuRI dan Woman in Tourism Indonesia untuk mengapresiasi perempuan Indonesia dalam rangka hari perempuan sedunia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.