TRAVELOG

Yang Selalu Terkenang saat Membawa Pulang Soto Kadipiro

Di Jogja, soto menjadi salah satu alternatif sarapan yang cukup banyak digemari. Dari sekian banyak pengalaman makan soto yang pernah saya cicipi, ada satu momen take away (membawa pulang) soto yang entah mengapa selalu terkenang di hati saya. Ceritanya, setahun silam, saat adik saya mudik ke Jogja, kami memutuskan untuk staycation selama beberapa hari di sekitaran Tegalrejo, salah satu kawasan yang terletak di tengah kota Jogja. 

Ada beberapa alasan mengapa staycation di tengah kota menjadi opsi terbaik kami kala itu. Selain meminimalkan kerepotan di tengah kondisi ibu yang sedang dalam masa pemulihan pascaoperasi besar, waktu itu keponakan saya juga masih terlalu kecil untuk diajak jalan ke berbagai destinasi wisata di sekitar Jogja. Bagi anak rantau, bisa berkumpul kembali dengan orang tua meski hanya dalam hitungan hari saja sudah menjadi privilese tersendiri.

Suatu pagi, adik saya minta untuk sarapan soto. Karena sedang menginap di homestay, kami memutuskan untuk cari makan di luar saja. Kalau di rumah sendiri, pasti orang rumah akan mengambil barang satu atau dua ekor ayam peliharaan untuk dimasak menjadi soto. Di keluarga kami, soto ayam kampung buatan ibu itu rasanya juara. Setelah mencari beberapa referensi di media sosial, pilihan kami akhirnya jatuh pada Soto Kadipiro. Kebetulan kawasan Kadipiro terbilang dekat dengan Tegalrejo. 

Sesaat sebelum meluncur ke Jalan Wates, saya mengonfirmasi ke salah satu teman yang rumahnya tak jauh dari area Soto Kadipiro ini. 

“Langgananmu yang di sebelah mana, Mak?” tanya saya via WhatsApp.

“Kalau aku pernahnya yang Kadipiro saja,” jawabnya sesaat kemudian.

Saya dan adik pun akhirnya sepakat untuk beli sarapan di sana saja. Kebetulan rumah teman saya berada tak jauh dari Jalan Tino Sidin. Karena kamar mandi di penginapan hanya ada satu, plus keponakan juga belum bangun, akhirnya kami memutuskan untuk bungkus saja. Biar sarapan bareng di penginapan.

Yang Selalu Terkenang saat Membawa Pulang Soto Kadipiro
Nuansa lawas di warung Soto Kadipiro, Jalan Wates, Yogyakarta/Retno Septyorini

Antrean yang Mengular

Karena terbiasa sarapan sekitar pukul 06.30, sebelum meluncur ke Kadipiro saya sempat cari camilan dulu di lantai bawah penginapan. Seusai mengganjal perut, barulah saya dan adik jalan ke Kadipiro. Saya agak lupa waktu persisnya, yang jelas pagi itu warung sotonya masih belum buka. Meski demikian, area parkiran di warung soto legendaris tersebut sudah penuh sesak oleh kendaraan para pemburu sarapan. 

Sejujurnya agak kaget mendapati antrean yang mengular semacam ini. Seingat saya, ada puluhan orang yang dengan setia berdiri sampai pintu warung akhirnya dibuka. Saking penasarannya, sesekali saya mengintip melalui jendela berteralis besi yang berada tepat di depan saya. Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya pintu masuk warung soto di depan maupun samping itu dibuka juga.

Sepertinya hanya dalam hitungan detik semua tempat duduk yang tersedia sudah terisi oleh pembeli. Karena tidak berniat untuk makan di tempat, saya langsung memesan beberapa porsi soto untuk dibawa pulang. Sementara adik saya sibuk memilih beberapa lauk tambahan sebagai pelengkap sarapan. Di lidah kami, soto itu enaknya memang disantap bersama beberapa pelengkap, seperti sate telur puyuh, tahu, dan tempe.

Yang Selalu Terkenang saat Membawa Pulang Soto Kadipiro
Pilihan lauk di Soto Kadipiro/Retno Septyorini

Take Away Soto yang Tidak Terlupakan

Sembari menunggu pesanan saya dibuatkan, saya sempat berkeliling ke beberapa sudut warung untuk mengambil foto. Beberapa menit kemudian saya kembali ke area pemesanan. Melihat pesanan saya belum dibuat, saya pun mengonfirmasi pesanan pada salah satu karyawan yang saya temui pagi itu.

“Bu, apakah pesanan saya sudah dibuatkan?”

“Belum, Mbak. Wadahnya ditaruh di sini saja. Nanti dibuatkan sesuai urutan,” jawabnya kemudian.

Deg. Lah, saya kan tidak bawa rantang,” batin saya.

“Apakah pesanan soto yang dibawa pulang harus membawa tempat sendiri, Bu?” saya memastikan.

“Iya, Mbak. Kalau nggak bawa, nanti ada rantang dari sini.” Seketika perasaan deg-degan itu berubah menjadi kelegaan usai melihat tersedianya stok rantang di lemari warung. 

Sebenarnya, saya sudah sering membawa tempat makan sendiri saat berencana jajan di luar. Selain berniat mengurangi sampah kemasan, saya agak kurang sreg melihat koran maupun kertas kiloan yang terkadang masih dipakai sebagai pembungkus makanan. Terlebih jika memang berencana membeli makanan berkuah. Kalau beli bubur saja sekarang saya bawa rantang sendiri.

Kertas kiloan yang saya maksud adalah kertas bekas yang entah dikumpulkan dari mana. Bukan kertas cokelat berbalut plastik yang sering dipakai untuk membungkus makanan. Kertas kiloan ini masih kerap saya temui di beberapa penjual camilan, seperti gatot maupun mi pentil langganan saya. Jadi, kalau berniat jajan di sana, sekarang saya memilih untuk membawa tempat makan sendiri. 

Begitu pula saat saya berencana untuk jajan di beberapa pasar pop up yang banyak dihelat di Jogja. Selain kebersihannya lebih terjaga, pengalaman membeli roti yang minyaknya merembes dari kantong kertas ternyata berakhir lebih merepotkan. Selain merembes ke beberapa barang lain yang ada di dalam tas, ujung-ujungnya harus segera mencuci tas yang baru digunakan. Kalau tidak segera dicuci, noda minyak akan menempel pada barang lain yang akan dibawa pada keesokan harinya. 

Di warung, saya kembali mengamati dengan saksama. Ternyata, semua pelanggan yang take away soto bareng saya pagi itu memang membawa rantang sendiri. 

  • Yang Selalu Terkenang saat Membawa Pulang Soto Kadipiro
  • Yang Selalu Terkenang saat Membawa Pulang Soto Kadipiro

Soto Segar di tengah Jogja

Sejujurnya saya agak lupa kapan terakhir menyantap Soto Kadipiro. Yang saya ingat, Soto Kadipiro itu rasanya enak. Cocok dengan selera lidah saya. Hal ini terbukti usai saya menyelesaikan sarapan pada Jumat, setahun silam.

Pagi itu saya membungkus beberapa porsi soto dengan lauk tambahan berupa tahu, tempe, dan telur puyuh. Seingat saya, satu porsi soto sudah ada pendamping berupa perkedel. Jadi, selain lauk yang dipesan, ada beberapa perkedel yang disisipkan dalam menu pesanan kami.

Sekali menyeruput, saya merasa cocok dengan tipikal kuah soto legendaris yang sudah berjualan sejak tahun 1928 ini. Kuahnya yang ringan terasa pas di lidah. Kalau sudah menemui kuah soto semacam ini, biasanya saya enggan untuk menambahkan perasan jeruk nipis, kecap maupun sambal.

Di lidah saya, kuah soto yang sudah enak itu tidak perlu ditambah apa-apa lagi. Beda cerita kalau sedang merasa kurang fit. Mau makan apa pun wajib ditambah sambal biar cita rasanya semakin menggugah selera. Terlebih kalau tengah menikmati makanan berkuah seperti soto, bakso maupun mi. Saat sedang meriang, menyantap makanan berkuah dengan cita rasa pedas menjadi mood booster tersendiri. 

Pagi itu, keponakan saya juga sarapan dengan lahap. Lidah nusantaranya memang familiar dengan berbagai makanan khas Indonesia, tidak terkecuali dengan Soto Kadipiro. Soto yang kami beli ludes tak bersisa. Siangnya saya masak mi lethek. Sebutan untuk mi bebas gula (gluten free) khas Bantul yang bahan bakunya dibuat dari olahan singkong.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Retno Septyorini

Penulis dari Bantul. Hobi jalan dan kulineran.

Retno Septyorini

Penulis dari Bantul. Hobi jalan dan kulineran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Sarapan Nasi Jagung Arimbi Khas Lamongan