Obreng, sahabat saya, dalam sebuah perjalanan mendaki gunung, pernah cerita soal petualangannya di Indonesia bagian timur. Tapi sepintas saja. Intinya, suatu ketika cuaca buruk memaksa pesawat yang ditumpanginya melipir ke utara, lalu mendarat di sebuah bandara yang di tiang-tiangnya berkibar bendera yang punya warna lebih dari dua.
Karena saya rasa cerita itu terlalu berkesan untuk tak diabadikan, suatu malam saya menghubunginya lewat sebuah aplikasi berkirim pesan dan mengajaknya mengobrol. Pertanyaan pertama pun terkirim.
“Nyasar ke Filipina itu, tuh, bonus, Jo,” ketiknya, dari Bandung, menjawab pertanyaan itu, membuyarkan pikiran-pikiran saya tentang kisah yang akan saya terima soal perjalanan udara itu. Ia bilang ada cerita yang lebih seru dalam petualangannya itu.
Jadi ceritanya begini:
Suatu siang di tahun 2012, nasib mengantarkannya ke Waiwo, sebuah pulau di Raja Ampat. Ia bersama dua orang kawan baru beberapa menit yang lalu meminta izin ke warga dan membuka tenda di atas pasir pantai. Lalu duduk-duduklah mereka sambil menyerap asap Gudang Garam Filter—Garpit—dan mengisap panorama.
Riak air dan suara alam menjelang tengah hari bikin suasana jadi syahdu. Namun kesyahduan itu diusik suara seorang wisatawan mancanegara sedang berlari-lari di pasir, dari sebuah hotel ke pantai. Sekali, dua kali, bolak-balik. Iseng sekali dia, pikir Obreng. Saat orang itu sedang sibuk mengkhatamkan putaran ketiga, Obreng mengajaknya bicara, “Can I help you? Do you need any help?”
Ternyata dia sedang mencari kakaknya. Pemuda itu dari Finlandia. Dari negeri utara itu ia berangkat bertiga bersama kakak dan istri kakaknya. “Kakaknya, tuh, honeymoon,” jelas Obreng. “Dia jadi porter-nyalah.”
Persoalannya, ponsel sang pemuda ketinggalan di kamar, sementara kunci dibawa kakaknya. Ia sudah usaha minta tolong pada resepsionis. Tapi, malang, kecakapan bahasa Inggris sang awak hotel kurang. Komunikasi gagal. Jadilah ia menghabiskan waktu bolak-balik dari hotel ke pinggir laut. Menghilangkan kegalauan, barangkali. Singkat cerita, Obreng digiring nasib jadi interpreter dadakan.
Sambil menunggu sang kakak tiba, ia ikut nongkrong bareng Obreng dkk. dan mengobrol santai. Rupanya ia punya lisensi scuba diving. Sudah lama ia tahu soal Raja Ampat dan dunia bawah lautnya. Perjalanan bulan madu sang kakak ke Raja Ampat itu adalah idenya.
Mereka merokok. Manusia Eropa itu mengisap Marlboro seharga Rp100 ribu per bungkus, sementara Obreng merokok Garpit yang harganya berlipat-lipat lebih murah. Aroma cengkih yang menguar dari kretek filter murah itu menarik perhatian hidung sang musafir. Ia penasaran, akhirnya meminta sebatang, lalu membakarnya.
“Habis ketemu kakakku nanti, tolong antar beli rokok itu, ya?” ujarnya.
Sang pemuda lalu bercerita bahwa mereka sudah menyewa kapal untuk keliling perairan Raja Ampat. Tapi ternyata ia keliru memesan logistik. Awak kapal menyiapkan bekal untuk enam orang, padahal mereka cuma bertiga. Sewaktu mengurus pemesanan, agen kapal bertanya: kapal itu disewa untuk berapa hari dan untuk berapa orang makanan mesti disiapkan?
“Three,” jawab sang pemuda. Maksudnya, tolong persiapkan makanan untuk tiga orang. Namun ujung-ujungnya yang datang adalah makanan porsi enam orang untuk tiga hari. Angka memang rumit—dan akan jadi lebih rumit jika diperbincangkan dalam bahasa asing.
“Jadi makanannya kebanyakan,” lanjut Obreng.
Kakak dan kakak iparnya pun tiba. Mereka berkenalan. Sang kakak bernama Erik. “Istrinya Ryiandrjik—apa gitu, susah namanya,” lanjut Obreng. Adiknya—sang pemuda itu—bernama Alex.
Alex semula ingin menghibahkan makanan yang berlebih itu pada trio Obreng. Tapi Erik malah sekalian mengajak mereka ikut berlayar.
“Beh, baik bener,” ketik Obreng. “Ya, aing mau-mau aja, ya, Jo, naik kapal keliling-keliling Raja Ampat.”
Tenda yang sudah berdiri di atas pasir Waiwo itu pun dibongkar.
“Si Alex ini ternyata orangnya bengak level 100!” kenang Obreng. “Pelupa, sembronolah. Kocak juga. Kalau kakaknya serius.”
Menjelang naik kapal, Erik sang kakak bertanya ke Alex, “Nakhodanya mana?” Si Alex dengan tengil menjawab, “Buat apa pakai nakhoda kalau sudah ada Alex?!”
Setelah jangkar diangkat dan kapal melaju, baru Obreng sadar kalau ia lupa menemani Alex beli rokok. Akhirnya mereka tengmenan. Alex rupanya benar-benar bisa mengendarai kapal. Dengan rokok di tangan, sudah macam nakhoda lokal saja dia.
Tiba di lokasi penyelaman—yang sudah dicari tahu Alex sebelum bertolak ke Raja Ampat—keenam wetsuit yang dibawa dikeluarkan oleh awak kapal. “Di situ aing baru pertama kali pakai baju selam. Ternyata makenya harus dibalik, ya,” tulisnya, disambung “wkwkwkwkw.”
“Lho, maneh turun pakai tabung?”
Dia anak gunung sejati; jauh dari laut.
“’Kan kita bilang belum pernah diving,” jawab Obreng. “’Kata Alex, ‘santai aja.’ Jadi kita ikut turun pakai tabung. Dikasih les singkat sama Alex.”
Di sela-sela penyelaman-penyelaman itu, ada satu perkataan Alex yang diingat Obreng sampai sekarang: “Indonesia harusnya ganti nama jadi ‘Enormous’.”
Malamnya mereka menyelam lagi di perairan sebuah pulau di selatan Waiwo. Lalu mereka berlayar terus ke utara, mendekati garis khatulistiwa. Kata Alex, di utara sana ada titik untuk menyelam malam.
Dalam penyelaman selanjutnya itu, dekat Pulau Batang Pele, Alex lupa menjangkarkan kapal. Begitu muncul ke permukaan, mereka lihat kapal sudah terbawa gelombang sampai jauh. Untuk mengejar kapal mereka enggan sudah. Maka, mereka biarkan kapal itu—dan Erik serta istrinya yang sedang berbulan madu—jauh di sana. Tak ada pilihan yang lebih bijaksana kala itu ketimbang bermalam di atas pasir Pulau Batang Pele.
“Kebanyakan merokok sama ngebir [dia],” kenang Obreng.
Mereka ngaso di pinggir laut sambil bakar-bakar ikan. Alex cerita kalau ia pernah lihat video orang menyemburkan api di Indonesia. “Itu, loh, yang dari mulut, Jo,” cerita Obreng. “Sama si Kandang diajarinlah caranya.”
Dan tenda Alex kebakaran.
Paginya, saat pulang ke kapal, bajunya gosong. Erik bertanya, “Kenapa bajunya? Tendanya mana?”
“Kena semburan mulut api penyihir Indonesia,” jawabnya.
Dua hari Obreng dan kawan-kawannya bertualang bersama ketiga orang Finlandia itu. Di hari ketika Erik mendapati baju Alex gosong itu, Obreng dan kedua kawannya diantar ke Bandara Marinda, sebab mereka mesti pulang keesokan harinya. Salam perpisahan dipertukarkan. Kenyataan segera berubah jadi kenangan.
Dari Marinda, mereka terbang ke Sorong menumpang pesawat kecil Aviastar. Di Soronglah cerita soal nyasar ke Filipina itu bermula.
“Mungkin pas di Raja Ampat aing udah beruntung bisa main gratisan sama bule dari Finlandia,” tulisnya di aplikasi pesan. “Makanya, pas naik pesawat, baru, deh, kena sialnya.”
Trio Obreng hendak ke Manado. Sore hari, sekira pukul 15.30 waktu setempat, mereka terbang menumpang Merpati tipe M60 yang berbaling-baling itu. Di awal penerbangan, lewat corong pilot memberi tahu bahwa cuaca di Maluku sedang kurang baik. Makanya sang pilot meminta izin terbang lewat utara Maluku.
Rupanya badai semakin melebar. Sudah kadung di utara, susah untuk berbalik ke selatan. Pilot kembali bersuara, meminta maaf kepada para penumpang karena perjalanan akan lebih lama ketimbang biasanya demi menghindari badai.
“Alhasil, pesawatnya terbang terlalu [ke] utara,” Obreng bercerita.
Melambung ke utara mendatangkan persoalan lain: bahan bakar tak cukup jika dipaksakan terbang langsung ke Manado.
“Aing kira mau ke mana. Eh, Filipina,” kenang Obreng. “Pilot bilang mau ke Filipina itu jam 6 sore.”
Pesawat pun akhirnya mendarat di General Santos International Airport, Mindanao, jam 7 malam. Muka para penumpang tampak lega sebab sudah terbebas dari badai. Obreng jelas lega juga, tapi pikirannya malah pergi ke kawan barunya. Alex, yang mestilah kala itu sedang merokok Garpit di kapal sewaannya.
Bahahahahaha maneh kalau bikin trilogi udah best seller jo !!