Tak pernah tebersit oleh saya untuk berlibur ke Pacitan sebelumnya. Namun, ternyata Pacitan memiliki destinasi wisata alam yang mengesankan dan kuliner yang memanjakan lidah. Salah satu dari 38 kabupaten di Provinsi Jawa Timur itu berada di pesisir selatan dan dekat sekali dengan laut.
Jelang liburan akhir tahun lalu teman saya iseng mengajak untuk jalan-jalan ke Pacitan. Sebuah ide yang sangat menarik. Karena penasaran, kami sepakat untuk berkunjung ke daerah berjuluk “Kota 1001 Gua” tersebut.
Akses menuju Pacitan memang terbilang cukup terbatas. Belum ada bandara komersial dan stasiun kereta di sana.
Jika menggunakan pesawat dari Jakarta, setidaknya kita harus turun di Bandara Adi Soemarmo Solo. Dari bandara, melanjutkan perjalanan melalui Terminal Tirtonadi menggunakan bus Aneka Jaya ke Pacitan. Durasi perjalanannya mencapai kurang lebih 3—4 jam. Sedikit tips dari saya, lebih baik menyewa satu unit mobil dari Solo, agar bisa digunakan juga saat jalan-jalan di Pacitan. Saya bersama enam teman lainnya memutuskan untuk sewa kendaraan jenis minivan (Toyota Hiace) dengan sopir.
Perjalanan dari Solo menuju Pacitan juga memberikan pengalaman tersendiri. Belum ada jalanan tol nan mulus untuk sampai ke Pacitan, sehingga kita harus melalui jalur naik turun dan berkelok. Bagi yang mabuk perjalanan darat, disarankan membawa perbekalan obat-obatan pribadi.
Kuliner Bahari ala Bu Gandos
Setibanya di batas kota, kami langsung menuju salah satu tempat makan seafood terbaik di Pacitan. Namanya Warung Makan Bu Gandos, terkenal dengan sajian lobsternya yang berukuran besar. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota Pacitan. Bukan sebuah restoran mewah dengan tempat duduk yang tertata, melainkan hanya tempat makan sederhana di pinggir tambak air payau yang berbatasan dengan laut.
Kami memesan lobster, ikan bakar, udang goreng, kangkung, dan terong balado. Saat disajikan, tampilannya seperti makanan biasa di resto-resto seafood Jakarta. Tidak terlalu memberikan ekspektasi tinggi. Namun, saat dimakan rasanya sangat segar. Ikan bakarnya lembut, udang gorengnya juga sangat garing. Tentu saja yang menjadi primadona dalam sajian adalah lobster. Lobster besar ini memiliki daging yang banyak dan empuk dengan rasa yang manis.
Terik matahari siang itu cukup menyengat, tetapi udaranya masih sejuk. Sangat menyenangkan bisa menyantap makanan lezat dengan pemandangan yang memanjakan mata ke arah Teluk Pacitan.
Usai dari Bu Gandos kami menuju penginapan untuk menaruh barang-barang. Tidak ada banyak pilihan hotel atau resor mewah di Pacitan. Bahkan hotel empat tingkat yang kami tempati tidak memiliki lift. Untungnya kami dapat di lantai dua dan tiga, sehingga tidak terlalu berat mengangkat tas bawaan. Jarak dari warung Bu Gandos ke penginapan hanya sekitar empat kilometer dengan waktu tempuh kurang dari 10 menit.
Menikmati Sore di Pantai Watu Karung
Menjelang sore kami memutuskan keluar dari hotel dan pergi ke pantai terdekat. Karena destinasi paling utama di Pacitan adalah pantai, rasanya tidak lengkap jika tidak mengunjunginya. Pantai-pantai di Pacitan juga terkenal dengan ombaknya yang baik untuk surfing. Makanya, tidak jarang kami bertemu dengan bule-bule di sini.
Dari sekian banyak pantai di Pacitan, kami sepakat untuk ke Pantai Watu Karung. Dari hotel ke Pantai Watu Karung berjarak 24 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 40 menit. Akses masuk ke pantai ini tidak sulit, karena cukup dekat dengan jalan raya.
Kami berjalan masuk ke pantai ini tanpa ekspektasi berlebih. Apalagi kami tidak melakukan riset mendalam sebelumnya. Saat kami datang, waktu telah beranjak sore menjelang matahari terbenam.
Ternyata, kami mendapatkan suguhan pemandangan yang menakjubkan. Kami duduk-duduk sambil melihat matahari mulai tenggelam di balik cakrawala, mendengarkan suara deburan ombak yang menerjang pantai. Tidak banyak orang, sehingga suasana begitu tenang.
Di area wisata Pantai Watu Karung, tersedia juga warung-warung milik warga lokal yang berjualan makanan dan minuman. Kami memilih makan mi instan sambil menikmati panorama gulungan ombak Samudra Hindia.
Kuliner Malam di Pacitan
Matahari sudah tidak terlihat. Hari mulai gelap. Kami lekas meninggalkan kawasan pantai untuk melanjutkan perjalanan mencari makan malam. Ada dua tempat kuliner yang menurut saya wajib didatangi kalau ke Pacitan.
Pertama, ayam goreng rempah Mekar Jaya. Letaknya di kota, dari Watu Karung berjarak 24 kilometer dengan waktu tempuh kurang dari 45 menit.
Menu andalan Mekar Jaya itu terlihat seperti ayam goreng pada umumnya. Namun, rasa dari bumbu rempah yang diungkep membuatnya jadi lebih nikmat. Konsep dapurnya yang terbuka membuat pengunjung bisa melihat proses memasaknya. Ayam yang sudah diungkep, dicelupkan dalam penggorengan dengan minyak panas. Hasilnya ayam matang sempurna. Garing di luar, empuk di dalam.
Destinasi kuliner selanjutnya yang tidak kalah menarik di Pacitan adalah Sego Gobyos. Warungnya sederhana, berada di pinggir jalan. Tepatnya di perempatan Tugu Penceng, pertemuan jalur dari arah Ponorogo dan Solo. Tidak jauh dari Alun-alun Pacitan. Warung Sego Gobyos buka sejak pukul empat sore hingga empat pagi.
Sego Gobyos pada dasarnya adalah nasi plus sayur daun kenikir, serta tambahan lauk yang bisa dipilih, mulai dari tahu, tempe bacem, opor ayam, hingga kerupuk. Makanan ini terkenal dengan rasanya yang super pedas, makanya dinamakan Gobyos. Saat makan memang benar-benar sampai mandi keringat (gobyos) saking pedasnya.
Usai sudah perjalanan kami berwisata kuliner dan pantai di Pacitan hari itu. Berlibur ke Pacitan ternyata menjadi keputusan terbaik. Meskipun sempat meragukan awalnya, tetapi tak disangka Pacitan menyimpan potensi kuliner lokal dan destinasi alam yang luar biasa.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.