Itinerary

Berkenalan dengan Wayang Potehi

Tetabuhan dimulai. Gembreng, simbal, cheh dan puah, seruling, rebab hingga tambur menghadirkan harmonisasi yang pecah khas pengiring pertunjukan barongsai. Sebuah boneka kaisar berbaju hitam muncul dari jendela panggung berwarna merah yang berbentuk rumah berhiaskan gambar naga.

Ini adalah pertunjukan wayang potehi. Berasal dari daratan Cina Selatan, kesenian ini mulai dikenal sejak zaman Dinasti Tsang Tian. “Potehi” berasal dari akar kata poo (kain), tay (kantong), dan hie (wayang). Makanya banyak juga yang mengenal wayang potehi sebagai “wayang kantong.”

wayang potehi
Belakang panggung wayang potehi/Fuji Adriza

Lakon dari kisah-kisah Tiongkok

Wayang ini dimainkan dengan tangan. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain (baju wayang) lalu ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan si wayang. Sedangkan tiga jari tengah mengendalikan kepala. Di setiap pertunjukan wayang potehi, seorang dalang akan dibantu oleh seorang asisten. Biasanya masing-masing dari mereka akan memainkan dua buah wayang.

Dalam pertunjukan-pertunjukannya, cerita yang diangkat wayang ini bervariasi. Dulunya para dalang hanya menampilkan lakon yang berasal dari kisah-kisah Tiongkok, seperti kisah peperangan seorang jendral bernama Pang Juan dan para tentaranya melawan pasukan Korea untuk menyelamatkan empat kota di Tiongkok. Namun, belakangan wayang ini juga mengambil beberapa cerita dari novel seperti Se Yu dengan lakon kera sakti.

Awal mula masuk Indonesia, wayang ini masih dimainkan dalam dialek Hokkian. Sekarang, orang kebanyakan pun bisa menikmati wayang ini dalam bahasa Indonesia. Bagaimana? Berminat nonton wayang potehi?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

TelusuRI

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *