
Matahari memancarkan sinarnya di tengah jalan aspal hitam legam yang membelah perbukitan karst. Dikerjakan sejak 2004 silam, Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) yang melintasi Gunungkidul hampir rampung tahun 2025 ini. Penolakan sempat terjadi seperti di Dusun Wuluh, Kapanewon Tepus. Pohon dan sumber air yang pada waktu tertentu diberi sesaji harus dimusnahkan imbas terlewati proyek ini.
Puncak penolakan terjadi ketika mesin senso tak kunjung menyala saat proses penebangan pohon jati besar yang dihormati itu berlangsung.1 Peristiwa tak terduga ini memaksa pekerja menghubungi seorang sesepuh dusun demi keberlangsungan proyek. Mbah Saido (62 tahun) harus melalui berbagai ritual untuk memindah entitas yang diyakini mendiami pohon jati besar itu. Dengan bantuan sebuah papan kayu yang berisi garis-garis berpola yang disebutnya blabak, penghitungan waktu penebangan pohon yang tepat ia lakukan.
Hanya induk kucing dan ketiga anaknya yang mendiami sebuah rumah kayu kuno penuh gamelan dan papan kalender blabak yang terpajang di dinding rumah di Dusun Wuluh pada bulan Juli lalu. Tetangganya menyebut Mbah Saido kini jauh lebih banyak tinggal di tepi Pantai Siung. Panas terik yang memantulkan cahaya pada ombak keras yang menghantam batu karang di pantai kala itu nampak begitu jelas dari sebuah warung di tepi pantai, Warung Lesehan Mbah Ido. Di rumah panggung sederhana dengan aula pertemuan yang amat luas itu Mbah Saido dan istrinya kini tinggal, berjualan sembari menjaga pantai pasca COVID-19 dengan program penanaman pohonnya.

Hubungan Majapahit dan Mataram dalam Sebuah Papan
Mbah Saido memiliki beberapa papan kayu yang di dalamnya terukir garis, titik, dengan kotak-kotak berjumlah 30 kolom dan 7 baris. Papan itu disebutnya sebagai blabak, berisi kalender tradisional Jawa yang rumit. Ilmu membaca blabak itu Mbah Saido pelajari dari kakeknya langsung. “Ilmu ini dulu dibawa dari Majapahit bersama keturunannya di sini,” ujar Mbah Saido. Perkataannya seolah mengingatkan kembali cerita-cerita dalam babad yang menjadi perdebatan sejarawan tentang hubungan Majapahit dan Mataram.
Di tengah kehidupan istana yang penuh gejolak, konon pada suatu hari Prabu Brawijaya, Sang Raja Majapahit, pergi mengunjungi para nujum atau ahli meramal.2 “Siapakah yang akan menggantikan kepemimpinanku, adakah penguasa seperti diriku?” ujar Sang Nata. “Ada,” jawab para nujum, “ia keturunanmu, namun kekuasaannya akan beribu kota di Mataram.” Jawaban tak terduga membuat Prabu Brawijaya berpikir keras hingga ia jatuh sakit.
Dalam tidurnya ia bermimpi, terlintas suara yang menjawab rasa penasaran Sang Prabu. Ialah Raden Bondhan Kajawan, putra Raja Brawijaya bersama dayang istana yang mengabdi pada permaisurinya, Putri Campa. Dari darahnya lahir Ki Ageng Sela, moyang Panembahan Senapati yang masyhur, pendiri Kesultanan Mataram. Mungkin saja cerita inilah yang dimaksud Mbah Saido sebagai awal pertukaran keilmuan di antara keduanya.
Seolah menjadi warisan berharga, tak semua orang diberi kesempatan untuk membuat blabak yang berisi kalender tradisional itu. Blabak yang kini di tangan Mbah Saido sebelumnya milik kakeknya yang ditatah setiap bulan Suro dan apabila belum selesai dalam kurun waktu satu bulan, penatahnya harus melanjutkan ke tahun berikutnya.
Tidak semua orang bisa membuatnya. “Takutnya belum selesai buat tapi sudah meninggal nanti ada kesalahan pembacaan,” ujar Mbah Saido. Pasalnya, memahami kalender tradisional ini bukan pekerjaan yang mudah. Hanya si pembuat yang mampu memahami garis dan titik di dalam kotak blabak yang seolah menjadi kode penanda atas apa yang terjadi pada kotak hari yang ditatahnya. “Ini ilmunya orang bodoh,” tambahnya, “(zaman dahulu, orang) tidak bisa membaca, makanya dibuat titik dan garis.” Bila dijabarkan, isi dalam satu blabak itu adalah primbon yang terdiri atas puluhan bahkan ratusan halaman.


Warisan Waktu yang Mengakar
Setidaknya ada tiga keilmuan yang biasa dipelajari orang Jawa: klenik, carakan, nujum. Ilmu mencari hari baik melalui pembacaan kalender tradisional dengan menyatukan perhitungan hari, pasaran, bulan, wuku, dan tahun adalah klenik. Dalam blabak milik Mbah Saido, terdapat kolom panjang yang memiliki tujuh kotak vertikal yang mewakili siklus tujuh hari atau saptawara: Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu. Serta wuku dalam 30 kotak horizontal di papan blabak yang mewakili siklus 30 minggu dalam kalender Jawa kuno.3
Unsur lain meliputi siklus 12 bulan yang menggunakan serapan bahasa Arab: Sura, Sapar, Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, Besar. Digunakan pula siklus windu (delapan tahun) yang terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir. Kemudian dikenal unsur lima hari pasaran atau pancawara: Paing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi.
Ada pula siklus enam hari yang disebut paringkelan, memuat apa saja yang harus dihindari pada hari tersebut. “Lha, ringkel itu ada enam: jalma, sato, iwak, manuk, godhong, pupu,” ujar Mbah Saido. Ringkel jalma, seseorang dilarang untuk melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan manusia, seperti membangun rumah. Ringkel sato, larangan melakukan pekerjaan berkaitan dengan hewan, seperti membuat kandang. Ringkel iwak, dianjurkan untuk menghindari pekerjaan yang berkaitan dengan ikan, seperti membeli gagang pancing (walesan). Ringkel manuk, menghindari pekerjaan berkaitan dengan burung, seperti menangkap burung. Ringkel godhong, tidak dianjurkan melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan menanam tumbuhan karena dapat merusak daun. Dan ringkel pupu untuk menghindari pekerjaan berkaitan dengan biji, seperti menanam biji pohon kapas yang dahulu biasa dilakukan di Gunungkidul.
Serupa dengan ringkel, setiap wuku memiliki was, “Hari abu-abu (hari kurang baik) seperti wuku Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu yang memiliki dua was dalam satu minggunya, yaitu hari Sabtu dan Minggu,” sebut Mbah Saido. Ada pula hari sangar dari wuku, hari ketika Kala—raksasa lambang kejahatan—yang mencari korbannya pada Landep – Rabu Paing, Warigalit – Kamis Pon, Kuningan – Jumat Wage, Kuruwelut – Sabtu Kliwon, Wuye – Senin Kliwon, Wayang – Selasa Legi.
Pawukon atau sistem penanggalan menggunakan wuku dan unsur lainnya tersebut merupakan dasar penting dalam penggunaan kalender pertanian yang kerap disebut pranatamangsa. Sistem penanggalan pada pranatamangsa disusun berdasarkan pada peredaran matahari. Dalam satu tahun terdapat 12 musim atau mangsa; Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kasadasa, Dhestha, dan Sadha yang lamanya ditentukan dari panjang bayangan matahari pada tiang tegak di siang hari. Perjalanan matahari itu berguna untuk menentukan berbagai gerakan dan reaksi tanaman dan hewan di bumi.
Pada 22 Juni 1855, Susuhunan Pakubuwana VII atas saran seorang Belanda bernama Cohen Stuart, melakukan pembakuan pada kalender pranatamangsa yang disesuaikan dengan kalender Masehi agar mudah dipahami semua orang. Penetapan tersebut membagi 12 mangsa sebagai berikut.

Untuk kepentingan pertanian, semua unsur penanggalan perlu digunakan secara keseluruhan. Setelah 51 wuku berjalan, maka mangsa akan dimulai kembali dari mangsa pertama. Setiap wuku memiliki ringkelnya sendiri, seperti wuku Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, dan Tolu yang memiliki ringkel godhong. Ketika Mbah Saido akan menanam singkong dan jagung, ia akan menghindari wuku dengan ringkel tersebut atau tetap menanam dengan risiko menemui permasalahan pada tanamannya nanti. Karena bertani di Gunungkidul menggunakan sistem tadah hujan, maka mangsa Kapat adalah waktu yang tepat. Meski gerimis terkadang datang sebelum mangsa tersebut, warga tidak terkecoh untuk menanam karena sudah mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mulai menanam.
Tidak hanya Mbah Saido, beberapa orang di Gunungkidul juga dapat membaca blabak. Papan itu memiliki peranan penting bagi masyarakat untuk mencari hari-hari baik, seperti menanam, menikah, dan membangun rumah. Alih-alih menyimpan ilmunya sendiri, Mbah Saido memilih untuk membagikan ilmunya melalui program sinau bareng yang diikuti warga sekitar yang tertarik mempelajarinya. Bersama-sama mereka merapal hafalan nama-nama wuku, bersama-sama pula mereka meruwat warisan keilmuan nenek moyang yang mulai asing di telinga umum.
- Titah AW, “Pohon, Batu, dan Hantu-Hantu: Protes Alam di Tengah Pembangunan Jalan Lintas Selatan Yogyakarta”, Project Multatuli, 2023, Juni 19, https://projectmultatuli.org/pohon-batu-dan-hantu-hantu-protes-alam-di-tengah-pembangunan-jalan-lintas-selatan-yogyakarta/. ↩︎
- Ngabehi Kertapradja, Serat Babad Tanah Jawi: edisi Prosa Bahasa Jawa (Yogyakarta: Penerbit Garudhawaca, 2014). ↩︎
- Meliputi: Sinta, Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujut, Pahang, Kruwelut, Marakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut, Watugunung. ↩︎
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Fina tinggal di Temanggung. Gemar menyelami arsip kuno yang membawanya kini menjadi pekerja (dipaksa) kreatif.

