Sebuah sudut dekat Pasar Gede di Jl. Suryo Purwodiningratan, Kota Solo, tampak sebuah bangunan usang bertuliskan Rental Komik Victory. Tempat ini mempertemukan saya dengan seorang bernama Sugeng Wiyono. Ia adalah pencinta sekaligus pemilik tempat persewaan komik bernama Victory Komik.
Ini kunjungan pertama saya ke Victory Komik. Baru kali ini saya mendengar informasi mengenai sebuah persewaan komik fisik yang masih buka hingga sekarang. Karena, semasa saya kecil, saya tak pernah mendengar informasi tentang persewaan komik. Paling mentok saya hanya membaca buku cerita yang tersedia di perpustakaan.
Menurut kabar, Victory Komik adalah satu-satunya persewaan komik yang masih eksis di Solo. Sugeng mulai mengoleksi komik sejak tahun 1990. Lima tahun setelahnya, Sugeng membuka Victory Komik. Awal Sugeng mendirikan Victory Komik bukanlah di Jl. Suryo Purwodiningratan, melainkan di Jl. Ir. Sutami, Kecamatan Jebres, Solo.
Saya mendapat sambutan hangat dan senyum dari Sugeng bersama istrinya, Anik, dan anak perempuannya. Tujuan kunjungan saya ke Victory Komik sebetulnya untuk mengenang komik sebagai bahan untuk merawat imajinasi, sekaligus melihat-lihat koleksi dari tempat ini.
“Ada yang bisa dibantu?” tawarnya semringah.
“Saya ke sini ingin melihat-lihat koleksi komik, Pak,” balasku.
“Baik, silakan dilihat-lihat. Di sini jika ada judul komik yang diinginkan, bisa saya carikan,” ujar Sugeng sambil menawarkan beberapa judul komik.
Sugeng bercerita bahwa komik yang populer di Victory Komik adalah karya-karya dari pengarang Jepang. Ternyata, dari cerita Sugeng, tak hanya komik-komik lama yang bisa disewa di sini. Victory Komik juga menyewakan majalah, seperti National Geographic, atau buku-buku populer terkini, misalnya Serial Bumi Tere Liye: “Petualangan Dunia Paralel”.
Mengenang Perjalanan Victory Komik
Pada 1995, saat Victory Komik masih bertempat di Jl. Ir. Sutami, Victory Komik terkenal sebagai persewaan dengan koleksi komik Jepangnya. Kala itu yang laris antara lain Kungfu Boy, Doraemon, dan One Piece. Sugeng senang mengingat masa-masa itu. Ia fasih berkisah soal para pelanggannya—didominasi mahasiswa UNS—menyerbu tokonya untuk menyewa komik miliknya.
“Wo, nek itu, awal-awal terbitan komik Jepang [seperti] Doraemon, Kungfu Boy. Belum ada HP. Jadi, anak sekolah pulangnya juga siang-siang. Waktu baca di rumah itu masih panjang. Kebanyakan [anak-anak] pulang sekolah mampir, nyewa komik,” kata Sugeng sambil mengingat.
Menurut Kompas, booming komik-komik Jepang memang berawal pada tahun 1990-an dan 2000-an. Komik seperti Dragon Ball dan Doraemon jadi primadona. Alasan komik Jepang menjadi sangat populer di kalangan remaja kala itu adalah ceritanya yang beragam dan menyentuh ke realitas sosial yang dekat dengan mereka. Cerita yang sering ditampilkan antara lain kehidupan sekolah, cerita romantis di sekolah, dan petualangan pahlawan.
Sebagai tambahan informasi, komik Indonesia juga sempat menduduki masa jaya. Bukan di tahun 1990, melainkan dua puluh tahun sebelumnya, yaitu 1960 sampai dengan 1970-an. Tak kalah bersaing dengan para pengarang Jepang, Indonesia juga memiliki komikus kondang, seperti Ganes TH., sang bapak dari komik Si Buta Dari Gua Hantu dan Hasmi, pembuat karakter komik Gundala Putra Petir.
Setelah periode 1990–2000, komik masuk ke era online (daring). Waktu itu persebaran internet mulai meluas sehingga memungkinkan komikus menerbitkan karya mereka secara daring tanpa melibatkan penerbit. Era daring ini menjadi tanda mulai bergesernya selera komik fisik ke virtual. “Si Juki” menjadi salah satu komik yang terkenal di kancah digital.
Victory Komik sendiri berdiri di masa transisi dari cetak menuju daring. Awal pendiriannya dibarengi dengan menjamurnya komik Jepang di Indonesia. Judul-judul Kungfu Boy, Doraemon, Naruto, Dragon Ball, One Piece, dan Detective Conan menjadi incaran utama para pembaca. Bahkan, Sugeng harus membeli berangkap-rangkapan untuk memenuhi hausnya permintaan pembaca kala itu.
“Beuh! Rangkepnya banyak, bisa rangkep lima, bisa rangkep tujuh. Itu satu judul satu nomer,” kata Sugeng.
Komik yang dibeli oleh Sugeng harganya cukup variatif. Waktu itu, untuk mengumpulkan komik-komik yang menjadi koleksinya sekarang, selain langsung mengambil dari penerbit. Sugeng juga mengambil dari agen.
Cara meminjam komik di Victory Komik dari dulu sampai sekarang tak berubah. Untuk bisa menjadi anggota (member) caranya adalah mendaftarkan diri lalu memberikan uang registrasi sebesar Rp10.00. KTP penyewa akan difoto untuk data keanggotaan. Setelah terdaftar, pembaca dapat meminjam komik untuk dibawa pulang.
Harga sewanya pun tak banyak berubah. Sugeng memiliki cara yang unik untuk menentukan harga sewa setiap komik. Setiap komik memiliki harganya tersendiri. Cara menghitung harga sewa satu komik adalah dengan mengambil 10% dari harga komik aslinya. Jika harga komik Detektif Conan Rp 100.000, maka harga sewanya adalah Rp10.000.
Sugeng selalu memperbarui komik baru per harinya di antara koleksi-koleksi lama (Aldino Jalu Seto)
Bergulat dengan Era Daring dan Rayap
Seperempat abad lalu adalah kenangan yang membuat hati senang, baik bagi Sugeng maupun para pencinta komik. Pasalnya, masa-masa itu adalah waktu di mana penggemar komik berkumpul di toko Sugeng. Mereka menyalurkan gairah remajanya ke dalam tiap lembar-lembar buku kecil itu, yang bergambar karakter-karakter kesukaan mereka masing-masing.
Sekarang, para pembaca yang menemani Victory Komik bertumbuh menjadi dewasa bahkan berkeluarga. Sugeng mengungkapkan, “Generasi pembacanya, ya, yang dulu suka baca [komik] itu nyaman membaca [komik] daripada HP. Jadi, [pembaca sekarang] ya, sudah punya dunia sendiri, [walaupun orang yang] menikmati membaca buku [komik] secara fisik, ya, sampai sekarang masih ada.”
Mereka yang membaca komik fisik tak lain adalah orang yang sama di era lebih dari dua dekade lalu. Beberapa kali Sugeng bertemu dengan pembaca komik lamanya di Victory Komik. Kebanyakan dari mereka membawa anak. Harapannya sederhana, agar anaknya menjadi pembaca komik seperti orang tuanya dulu.
“Orang tua mengajak ke sini keinginannya agar mereka membaca komik seperti papa dan mamanya dulu,” ujarnya.
Menurut Sugeng, salah satu persoalan menurunnya pembaca komik adalah kalahnya daya tawar komik fisik jika dibandingkan dengan komik daring, atau hal lain yang berhubungan dengan internet. “[Lebih bagus] membaca komik daripada main HP terus. Tapi anak tetap lari ke HP, sih. Di sana apa-apa ada, jadinya banyak persewaan yang tutup,” sambung Sugeng dalam bahasa Jawa.
Selain menurunnya minat membaca komik fisik, Victory Komik juga berhadapan dengan penjualan daring. Jika dulu pembelian harus lewat penerbit atau agen, sekarang penjualan bisa lebih fleksibel hanya dengan memasangkan iklan di platform daring.
Sugeng pun sampai sekarang masih kebingungan dalam menilai era daring. Entah ini merupakan peluang atau ancaman bagi tokonya. Di satu sisi, pembacanya banyak beralih ke media digital, sedangkan di sisi lain Sugeng jadi satu-satunya toko komik di Solo. Victory Komik bahkan dilabeli sebagai toko yang memiliki keunikan oleh para pengunjungnya yang mempromosikan di media sosial.
Tantangan lain yang dihadapi Sugeng adalah musuh alami dari komik, yaitu rayap. Meskipun demikian, hingga kini Victory Komik tetap menanti pembacanya, entah yang masih setia atau yang sedang bertumbuh. Ia akan selalu setia di jalan literasi untuk memberi imajinasi pada setiap lembar-lembar bergambarnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.