TRAVELOG

Umbul Banyu Roso: Berenang di Pelukan Ibu

Hangat, begitu hangat, ketika menyentuh kulit ari. Pori-pori mulai terbuka dan kehangatan itu semakin terasa. Semakin ke sini semakin menyebar ke dalam diri. Begitulah rasanya di pelukan ibu, ditemani dongeng lirih prolog ibu: “Pada zaman dahulu…”

Riuh suara air dan para manusia perlahan mulai memecah pelukan ibu. Ingatan—kenangan—tentangnya mulai memudar. Aku membuka mata. Ternyata ini berbeda, aku tidak sedang dalam pelukannya. Aku dikelilingi air dan puluhan orang yang sedang berendam dan berenang.

Aku tersadar, lima belas menit lalu ragaku terjun ke sini dan mulai merendamkan diri bersama Aji dan Iqbal. Mereka kakak beradik, saudaraku juga. Kami berada di Pemandian Air Panas Umbul Banyu Roso yang terletak di Dimajar 1, Desakan, Sumberarum, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang.

Umbul Banyu Roso: Berenang di Pelukan Ibu
Kompleks pemandian tampak dari atas atau area parkir Umbul Banyu Roso/Danang Nugroho

Tiga puluh menit lalu kami sampai di area parkir, lalu masuk melalui loket pertama yang berada di atas. Tiketnya cukup murah. Jika umur sudah di atas dua tahun, dikenakan biaya masuk Rp10.000 per orang untuk berenang sepuasnya, karena Umbul Banyu Roso buka dua puluh empat jam alias nonstop. Setelahnya kami turun melalui tangga, di situ kami menemui kolam pertama yang tingginya aman untuk orang dewasa.

Berlanjut, menuruni tangga lagi, kami menemui kolam dengan pancuran air dari belalai patung gajah tiga kepala, yang tingginya aman untuk anak-anak dan dewasa. Itulah kolam yang mengingatkanku pada pelukan ibu. Namun, sebelum itu, masih ada tangga turun yang seolah seperti misteri dan perlu kami ketahui.

Ternyata, semakin ke bawah, masih ada tiga kolam lagi dengan tambahan seluncuran yang cocok dan aman untuk anak-anak. Hingga sampai di ujung, kami menemui loket kedua. Ternyata terdapat dua loket, satu di atas dan satu di bawah. Desain kedalaman kolamnya juga disesuaikan dengan ketinggian letak kolamnya.

Terjawab sudah tangga misteri yang menghantui pikiran kami. Lalu aku kembali teringat si gajah. “Ayo ke kolam yang ada pancuran dari belalai gajah tiga kepalanya,” ajakku penuh semangat.

“Gas!” jawab Aji dan Iqbal penuh semangat.

  • Umbul Banyu Roso: Berenang di Pelukan Ibu
  • Umbul Banyu Roso: Berenang di Pelukan Ibu
  • Umbul Banyu Roso: Berenang di Pelukan Ibu
  • Umbul Banyu Roso: Berenang di Pelukan Ibu

Sensasi Berenang Air Hangat di Umbul Banyu Roso

Begitu dingin, angin yang menemani kami melewati perjalanan pertengahan Gunung Merbabu–Merapi Jumat sore (25/7/25) itu, lalu ke sisi barat Gunung Merapi. Perjalanan kami dari Boyolali ke Umbul Banyu Roso, Magelang, terbayar dengan lunas.

Ketika aku merendamkan diri ke dalam kolam yang ada gajah tiga kepala dengan pancurannya, sensasi ala sauna di Jepang mulai terasa. Tubuh bergidik bekas dingin perjalananku sudah tak ada. Di seberangku ada Aji dan Iqbal yang tengah ciprat-cipratan air saking senangnya. Melihat kelakuan mereka yang seperti Tom dan Jerry itu membuatku tertawa.

Aku pun mulai memejamkan mata. Di situlah pelukan ibuku mulai terasa. Lima belas menit berlalu, aku mulai membuka mata, Aji dan Iqbal sudah tidak ada. Ternyata mereka duduk di belakangku, di pinggir kolam sambil bercerita. Melihatnya, aku pun ikut mentas dan berdiri sambil mengabadikan momen di belakangnya.

“Ayo, nyoba ke pancuran gajah, Nang!” ucap Aji seketika.

“Iya, ayo, Mas!” tambah Iqbal mengajakku.

Kami yang berada di hulu pun bergegas ke hilir kolam untuk mencobanya. Ternyata, semakin dekat dengan air pancuran gajah, airnya akan semakin panas. Setelah sampai, karena ramai, perlu antre untuk menikmati pancuran itu.

Ketika giliran kami tiba, inilah saatnya menjawab keingintahuan kami. Alirannya deras, jika diarahkan ke kepala atau punggung rasanya seperti dipijat-pijat yang menghilangkan rasa penat. Jika tak sengaja ataupun sengaja terkena lidah rasanya asin. Dan jikalau saja kami tidak mencobanya, mungkin kami akan kecewa.

Umbul Banyu Roso: Berenang di Pelukan Ibu
Aji dan Iqbal tengah merasakan air hangat yang mengucur dari belalai patung gajah di kolam kedua/Danang Nugroho

Awal Mula Umbul Banyu Roso dan Manfaatnya

Mulanya, pemandian Umbul Banyu Roso dirintis oleh Burhan sejak tahun 2021. Berawal dari pengeboran sumur dengan rekannya, Sambung, mereka menemukan sumber mata air itu. Airnya hangat dan tidak mengandung belerang.

Kemudian, selepas itu, mereka membeli tanahnya dan dikelola sebagai tempat pemandian. Nama Umbul Banyu Roso ada makna tersiratnya. Umbul berasal dari kata mumbul dalam bahasa Jawa. Sementara banyu berarti air dan roso itu berarti rasa, karena memang airnya terasa asin.

Salah satu konsep ikonisnya juga memiliki makna, yaitu adanya patung gajah. Burhan beranggapan bahwa gajah merupakan binatang yang cerdas, identik dengan sesuatu yang kuat, kokoh, dan menjadi ikon seperti patung Ganesa.1

Berdasarkan penelitian Syarifah dkk,2 mata air yang muncul itu dapat dimanfaatkan sebagai pemandian dan terapi karena suhu permukaan air sesuai dengan kebutuhan tubuh. Hal tersebut didukung dengan kandungan kimia air panas bumi yang sesuai, serta adanya kandungan unsur bikarbonat (HCO3) dan sodium (Na) dengan konsentrasi cukup tinggi.

Lebih jelasnya, kandungan bikarbonat dan sodium pada air tersebut bermanfaat untuk kesehatan dan kecantikan kulit, sehingga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit. Salah satu penyakit yang dapat disembuhkan adalah skabies (kudis) dengan beberapa ketentuan untuk terapi agar hasilnya maksimal.

Selain itu, keberadaan kation dan anion air panas bumi unsur sulfat (SO4) juga sesuai untuk dimanfaatkan sebagai terapi infeksi dan radang kulit. Mineral lain yang terkandung dan bermanfaat untuk penyakit kulit, yaitu unsur magnesium (Mg) dan potassium (K).

Keberadaan setiap unsur-unsur tersebut saling melengkapi, sehingga manfaat yang dapat dirasakan oleh orang-orang yang datang mencobanya akan terasa maksimal. 

Umbul Banyu Roso: Berenang di Pelukan Ibu
Sego godog (kiri) dan es jeruk yang siap untuk disantap/Danang Nugroho

Sego Godog sebagai Pelukan Ibu Kedua

Hari akan berganti, malam berlalu sedikit lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, cukup sudah empat jam kami merendamkan diri. Kami pun mentas dan bergegas membilas diri. Tak lupa mampir makan untuk memenuhi kebutuhan diri sebelum malam dijemput pagi.

“Salah satu makanan khas Magelang itu sego godog,” kata Aji.

Kami pun langsung pergi mencari. Setelah sampai, pesan rasa ekstra pedas, dan dihidangkan, kami pun langsung menyantap. Ternyata, rasanya memang mantap.

Sego godog berarti nasi rebus. Isinya ada nasi, mi kuning, timun, sawi, dan ayam kampung. Tak luput kuah juga, yang memiliki cita rasa gurih dan unik.

Karena pesannya ekstra pedas, badan kami pun ikut memanas. Setelah itu kami pulang untuk menjemput udara dingin Gunung Merapi–Merbabu menuju Boyolali. Uniknya, ingatan rasa hangat Umbul Banyu Roso tidak hilang karena kehangatan dari sego godog senantiasa menemani kami pulang.

Pelukan ibu masih terasa. Hangat, begitu hangat. Seperti naluri cinta ibu kepada anaknya yang tak akan lekang oleh masa.


  1. Titik Renggani, “Berkunjung ke Wisata Pemandian Air Panas Umbul Banyu Roso Magelang”, RRI.co.id, November 6, 2024, https://rri.co.id/wisata/1100499/berkunjung-ke-wisata-pemandian-air-panas-umbul-banyu-roso-magelang pada 29 Juli 2025. ↩︎
  2. Laelatus Syarifah, Agus Bambang Irawan, dan Dian Hudawan Santoso, “Pemanfaatan Air Panas Bumi Untuk Terapi Penyakit Kulit di Desa Sumberarum, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah”, Prosiding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Kebumian SATU BUMI, Vol. 3, No. 1, DOI: https://doi.org/10.31315/psb.v3i1.6239. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Danang Nugroho

Danang Nugroho, lahir 2004 di Boyolali. Kini sedang menempuh pendidikan di Jogja. Suka berkelana serta menikmatinya. Dapat dihubungi via instagram @danang.kulo_real atau email [email protected].

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo