Mendung perlahan menipis dilahap terik matahari yang mulai menebal. Bangunan Indis sisa peninggalan pemerintah Hindia-Belanda, Bank Indonesia, berdiri kokoh di belakang Hans, pemandu perjalanan dan kami berdiri persis di hadapannya. Kami berkumpul menikmati suasana titik nol kilometer Jogja yang tak pernah lekang dipadati pengunjung.
Ini kali pertama saya ikut tur jalan kaki “Jaba Beteng, Sejarah Singkat Kotamu”. bersama Jogja Good Guide (JGG). Perusahaan travel—sesuai templat media sosial mereka—yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Kalau saja tidak diajak teman saya, Fajar, mungkin saya tidak akan mengenal perusahaan travel berbasis komunitas ini. Komunitas yang terlihat amat tekun mengenalkan apa yang ada di balik layar utama kota Yogyakarta—gedung-gedung warisan kolonial—kepada wisatawan yang berkunjung ke kota ini.
Bagi sebagian atau bahkan kebanyakan turis, baik yang lokal maupun mancanegara, berkunjung ke kota yang terkenal akan keunikannya adalah pelabuhan untuk bersenang ria. Bukankah berlibur adalah waktu untuk tenang, waktu melupakan sejenak beban-beban pekerjaan yang setiap hari mencekikmu?
Bangunan tua memang terkesan unik dan indah. Ia menebarkan aroma harum. Aroma yang membuat turis mendekat lalu menjepretnya dengan kamera. Bangunan-bangunan tua itu menjadi latar yang paling diminati. Namun, jika hanya dijadikan latar foto, bukankah bangunan-bangunan baru hasil kreasi arsitektur modern telah jauh melampaui keterpukauan kita terhadap bangunan peninggalan sejarah, dan kita menganggapnya barang yang tidak penting lagi?
Akan tetapi, menganggapnya sebagai narasi yang tidak lagi penting adalah keterbatasan—mungkin juga kemalasan—saya dan kita semua. Maka dari itu, saya rasa, Hans dan tentu komunitas yang ia kelola, ingin berbagi cerita atau informasi itu. Ia ingin wisatawan yang berkunjung ke Yogya sedikit lebihnya merasa memahami kota ini. Seperti yang dia bilang, ia tidak ingin orang yang berkunjung ke Yogya hanya sekadar menikmati suasana keramaian, angin yang berembus, berbagai kudapan, tempat-tempat wisata, dan pertunjukan budaya. Kalau hanya itu, apalah artinya berkunjung ke Yogya? Bukankah semua itu bisa dinikmati di kota mana pun?
“Paling tidak, setelah berkunjung ke Yogya ada pengalaman yang bisa diceritakan.” Kiranya begitulah kata Hans pada kami.
Kantor Pos, Titik Nol, Bank BNI, dan Gereja Londo
Setelah berkumpul dan mendengarkan estimasi waktu perjalanan serta jalur yang akan kami lalui, Hans memandu kami bergegas. Ia mengajak kami ke arah barat. Titik awal pemberhentian di depan Kopi Pakpos. Hanya sekitar lima puluh meter dari titik kumpul sebelumnya. Sebuah kafe yang terletak di gedung Kantor Pos Besar Yogyakarta.
Hans mulai bercerita tentang sejarah kantor yang sekian lama menjadi alat yang sangat krusial bagi persuratan atau komunikasi jarak jauh itu. Dari masa kejayaannya, hingga perubahan cara mengirim surat menjadi menyediakan banyak pelayanan layaknya aplikasi pembayaran tagihan listrik, PDAM, sampai jasa antar paket. Peradaban yang canggih dan pernah menjadi media hubung yang sangat penting itu, belum lagi dengan infrastrukturnya yang tentu saja menghabiskan banyak biaya, kini telah kalah canggih oleh satu mesin zaman: gawai.
Hans memandu kami beralih ke titik nol kilometer. Titik nol Yogyakarta ini memang agak berbeda dari kota-kota lainnya. Biasanya, di kota lain—terutama kota besar—titik nol sering terdapat kolam air mancur. Menurut Hans, dulu kolam semacam itu juga ada. Namun, karena satu dua hal untuk efektivitas lalu lalang kendaraan di kota yang sibuk, bukankah air mancur di tengah jalan raya itu merepotkan?
Menengok ke arah titik nol, tempat yang sering dikerumuni mahasiswa untuk menuntut keadilan pada penguasa yang culas itu, Hans mendongakkan kepalanya. Bangunan Indis dengan plang Bank BNI bercokol kokoh di sana. Hans pun bercerita terkait dengan sejarah singkat bank yang didirikan oleh Sumitro, bapaknya Prabowo Subianto. Dan tentu ceritanya hanya sebatas itu, sebelum kami menutupnya dengan berfoto.
Setelah itu, kami lekas berjalan ke arah timur, melewati trotoar yang selalu saja ramai oleh turis. Titik keringat di muka Han menandakan pagi yang gerah. Namun, langkahnya menjadikan kami tidak pernah letih. Ia begitu bersemangat.
Di depan Taman Pintar kami menyeberangi jalan dan berhenti di trotoar seberang. Tepat di hadapanku berdiri Gereja Santo Fransiskus Xaverius. Hans mulai bercerita tentang Taman Pintar. Pembangunan awalnya dimulai pada tahun 2004. Visinya adalah menjadi sarana belajar dan edukasi kepada para siswa untuk mengenal sains. Sesudahnya, beralih ke kisah gereja tertua di Yogyakarta yang dibangun pada masa kolonial Belanda kisaran tahun 1800-an. Namun, sebelum itu, Pater YB Palinckx selaku pendiri gereja telah lebih dulu membentuk pastoran di Yogyakarta.
Gereja tersebut memiliki dua nama, yakni Gereja Kidul Loji dan Gereja Londo. Disebut “Gereja Kidul Loji” karena letaknya berada di sisi selatan kawasan bekas permukiman Belanda: Loji. Kemudian “Gereja Londo” sering diucapkan warga sekitar yang melihat pada awal gereja terbangun, umat Kristen dari Belanda lebih dominan.
Kelenteng Fuk Ling Miau dan Ndalem Yudhonegaran
Dari situ, kami berjalan ke arah timur, melintasi perempatan Gondomanan dan memasuki Kelenteng Fuk Ling Miau. Gerbang bangunan berwarna merah itu memiliki simbol dua naga yang berhadap-hadapan di atas atapnya. Seperti sebelumnya, Hans langsung bercerita soal kelenteng ini.
Menurut Hans, kelenteng ini awalnya memang diperuntukkan bagi pedagang Tionghoa yang aktif berdagang di Pasar Beringharjo. Usut punya usut, kata Hans, dulu orang-orang Tionghoa sangat berpengaruh terhadap perputaran ekonomi pasar. Maka, kelenteng ini merupakan penghargaan penguasa setempat kepada orang Tionghoa untuk berserah kepada “tuhan” kepercayaan mereka. Hanya saja, lagi-lagi tanah tempat berdirinya bangunan merah merona ini tetap milik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Hans pun memanggil bapak-bapak yang keluar dari kelenteng tak lama setelah kami sampai di sana. Dia segera meminta izin untuk masuk dan kami pun diperbolehkan masuk dengan satu syarat: tidak boleh mengambil foto di dalam kelenteng!
Saya memandangnya dengan penuh tanda tanya sekaligus tetap berprasangka. Yang sakral, yang suci adalah rahasia, dan tentu memamerkannya mungkin bukanlah pilihan yang tepat. Mungkin tidak boleh difoto karena ada nuansa kesakralan yang tidak boleh dipublikasikan ke khalayak.
Namun, hal ini agak sedikit anomali. Pasalnya, foto suasana di dalam kelenteng sangat gamblang tertera di peta manusia modern, yakni Google Maps. Lalu apa artinya pelarangan itu? Saya hanya ingin mengabadikan momen, bapak yang terhormat! Ah, sudahlah, tidak perlu berdebat. Yang harus saya pegang hanya satu, saya hanyalah tamu. Selayaknya tamu saya hanya bisa menerima tanpa harus membantahnya.
Setelah panjang lebar Hans menceritakan berbagai pernak-pernik peribadatan di dalam kelenteng, kami melanjutkan perjalanan menuju persinggahan singkat kami, yaitu di Jadah Tempe Mbak Carik. Salah satu makanan kesukaan Sultan Jogja ke-XI, kata Hans pada kami. Di tempat ini kami tak berlama-lama. Hans memandu kami untuk beralih ke lokasi lain.
Tak jauh dari situ, kami sampai di Ndalem Yudhonegaran. Hans masuk gapura dengan cat yang telah termakan usia. Kami ikut bersamanya. Di dalamnya ada sebuah pendopo yang dipenuhi “Ferrari” jenis lama. Tentu bukan sungguhan, melainkan ini “Ferrari” kerajaan: sebuah delman.
Setelah saya melihat delman yang berjejer itu, saya mencari-cari di sekitarnya; ke mana Darsam, tokoh yang sangat menyeramkan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer itu? Apakah dia sedang tidur? Apakah Nyai Ontosoroh juga sedang terlelap di dalam? Ke mana Annelis?
Soal Darsam, entah kenapa sosok ini membuat saya selalu punya ketakutan tersendiri kepada orang Madura. Seseram itukah?
“Delman Darsam,” seloroh saya kepada Fajar, rekan dalam tur yang disambutnya dengan senyum.
Di sebelah timur pendopo ada kandang kuda. Dua kuda besar yang mungkin senilai ratusan juta (atau bahkan miliaran)? Entahlah saya tidak tahu harga pasaran makhluk kesukaan kerajaan itu. Hewan yang menjamur menghidupi banyak orang Jogja. Menukar jasanya kepada para turis yang ingin merasa sensasi naik delman Darsam, eh bukan, delman saja. Tanpa Darsam, tetapi dikemudikan oleh “Darsam” yang lain.
Sebuah Penutup di Alun-alun Utara
Seusai di Ndalem Yudhonegaran, Hans memandu kami ke arah barat. Awalnya saya kira akan berbelok ke kiri melewati lorong Plengkung Wijilan lalu jalan kaki menuju Alun-alun Kidul. Sebaliknya, Hans memandu kami lurus ke arah Alun-alun Utara. Tepat di sebelah jalan alun-alun yang telah berpagar besi dengan lapangan rumput hijau yang tertutup pasir layaknya gurun Sahara itu, Hans menghentikan langkah kami.
Ia mengatakan, salah satu latar belakang dari pemagaran ini adalah kesucian atau kesakralan tempat itu. Kesucian; apa artinya kesucian?
Hans bukan saja menghentikan langkah kami. Hans menghentikan sesi tur pagi itu setelah dua jam berjalan kaki. Hans mungkin cukup kelelahan, tetapi rasanya kaki kami jauh lebih lelah. Mungkin juga suaranya mulai habis, disedot penjelasan kantor pos hingga alun-alun utara yang gersang.
Ia menyodorkan kode QR—seperti keterangan sebelumnya, perjalanan ini tidak gratis. Kami sepakat soal itu, memberikan imbalan seikhlasnya pada jasanya telah menemani perjalanan dan memberikan banyak cerita. Namun, menyebutnya imbalan saya rasa kurang tepat. Lalu apa yang paling tepat? Entahlah. Apa pun, berapa pun, perjalanan singkat dengan cerita yang panjang ini sangat berkesan, Hans. Saya teringat lagi kata Hans di awal, “Paling tidak, setelah berkunjung ke Yogya ada pengalaman yang bisa diceritakan.”
Akan tetapi, Hans, apakah setiap orang harus tahu cerita di balik bangunan tua itu? Sedangkan teknologi hanya mengajarkan cara nampang di depan gedung bersejarah, di pantai biru, di pemandangan perbukitan, dan di tempat-tempat lainnya hanya untuk mengambil gambar. Apalah artinya cerita yang kau maksud, Hans? Apakah gaung pariwisata pemerintah daerah untuk kemajuan ekonomi perlu hal semacam itu? Apakah pencerita mampu menampung semua yang berkunjung ke kota ini?
Kami pun berpamitan dan pergi. Di satu sisi yang sangat subjektif, saya senang. Namun, di sisi lain, berbagai pertanyaan itu terus menghantui saya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Biasa dipanggil Janika. Tinggal di Yogyakarta. Hobi jalan-jalan kegunung. Suka menulis demi kepuasan hidup.