Segumpal kapas dipilin menjadi sehelai benang lalu ditumpuk satu sama lain hingga menjadi selembar kain. Tiga sampai empat bulan bukan waktu yang pendek untuk menyelesaikan selembar tenunan bermotif. Ketekunan, ketelatenan, kesabaran, daya imajinasi, dan konsistensi adalah lembaran-lembaran benang penyusun kain tenun. Beruntung saya berkesempatan melihat transformasi segumpal kapas hingga menjadi selembar kain, yang merupakan salah satu dari tenun Nusantara di Nusa Tenggara Barat.
Daratan Sumatera terkenal dengan ulos, di Jawa khususnya Jepara ada kain troso, di Timor ada tais, hingga Papua dengan rajutan noken-nya. Budaya memanfaatkan serat tumbuhan menjadi seni kriya dari pakaian hingga perlengkapan penunjang kebutuhan. Hasil buah tangan yang terampil dengan motif yang sederhana, hingga yang rumit dengan penuh makna. Ada yang hanya polos rupanya, ada juga yang penuh dengan warna-warni alam. Inilah warisan budaya nenek moyang berupa lembaran-lembaran kain, yang di tiap jengkal Nusantara memiliki pencirinya masing-masing.
Pagi ini saya diajak mengunjungi Desa Sade di Pulau Lombok. Desa yang masih mempertahankan adat nenek moyang ini menjadi salah satu tujuan pelancong yang menyambangi Pulau Lombok. Rumah-rumah beratap jerami masih tetap kokoh berdiri di balik perkembangan modernisasi. Prilaku menjaga kebersihan rumah kadang susah dipahami karena mereka mengepel lantai dengan kotoran sapi. Lebih aneh lagi manakala seorang lelaki meminang pujaan hati yakni dengan cara menculik gadis pujaannya di malam hari. Suku Sasak di Lombok dengan segala budaya dan keramahannya menyambut mereka yang terheran-heran seperti terkena gegar budaya, termasuk saya.
Tambatan mata saya tertuju pada seorang nenek yang sedang memintal kapas-kapas menjadi berhelai-helai benang. Kapas dipilin lalu ditarik ujungnya dengan cara ditautkan dan dibelitkan pada roda yang berputar. Pilinan diatur agar memiliki ukuran besar yang sama hingga menjadi gulungan-gulungan benang. Usai dipintal benang-benang ini lalu diberi warna. Pewarna alami yang biasa dipakai antara lain ketepeng, jambu biji, jati, tom (indigofera), kepel, pacar air, alpukat, urang aring, manggis, kedelai, kara benguk, sabut kelapa, getah gambir, bunga sari kuning, biji alpukat, Bixa orelana, kacang merah, makutodewo dan lain sebagainya. Usai diwarnai, akan dilakukan penghanian pada benang, yakni mengikatkan benang-benang pada alat tenun, seperti yang saya lihat saat berkunjung di Desa Kertasari, Taliwang, di Pulau Sumbawa.
Yang menarik dari pembuatan selembar kain tradisional adalah proses menenun. Sebelum menenun, akan ditentukan motifnya terlebih dahulu. Di sinilah harga sebuah kain tenun akan ditentukan. Semakin rumit, sulit, dan bagus makna dari motof kain maka akan semakin mahal harganya—selain kualitas kain dan tingkat kerapian pembuatan.
Di Jepara ada sentra industri kain tenun troso. Motif tenun troso sebelumnya sudah ditentukan lalu dicetak pada cetakan dan dengan alat tenun akan secara otomatis tercetak dengan sendirinya. Lain lagi kisah saat saya mengunjungi Pulau Timor, NTT. Dalam membuat motif, mama-mama penenun kain tais (kain timor) membuat motif sepenuhnya mengandalkan imajinasi dan hitungan. Inilah kekhasan masing-masing motif kain tenun Nusantara.
Di Kertasari, Pulau Sumbawa, membuat kain tenun saat ini hanya dilakukan oleh ibu-ibu saja. Generasi muda sepertinya sudah enggan menenun. Di bawah rumah panggung yakni hunian khas orang Selayar dari Makassar, kaum ibu sedang sibuk menyelesaikan selembar kain sarung. Mereka ada yang memintal, melungsing, dan menenun demi menghasilkan selembar kain bermotif khas orang pesisir. Di Desa Sade, yang menenun tidak lagi kaum ibu—gadis-gadis juga ikut terlibat. Di Sade kain tenun tak lagi menjadi pemenuh kebutuhan sandang, tetapi menjadi komoditi wisata. Kain tenun berupa selendang, slayer, jarik, diperindah dengan motof-motif yang menarik bahkan ada yang bertulisankan “Lombok, Desa Sade” sebagai penciri asal kain tenunnya.
Helaian-helaian benang warna-warni kini sudah membelit leher para pelancong untuk dijadikan buah tangan. Ada teman saya yang kini mengoleksi kain-kain tenun Nusantara—hebatnya dia selalu menitip pada saya. Dalam benak saya hanya bisa bersenandika, suatu saat kain tenun itu akan berkali-kali lipat harganya dan menjadi sebuah investasi nilai seni. Nusantara, pulau-pulaumu bak helaian warna-warni benang yang ditenun menjadi selembar kain utuh yang bernama Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh Dhave Dhanang dan sebelumnya dipublikasikan di sini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
[…] umur tiga tahun, Ibu Sadariah sudah menekuni seni tradisi kain tenun Kertasari. Bisa dibilang beliau penenun […]