Teman Rinjani

Tentu senang bertemu sesama wong Cheribon (Cirebon) di Rinjani Guest House, Lombok. Penginapan para pendaki. Jaraknya sepuluh meter saja di sebelah Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Resor Sembalun.

Sabtu (1/6/2024) menjelang sore para pendaki mulai berdatangan. Sebuah ruangan besar di lantai dua penginapan jadi tempat kumpul. Kami akan bermalam di situ. Tempatnya bersih. Beralaskan karpet. Ada bantal-bantal. Bebas ngapling di mana.

Saya pilih dekat colokan listrik tunggal biar pengawasan lebih mudah. Kamar mandi ada dua. Air mengalir lancar dan serasa es—bikin menggigil. Namun, levelnya masih di bawah dinginnya Ranu Pani. Atau Cemoro Kandang, Lawu..

Bahkan waktu saya ke Rinjani via Senaru 27–29 April 2024, desa di kaki Gunung Rinjani ini tidak dingin. Tentu banyak faktor memengaruhi, baik ketinggian desa maupun memang belum masuk musim dingin. 

Saat dulu mendaki via Senaru, saya reservasi tiket mandiri (perorangan). Lain ketika lewat Sembalun kali ini, saya memanfaatkan jasa open trip (OT). Sebuah layanan pendakian bersama yang ditangani pihak swasta. Alasan utama memakai OT adalah soal tiket daring Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi (SIMAKSI) TNGR. Waktu kapan pun yang saya pilih, pihak OT bisa menyediakan tiket digitalnya. Tidak perlu berebut kuota di hari, tanggal, bulan tertentu. Sebab, memang waktu saya terbatas sekali.

Saya dapat tiket untuk tanggal pendakian 1–4 Juni 2024. Lega. Tambah lagi, dipastikan ada teman mendaki. Tidak kayak lewat Senaru sebelumnya yang benar-benar solo climbing! Carrier di punggung, daypack di dada, dan tangan kanan jinjing tenda.

Teman Rinjani
Kepadatan di depan kantor Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Resor Sembalun/Mochamad Rona Anggie

Bertemu Teman Baru dari Cirebon

OT Rinjani mempertemukan saya dengan banyak pendaki dari daerah lain, seperti Ambon, Makassar, Jakarta, dan Tangerang. Senang bukan main. Lebih bungah lagi, pas di satu momen, saya kenalan pendaki dari Cirebon. Rumahnya di Taman Cipto. Tidak jauh dari kediaman saya di Perumnas Rajawali.

Namanya Teguh Umbara. Waktu itu dia mau keluar ruangan. Cari makan malam. Saat saya ajak ngobrol, ternyata tahun kelahiran sama: 1985. Namun, dia lulus SMA lebih dulu tahun 2002, sedangkan saya setahun kemudian.

Dia alumnus SMAN 2 Cirebon. Anaknya empat, perempuan semua. Masih ikhtiar pengen punya anak cowok. Saya lulusan SMAN 3 Cirebon. Anak lima, tiga cowok dan dua cewek. Anak pertama-kedua kembar. Ketika saya tunjukkan video pendakian bareng tiga jagoan anak lanang, berjibaku di trek pasir berbatu jelang puncak Slamet via Permadi, Teguh terpana.

“Nanti kalau punya anak lelaki, bakal saya ‘siksa’ seperti itu,” ucapnya serius. Maksudnya, dia punya keinginan kuat akan melatihnya demikian, kalau punya seorang putra.

Saya sendiri, sebagai pendaki yang telah naik gunung sejak tahun 2001, punya cita-cita menularkan hobi ini ke generasi penerus. Maka ketika punya tiga anak laki-laki, saya mantap mengenalkan kegiatan alam terbuka (kemah dan mendaki) kepada mereka sejak dini. Anak kembar saya, Rean Carstensz Langie dan Evan Hrazeel Langie, perdana mendaki gunung saat kelas 6 SD (12 tahun). Adiknya, Muhammad, sampai puncak Ciremai kelas 1 SD (7 tahun). Saya berperan sebagai pelatih, pemandu, sekaligus porter.

Teguh sendiri mengaku kenal naik gunung belum lama. “Habis Covid aja,” katanya. 

Teman Rinjani
Teguh di Danau Segara Anak Gunung Rinjani/Teguh Umbara

Bertukar Cerita

Tadinya Teguh hobi naik sepeda. Senang rute menanjak, tetapi beberapa teman kurang suka. Akhirnya berpisah jalan. “Kebetulan saya juga sempat kena obesitas,” Teguh menyebut alasan lain tertarik mendaki. Ia mengidentifikasi diri sebagai “PSK” alias Pria Satus Kilo (pria seratus kilogram).

Dia lalu mencoba pendakian perdana pergi-pulang tanpa bermalam (tektok) di Gunung Ciremai via Linggarjati tahun 2022. Eh, langsung cocok. Sejak itu keranjingan. Hampir tiap pekan tektok Ciremai. Kemudian merambah gunung lainnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

“Tinggal Semeru belum,” ujarnya lirih. Menunjukkan penantian yang entah kapan terwujud. Memendam penasaran pada Ranu Kumbolo, merasakan Tanjakan Cinta, menapaki medan kerucut berpasir yang lebih halus dari trek “Letter E” Rinjani, lalu berdiri gagah di Mahameru (3.676 mdpl).

Saya beruntung sudah merasakannya 22 tahun lalu. Saat masih kelas 2 SMA. “Saya ke Semeru 2002,” cerocos saya memanas-manasi Teguh.

Saya mengenang momen ketika dataran puncak bergetar disertai suara gemuruh. Tiba-tiba kawah Jonggring Saloka meletupkan material vulkanik ke udara. Asapnya menggumpal, mengundang para pendaki mengabadikan momen khas tersebut. 

Letupan itu muncul tiap 15 menit sekali. Batas toleransi kita diperbolehkan ada di area puncak maksimal pukul 09.00 WIB. Selebihnya, arah angin berubah, berpotensi membawa material pasir berbatu yang panas dari perut bumi dan gas berbahaya ke arah pendaki.

Belakangan saya baru tahu ternyata Teguh belum menjajal Gunung Ciremai via jalur Sadarehe. Rute ke atap Jawa Barat yang pernah saya daki bersama anak lanang pada 6 November 2022 ini baru diresmikan pada 25 Agustus 2022 di Rajagaluh, Majalengka.

Tampaknya bensin pendakian Teguh segera menyambar kobaran api di dada dan betis. Dua pekan sepulang dari Rinjani, ia langsung bergegas ke Sadarehe. Mengirim kabar gembira berupa sunrise di puncak Ciremai via grup Rinjani 1–4 Juni 2024

Saya turut meramaikan. Saya mengirim foto merubung tiang papan penunjuk puncak Ciremai Sadarehe bersama tiga jagoan saya. Pendaki Tangerang, Uda Johny, berkomentar dengan gambar stiker, Gaaass pooll, jangan kasih kendor!

  • Teman Rinjani
  • Teman Rinjani

Pertemuan Lanjutan

Dua bulan sepulang dari Lombok, saya coba mengunjungi Teguh di kompleks perumahan elit Taman Cipto. Sengaja saya tidak janjian lagi. Dadakan, karena dua kali berencana sebelumnya justru meleset.

“Masa di Lombok ketemu, di Cirebon enggak,.” batin saya.

Alhamdulillah, dia ada di rumah. Kami akhirnya bertemu kembali. Waktu itu belum lama momen Agustusan.

Saya pun memulai obrolan, “Sudah, Mas, ke Kerincinya?”

Ia menjawab pelan, “Sudah. Saya juga baru dari Latimojong. Tujuh belasan di sana.”   

Sontak saya kaget. Gila!

“Bareng Tiga D?”

“Yang Kerinci, iya. Yang Latimojong, udah daftar [malah] batal. Kuota pendaki enggak terpenuhi. Akhirnya pakai OT lain.”

Segera saya wawancara Teguh. Ingin dengar cerita serunya di Kerinci dan Latimojong. Suguhan kopi Toraja menambah hangat suasana. “Dari Makassar masih jauh (ke kaki Latimojong). Pulangnya lewat Toraja, lebih dekat ke Makassar,” paparnya.

Hanya saja pas di Kerinci, Teguh belum jodoh bisa melihat kawahnya. “Full kabut sejak mulai masuk Tugu Yudha.” 

Dia coba bersabar. Menunggu cuaca cerah. Namun, sampai satu setengah jam di titik tertinggi Pulau Sumatra, angin malah tambah kencang dan udara makin menggigit.

“Akhirnya turun,” ujarnya kecewa. “Eh, pas turun, dekat batas vegetasi, cuaca cerah sekali,” sesalnya. 

Pertengahan September lalu, Teguh juga berhasil menggapai atap Sumatra Selatan: Gunung Dempo (3.178 mdpl). Daftar tunggu tiap gunung yang akan ia daki, sejauh ini berjalan sesuai rencana.

Dari kiri ke kanan: foto-foto Teguh saat di tiga puncak gunung dalam waktu berdekatan, yaitu Kerinci Latimojong, dan Dempo/Dokumentasi Teguh Umbara

Sisi Positif Open Trip

Tak bisa dimungkiri, layanan OT memudahkan pendaki zaman sekarang. Yang penting fisik prima dan duit melimpah, bisa langsung ikut pilihan perjalanan OT. Tentunya memilih operator OT yang punya rekam jejak baik, memiliki pemandu berpengalaman dan bersertifikasi. Bukan OT yang cari untung semata, lantas mengabaikan keselamatan dan tanggung jawab pada klien.

Naik sama siapa, sudah tidak bingung lagi. Layanan OT mempertemukan pendaki dari mana saja. Lintas generasi. Seperti yang saya jajal saat ikut OT Rinjani, saya ketemu Teguh dan rombongan Tangerang: Pak Orick, Uda Johny, Mas Yoke, dan lain-lain.

Saya lebih senang menyebut peserta OT sebagai pendaki gunung trendi masa kini. Tanpa maksud merendahkan sama sekali. Bagaimanapun mereka sudah menjalani olahraga mendaki gunung; berkeringat, berlelah-lelah, kedinginan, hingga mencapai puncak idaman.

Mendaki gunung bukan lagi “milik” anggota organisasi pencinta alam. Teguh buktinya. Mulai mendaki 2022, dengan modal kantung tebal dan waktu luang sebagai bos perusahaan, koleksi gunungnya lebih lengkap dari saya yang mendaki 21 tahun lebih dulu.

Terima kasih, Rinjani. Kami tinggalkan jejak kaki di puncakmu. Menorehkan cerita persahabatan yang tak lekang oleh waktu. Membentangkan kenangan sampai anak cucu. Salam lestari! 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar