Perjalanan saya kali ini berada di Kota Semarang. Tepatnya kampung lawas Gedangan di Jalan Ronggowarsito, yang membelah dua kecamatan: Semarang Timur dan Semarang Utara. Gedangan menjadi tujuan berikutnya setelah puas berkutat di Kota Lama.

Suatu kebetulan, perjalanan saya lakukan saat hari kerja, sehingga lalu lintas kendaraan tidak terlalu ramai. Bisa dibayangkan jika akhir pekan, jalan protokol kota dan kampung sekitar akan macet. Membuat saya kurang puas menikmati momen.

Kemacetan terjadi bukan karena hilir mudik warga, melainkan mobilitas wisatawan dengan armada bus besar yang memenuhi badan jalan. Masyarakat kota lebih memilih tinggal di rumah. Sekalinya mereka pergi pun akan menuju luar kota.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Tampak depan Gereja Katolik Santo Yusuf Semarang/Ibnu Rustamadji

Setibanya di Kampung Gedangan, saya lekas menuju sisi timur Jalan Pengapon. Di antara bangunan-bangunan indis yang menghiasi sepanjang jalan, tujuan utama saya ada di depan mata dan saling berhadapan. Keduanya adalah Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran Ordo Santo Fransiskus (OSF) atau St. Fransiskus.

Gereja Katolik Pertama di Kota Semarang

Cuaca panas Kota Semarang tak menjadi penghalang bagi saya untuk berkunjung ke gereja tersebut. Setelah mendapat izin dari ibu paruh baya, yang ternyata koster gereja, lensa kamera tak henti bekerja.

Ingin menyaksikan keindahan secara dekat. Itulah alasan utama saya berkunjung. Saat perlahan melangkahkan kaki memasuki gereja, mata dibuat terbelalak dengan keindahan ornamen yang ada. 

“Wah. Depan saja indah. Ternyata bagian dalam lebih indah dan menawan,” begitu kira-kira kalimat pertama yang saya ucapkan.

Di tengah asyik mengamati detail ornamen, muncul ingatan untuk mencari tahu masa lalu gereja dan susteran di kampung lawas Gedangan itu. Saya pun menghubungi seorang rekan, Albertus Kriswandono, untuk mendapat jawaban atas rasa penasaran saya.

Menurut dia, Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan dibangun atas dasar keprihatinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, atas kondisi umat Katolik di Hindia Belanda yang harus beribadah secara sembunyi-sembunyi. Mereka melakukan hal tersebut lantaran takut terhadap cengkeraman kuasa Vereeniging Oost-Indie Compagnie (VOC), sebagai akibat kebencian VOC terhadap agama Katolik pascaperang antara Belanda-Spanyol. Banyak imam Katolik dipenjara, sehingga misa tidak bisa dilakukan terang-terangan.

Sekian lama tenggelam dalam perdebatan, Daendels yang dikenal kejam mengizinkan umat Katolik di Hindia Belanda kembali beribadah. Pada 8 April 1808, Gereja Katolik Vatikan lantas mengutus dua pastor misionaris, yakni Jacobus Nielsen dan Lambertus Prinsen ke Batavia. Dua hari kemudian, mereka merayakan misa umum di Batavia yang dihadiri ratusan umat Katolik.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Pintu masuk menuju ruang utama gereja/Ibnu Rustamadji

Misa perdana tanggal 10 April 1808 itu lantas dikenang sebagai hari kelahiran misionari Katolik di Hindia Belanda. Delapan bulan berselang, tepatnya 27 Desember 1808, Pastor Lambertus Prinsen tiba di Kota Semarang. Hanya saja,  umat Katolik di Semarang belum memiliki gereja sendiri. Misa pertama digelar dengan cara menumpang di Gereja Protestan “Blenduk” pada 18 Januari 1809.

Lazim terjadi jika satu gereja digunakan untuk ibadah dua agama secara bergantian, karena keterbatasan kemampuan umat. Mereka beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing tanpa adanya segregasi di gereja yang sama, tetapi dengan waktu yang berbeda. Kedua umat saling menghormati menghadapi kondisi tersebut.

Meski begitu, Pastor Prinsen memahami jika umatnya tidak bisa menumpang di gereja Protestan lebih lama. Pada 1825, ia kemudian berinisiatif membeli sebuah gedung berlantai dua—kini dikenal Semarang Contemporary Art Gallery di utara paradeplein atau Taman Srigunting saat ini—seharga 6.000 gulden. Setelah itu, misa pertama di gereja Katolik pertama di Semarang akhirnya digelar.

Ketika Gubernur Jenderal C.F. Paud berkunjung ke Kota Semarang tahun 1859, ia melihat tempat ibadah umat Katolik dalam kondisi memprihatinkan. Setelah terjadi perdebatan di kerajaan, akhirnya pemerintah menyetujui hibah dana sebesar 50.000 gulden. Hanya saja, dana baru turun sekitar 10 tahun kemudian.

Awal perencanaan gereja dibangun di Heerenstraat atau Jalan Letjend Soeprapto di dalam Kota Lama. Namun, karena lahan dirasa kurang luas, akhirnya rencana pembangunan dipindah ke areal kebun gedang (pisang) di sisi timur kota. Warga lalu biasa menyebut kedua bangunan itu Gereja Katolik Santo Yusuf Gedangan dan Susteran St. Fransiskus Gedangan.

Beragam Tantangan sepanjang Pembangunan Gereja

Proyek pembangunan berjalan perlahan lantaran adanya permasalahan penggunaan lahan dan dana untuk membiayai pembangunan gereja. Setelah masalah teratasi, akhirnya upacara peletakan batu pertama pembangunan gereja dilakukan oleh Pastor Lijnen pada 1 Oktober 1870.

Akan tetapi, masalah berikutnya muncul. Hasil perhitungan dana hibah tidak mencukupi pembangunan. Pastor Sander kemudian menggalang dana dengan menjual tanah dan bangunan gereja yang lama. Setelah mendapat sumbangan dana dari seorang dermawan, proyek pembangunan gereja pun dilanjutkan. W. van Bakel dipercaya sebagai perancang gereja. Ia lantas mendesain gereja bergaya Neo-Gothic.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Sudut kiri altar/Ibnu Rustamadji

Pada 12 Mei 1873, saat pembangunan tengah berlangsung, tiba-tiba bagian atap gereja roboh tanpa diketahui penyebabnya. Alhasil, pihak berwenang memutuskan perubahan total rancangan gereja. Bagian depan yang sedianya berhias lonceng dan struktur gedung gereja yang monumental, harus dipangkas karena khawatir bahaya bencana alam,

Setelah melalui beragam tantangan, gereja Katolik ini akhirnya selesai. Tanggal 12 Desember 1875, gelaran upacara pentasbihan gereja Katolik Kota Semarang digelar. Gereja Katolik Gedangan Kota Semarang menjadi gereja Katolik terindah di Hindia Belanda saat itu, jauh sebelum Gereja Katedral Batavia (Jakarta) dibangun.

Warna merah pada bangunan gereja sejatinya bersumber dari ekspos batu bata merah yang didatangkan langsung dari Eropa dengan kapal dagang. Bagian pintu dan jendela tetap bergaya Neo-Gothic seperti rancangan awal. 

Gereja ini semakin menawan dengan adanya patung Pastor Lijnen, sang peletak batu pertama pembangunan gereja, berdiri di sudut barat daya. Orgel kuno buatan 1903 masih bertengger apik di balkon—di atas pintu masuk utama— menghadap altar. Sisi kanan dan kiri terdapat panil lukisan kisah Perjanjian Baru dan penggalan doa dalam bahasa Belanda.

Pilar bundar di bagian tengah gereja dan deretan kaca patri bergambar santo semakin memberikan kesan mewah. Altar pada bagian depan yang bergaya gotik diimpor langsung dari Düsseldorf, Jerman. Namun, kondisinya masih terawat dan terjaga meski kini tidak lagi digunakan.

Menelusuri Gereja Katolik Santo Yusuf dan Susteran St. Fransiskus di Kampung Lawas Gedangan Semarang (1)
Gedung pastoran Gereja Katolik Santo Yusuf Semarang/Ibnu Rustamadji

Puas mengabadikan keindahan di bagian dalam gereja, tidak lupa saya mampir sejenak di pastoran yang berada tepat di samping gereja. Salah satu uskup Pastoran Gedangan yang cukup terkenal dari kalangan pribumi adalah Monsinyur Mgr. Soegijapranata, S.J. Sebuah kehormatan bagi saya dapat menyaksikan jejak Romo Soegija di Kota Semarang.

Matahari mulai bergeser ke ufuk barat. Saya bergegas menyambangi gedung susteran yang terletak persis di seberang Gereja Katolik Gedangan. Menurut catatan yang Kriswandhono miliki, gedung susteran tersebut berusia lebih tua. Paling tua di Gedangan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar