Tempat ini seperti sebuah entitas yang memisahkan pendaki dari realitas dunianya. Ia terpampang di muka bumi begitu nyata seolah ingin bercerita, tetapi begitu misterius.
Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman
Saya dan Hafiz Jaidi alias Pak Yik, porter kami, berjarak hanya sejengkal di belakang Lukas dan Evelyne. Keduanya sudah tiba duluan beberapa menit sebelumnya di “pintu masuk” kawasan Alun-alun Besar (2.320 mdpl). Satu dari sekian banyak perbatasan kawasan hutan dan sabana nan luas di Dataran Tinggi Hyang.
Kami sudah jalan kaki tiga jam dari Pos Mata Air 2 (2.177 mdpl), tempat camp di malam pertama. Ini adalah hari kedua pendakian Gunung Argopuro. Sejak berangkat dari pos perizinan Baderan, Sumbermalang, Situbondo, kami telah menempuh 17 kilometer. Empat kilometer di antaranya terpangkas dengan jasa ojek hingga batas makadam di tengah kebun kopi dan tembakau. Sisanya, kami meniti jalur setapak dalam 18.000 langkah.
Tak lama kemudian suara deru motor terdengar mendekat. Dari balik batang pohon cemara gunung, saya melihat dua motor bebek modifikasi melaju beriringan. Asap knalpot mengepul ke udara. Sempat agak terseok di jalan setapak terbuka di antara semak-semak kering, keduanya berhenti tepat di depan kami.
“Bawa apa itu?” tanya Pak Yik. Ia menunjuk sekantung kresek plastik penuh tanaman hijau yang masih basah di depan jok motor bebek itu.
“Selada air. Buat dijual di bawah,” jawab si bapak yang memboncengkan seorang perempuan entah siapa. Mungkin istrinya. Sekantung lagi dibawa seorang pria di motor satunya.
Kami menyapa tiga warga lokal itu di pos Mata Air 2. Saat itu mereka melintas di jalur tatkala kami baru saja selesai mendirikan tenda dan hendak menyiapkan makan malam.
Berarti semalam mereka menginap di Cikasur. Saya tidak melihat peralatan memadai untuk berkemah. Mungkin mereka memanfaatkan bangunan pondok tua rusak beratap seng yang teronggok di dekat tempat camp. Yang jelas, warga lokal itu sudah biasa wara-wiri ke kawasan suaka margasatwa ini.
Perbincangan di antara kami terjadi amat singkat. Itu pun hanya Pak Yik yang “memimpin” obrolan. Tidak ada pembahasan lebih jauh. Mereka tampak terburu-buru, terlihat dari mesin motor yang tidak dimatikan dan genggaman tangan kanan siaga menarik handle gas.
Saya malas basa-basi. Saya hanya membalas senyum seperlunya. Bukan bermaksud tidak respek, batin saya berkecamuk. Sulit untuk menerima dengan akal sehat, jika aturan larangan membawa masuk kendaraan bermotor saja dilanggar. Efek buruk dari kehadiran motor di kawasan hutan adalah jalur yang rusak karena tergerus ban. Menimbulkan cekungan dalam bak parit yang menyulitkan langkah.
Pesan pertama dari Cikasur
Titik kemah utama Cikasur berhasil kami capai setelah berjalan empat kilometer dari Alun-alun Besar. Kira-kira 1,5 jam perjalanan. Sebelum tiba di Cikasur, kami harus menyeberangi Sungai Qolbu. Sungai kecil sekaligus mata air yang di atasnya tumbuh subur tanaman selada air. Seberes bangun tenda, kami berencana akan mengambil stok air dengan dua jeriken lima liter dan botol-botol kosong.
“Kita camp di tengah itu aja,” ajak Pak Yik. Ia menunjuk sebuah rerimbunan pohon berselubung semak-semak perdu di kejauhan. Sangat mencolok di antara hamparan rumput Cikasur seluas lebih dari 70 hektare itu.
Lokasi camp tidak luas-luas amat. Bentuknya melingkar. Di tengahnya terdapat pohon besar sejenis trembesi yang tumbuh tunggal. Bak gurita terbalik dengan tentakel-tentakel menjulur ke langit, menjadikan naungan lindap bagi siapa pun di bawahnya. Kami adalah rombongan pertama yang datang dan mendirikan tenda di sini. Menjelang sore, sekitar tiga kelompok pendaki lain datang dan ikut bertetangga dengan dua tenda kami.
Kami serasa “menyembah” sang trembesi sebagai kiblat keteduhan. Betapa tidak, setiap embusan udara segar yang dihirup tak lepas berkat jasa para stomata pada daun-daun majemuk di tiap dahannya.
Sementara saya, Evelyne, dan Lukas menyiapkan bahan memasak untuk makan malam, saya tersadar Pak Yik sempat tidak terlihat untuk beberapa saat. Sesudah berganti pakaian kaus lengan panjang dengan bawahan sarung. ia tampak pergi ke suatu tempat membawa sebilah parang. Lalu rupanya kurang dari setengah jam kemudian, tahu-tahu entah dari mana, ia memanggul batang-batang pohon kering yang sudah tumbang dan mati. “Buat api unggun nanti malam,” katanya.
Menu pertama yang kami buat adalah merebus air. Dahaga yang memerangkap tabung esofagus kami harus segera ditebus dengan teh atau kopi hangat. Pak Yik pun menitipkan secangkir bubuk kopi nangka miliknya, sejenis varietas liberika yang tumbuh di Bermi, desa sisi barat Dataran Tinggi Hyang.
Baru juga menyeduh minuman, tiba-tiba kembali terdengar raungan mesin memekakkan telinga. Suaranya begitu familiar. Tarikan gasnya digeber-geber macam orang kampanye ormas atau parpol di jalanan. Dari kejauhan, muncul di balik lembah Sungai Qolbu, tampaklah tersangka pelaku penyebab suara berisik itu. Dua sosok pria yang menunggangi motor trail-nya masing-masing. Menerbangkan asap knalpot dan debu membumbung di udara.
Melihat itu, saya mengaduk kopi sambil bersungut-sungut. Makin dalam saja parit di jalur tanah bekas lintasan motor-motor perusak itu. Siapa lagi sih orang-orang ini? Ada apa dengan jalan pikiran orang-orang seperti ini?
Tapi, ya, saya tidak bisa apa-apa. Pun Pak Yik, yang meski terlihat raut sebal, ia hanya bisa berbincang sekadarnya tanpa mampu menegur keras. Malas dan buang-buang energi jika harus beradu urat dengan orang-orang seperti itu. Bahkan saya ogah-ogahan menyiapkan dua gelas kopi panas usai diminta Pak Yik.
“Dari mana sampean?” tanya Pak Yik.
“Aku wong Lumajang, tapi koncoku iki asli Baderan,” jawab salah satu di antaranya, seorang pria separuh baya berkacamata hitam. Terselip keluhannya tentang jalur yang jauh dan melelahkan. Tangannya berkacak pinggang, serasa bos besar. Pakaiannya khas “seragam” orang-orang komunitas trail. Atasan jersey lengan panjang, bawahan celana panjang, lengkap dengan sepasang sepatu bot.
Mereka hanya mampir sebentar. Melihat-lihat sekeliling, sesekali memotret dengan kamera ponsel. Tak sampai 15 menit, sesaat usai menyeruput seteguk terakhir kopinya, keduanya pamit. Kembali ke Baderan. Putar balik ke arah yang sama dengan warga lokal “petani” selada air tadi. Kami berempat di camp tersebut, beserta pendaki-pendaki lainnya, hanya saling pandang dan geleng-geleng melihat kelakuan orang-orang aneh seharian ini.
Sudut bola mata saya menerawang jauh ke pucuk-pucuk cemara gunung yang mengepung Cikasur. Saya mencoba merenung sejenak. Mengambil pesan di balik pertemuan-pertemuan lucu tadi.
Inilah mungkin pitutur pertama dari Cikasur untuk kami. Lihat saja, jelas sekali jejak bergerigi dari motor-motor yang merangsek masuk ke sabana. Bahkan dimulai sejak batas kawasan konservasi selepas pos Mata Air 1. Belum lagi tetesan bensin atau oli yang mungkin tumpah dan mengendap di permukaan tanah. Peninggalan-peninggalan kotor dan merusak yang membuat Cikasur—saya yakin sejatinya—menderita. Padahal tempat ini begitu autentik dan memiliki sejarah besar pada masanya. Selain lapangan terbang peninggalan Hindia Belanda,
Dalam riset Gisbian Perdana dan Rakha Rizal Amin, pendiri akun Instagram @bermiheritage serta duet penulis Argopuro Understory Vol. 1: Kota (2023), tercatat sejak A. J. M. dan B. Ledeboer (Ledeboer bersaudara) mendapatkan hak konsesi dari pemerintah Hindia Belanda atas tanah di Dataran Tinggi Hyang pada 1916 hingga awal 1940-an, Cikasur atau Sikasur menjadi sentral bagi pengembangan pusat rekreasi alam serta perlindungan margasatwa terbesar pada masanya. Ia membangun lapangan terbang dengan landasan sepanjang hampir satu kilometer, membuka peternakan domba, hingga menjalankan program konservasi penangkaran ribuan rusa.
Pemburu satwa predator andal tersebut juga mendirikan wisma untuk tempat menginap para tamu yang datang. Letaknya berada di tempat berdirinya pondok lusuh beratap seng yang ada di dekat camp saat ini. Masih terlihat bekas pondasinya yang diselimuti belukar. Meski nyaris tak bersisa, yang kemungkinan luluh lantak karena serbuan colonial Jepang, saya bisa membayangkan keindahan suasana “hotel alam” berlatar Gunung Jambangan itu pada masanya.
Gebrakan administrator perkebunan kopi di Bermi pada waktu itu merupakan secercah harapan yang menghidupkan Dataran Tinggi Hyang. Setelah sebelumnya rencana pembangunan kota koloni “Wilhelmina” ala Eropa kurang didukung pemerintah pusat Hindia Belanda. Anggaran yang terlalu jumbo disinyalir jadi alasan terbesar.
Dalam keadaan yang memprihatinkan, Cikasur masih bisa “menceritakan” dirinya. Cerita yang terancam punah jika orang-orang aneh itu tadi buta panca indra saat berkunjung ke tempat ini. Maka, dari banyak daftar makna perjalanan yang bisa diambil hari ini, saya memutuskan mengambil satu pelajaran berharga: jika tidak mau disebut dungu, jangan naik motor ke Cikasur!
Firasat dari kabut
Keesokan paginya, saya menyambut hari baru dengan jiwa yang cukup gempita. Bukan tanpa alasan. Semalam langit Cikasur penuh sorak-sorai bintang. Jutaan gemintang menyemut. Membujur dari utara ke selatan membentuk gugusan panjang yang biasa disebut milky way. Waktu itu sedang fase bulan baru di puncak musim kemarau. Kami bisa melihatnya selepas pukul sembilan malam.
Ditambah saya merasakan tidur yang nyenyak semalam. Balutan kantung tidur (sleeping bag), jaket, kaus kaki, sarung tangan, dan buff bekerja dengan sempurna menghangatkan tubuh. Pak Yik, meski mengaku cukup merasa kedinginan, juga tidak kalah nikmat lelapnya. Menurut pengakuan dari tenda sebelah yang diisi Lukas dan Evelyne, kami berdua sama-sama mengeruh, mengeluarkan bunyi-bunyian khas tanpa disadari.
Usai beribadah Subuh, saya coba berjalan sedikit menjauhi area camp. Beberapa meter di sisi selatan, saya sepertinya menemukan validasi mengapa Ledeboer dan keluarganya betah di tempat ini.
Cikasur bukan tempat yang sempurna buat melihat matahari terbit. Ia terhalang padatnya rimba dan perbukitan. Akan tetapi, garis-garis jingga keunguan terlihat terang menggores ruang kosong di langit. Pancarannya seakan ditopang halimun tipis, yang tampaknya sesuai kebiasaannya, kerap melayang rendah di atas pucuk-pucuk embun rerumputan. Situasi yang nyaris serupa terjadi kala sore hari, dengan catatan cuaca cerah.
Kabut-kabut transparan itu tampak misterius. Ia seolah memaksa saya mengingat perjumpaan kemarin dengan para pengendara motor. Ada sinyal-sinyal tak bertuan yang dikirimkan amigdala ke pusat jantung. Mendadak dada saya berdesir. Apakah kami akan menemui lagi kejadian-kejadian aneh pada hari ketiga kami di Argopuro?
Semestinya tidak. Semoga jangan sampai kejadian.
Firasat-firasat tak enak yang sempat membayang di ubun-ubun saya tepis. Walau harus saya akui, sisi overthinking saya hilang-timbul, memberi pesan kalau hari ini akan ada sesuatu yang berbeda. Entah apa itu.
Kami hanya ingin bersenang-senang di Cikasur. Kami cuma ingin merayakan “kemalasan” di tempat seajaib ini. Sampai akhirnya sesuatu terjadi, dengan cara yang tak saya sangka-sangka!
Ada apa lagi, Cikasur?
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.