Nusantarasa

Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari

Sebenarnya teh gumilir bukanlah teh Kulon Progo pertama yang sempat saya cicipi. Beberapa tahun sebelumnya, saya lebih dulu berjumpa dengan dua brand teh lainnya. Teh pertama saya dapatkan saat mengikuti familiarization trip (fam trip) di DeLoano Glamping, Purworejo. Sayangnya saya lupa nama mereknya. Sedang satu lainnya saya temui saat ada pameran produk UMKM yang dihelat di Dinas Koperasi dan UMKM Yogyakarta. Namanya Samigiri Artisan Tea milik Ibu Surati. Meski berbeda merek, keduanya merupakan jenis teh premium dari Kulon Progo.

Kenapa saya menduga keduanya masuk kelas teh premium? Karena salah satu ciri termudah mengidentifikasi teh premium dapat dilihat dari daun teh yang mengembang sempurna saat diseduh. Selain itu, tehnya juga tidak menyisakan potongan batang. Aroma wanginya menyeruak di hidung. Pendek kata isinya murni daun teh saja.

Kalaupun ada jenis teh premium yang dicampur dengan aneka bunga atau buah kering, keduanya akan dipilih dan diproses dengan cara yang baik. Jadi, ketika diseduh dengan air hangat tanpa gula saja rasanya sudah enak. Tidak terlalu sepet seperti teh wangi atau teh tubruk pada umumnya.

Akan tetapi, sebelum berdebat lebih jauh, tentu kita harus menyadari kalau berbicara tentang teh itu berbicara pula perihal selera. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki preferensi rasa dan kesenangan masing-masing. Dalam hal ini tentu tidak ada yang benar dan salah. Tidak ada pula yang lebih baik atau sebaliknya. Namun, pada perut yang sudah tidak kuat dengan kombinasi asam pahitnya teh tubruk yang “leginastel” alias legi (manis), panas, dan kentel (kental) seperti perut saya, teh premium menjadi opsi yang lebih baik saat kangen ngeteh di pagi atau malam hari. 

Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari
Contoh tanaman teh di perkebunan Nglinggo, Kulon Progo/Retno Septyorini

Mengenal Teh Gumilir Purwosari

Perkenalan saya dengan teh dari Kulon Progo ini bisa dikatakan karena ketidaksengajaan. Ceritanya Oktober tahun lalu saya dapat slot untuk mengikuti salah satu acara Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY), yaitu Searah Rasa.

Dalam acara yang diampu oleh Komunitas Dje Djak Rasa tersebut, saya dapat sesi ke-5 dengan tema “Kilas Balik Kuliner Era Pangeran Diponegoro”. Acara yang dihelat di Desa Wisata Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo tersebut menjadikan teh gumilir sebagai welcome drink. Sesi ngeteh pagi itu disajikan bersama satu olahan singkong khas Kulon Progo bernama geblek goreng. 

Saat itu fokus acara bukan bercerita tentang teh, melainkan membahas tentang Nok Santri. Sebuah menu khas Purwosari yang konon menjadi menu perbekalan pasukan Pangeran Diponegoro saat terdesak di kawasan Bukit Menoreh. Nok Santri sendiri merupakan set menu berisi nasi dengan lauk seadanya yang ditemukan di Purwosari, seperti tumis pepaya muda, urap sayur, tempe dan peyek gereh petek. Kalau banyak yang penasaran, kapan-kapan saya ceritakan lebih lanjut tentang menu yang kini menjadi daya tarik unggulan dari paket wisata di Desa Wisata Purwosari ini. 

Saat memasak Nok Santri inilah peserta acara Searah Rasa juga dikenalkan pada dua komoditas khas Kulon Progo yang lain, yakni kopi dan teh gumilir. Kami pun dipersilahkan untuk mencoba proses pengeringan teh dan kopi. Caranya dengan memanggangnya secara manual sampai tekstur keduanya menjadi agak kering. Di akhir sesi, teh dan kopi yang kami panggang ternyata sengaja dibagikan untuk para peserta. Senang rasanya membawa buah tangan yang sebagian proses produksinya sempat kami rasakan bersama-sama.

  • Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari
  • Teh Gumilir dari Desa Wisata Purwosari

Siang itu, peserta tur juga diberi tips terkait cara menyeduh teh hijau yang benar. Kata pemandu yang mendampingi, “Untuk memaksimalkan manfaat antioksidan yang ada pada teh, seduh teh dengan air bersuhu sekitar 80 derajat. Bukan dengan air mendidih. Dengan cara demikian, selain tidak merusak manfaatnya, seduhan tehnya pun tetap enak dan tidak over pahit.”

Perkara seberapa lama proses menyeduhnya, itu balik lagi ke selera masing-masing. Kalau saya pribadi cukup dua sampai tiga menit saja.

Karena saya tidak punya termometer khusus, tetapi tetap menginginkan hasil seduhan teh yang enak, saya mengakalinya dengan mendiamkan sebentar didihan air rebusan yang akan saya gunakan untuk menyeduh teh. Selain untuk diseruput selagi hangat-hangatnya, saya kerap memanfaatkan teh untuk dibuat kombucha, sebutan untuk teh yang telah mengalami proses fermentasi oleh scoby (symbiotic culture of bacteria and yeast). Senang rasanya mendapati teh premium yang dipanen langsung dari kebunnya. 

Di akhir acara, saya baru ngeh kalau di sebelah pendopo yang kami kunjungi juga menyediakan berbagai opsi buah tangan khas Purwosari. Ada geblek siap goreng, wedang sari salak, aneka kletikan, legen (tidak selalu tersedia), serta kopi dan teh gumilir.

Kabar baiknya, teh gumilir khas Purwosari ini sudah dikemas dengan sangat baik. Jadi, wangun (pantas) banget kalau dijadikan opsi oleh-oleh usai mengeksplorasi salah satu desa wisata unggulan Kulon Progo tersebut. Harganya terbilang ramah di kantung pula. Belakangan produk lokal memang sudah sebagus itu.

Cara Memesan dan Menikmati Teh Gumilir

Bagi yang penasaran dengan cita rasa teh gumilir, bisa langsung memesannya via Instagram @gumilirtea. Di akun tersebut tersemat tautan yang dapat digunakan untuk memesan teh enak ini.

Karena ingin mengulang momen menikmati welcome drink seperti di awal acara Searah Rasa, akhirnya saya memutuskan untuk membawa serta dua pak teh gumilir. Lengkap dengan geblek siap goreng yang sudah dikemas dengan sangat baik oleh warga setempat. Saat itu teh kemasan 100 gram dibanderol dengan harga Rp20.000 saja, sedangkan geblek Rp10.000/pak. 

Oh, ya. Bagi para penikmat teh di mana pun teman-teman sedang berlabuh, jangan lupa minum tehnya ketika snacking time saja. Misalnya, dinikmati bersama dengan geblek goreng seperti yang disuguhkan pengurus Desa Wisata Purwosari. Bukan saat atau sehabis makan besar. Sebab kandungan tanin dan polifenol pada teh dapat mengikat protein dan zat besi yang terkandung dalam makanan. Sayang kalau niatnya makan sehat, eh malah kandungan gizinya jadi kurang terserap.

Jadi, gimana? Ada yang tertarik mencicipi wisata teh di Kulon Progo? Atau sekalian saja berkunjung ke Desa Wisata Purwosari supaya bisa sekalian menikmati Nok Santri?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Retno Septyorini

Penulis dari Bantul. Hobi jalan dan kulineran.

Penulis dari Bantul. Hobi jalan dan kulineran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mencicipi Legitnya Bingke Pontianak Permata di Yogyakarta