Menjadi satu-satunya primadona warisan irigasi kolonial yang paling gigantik di Malang, Syphon Metro dibumbui dengan bermacam narasi dan kampanye pariwisata. Segala yang melekat padanya disadurkan pada kisah mistis soal penunggu pipa raksasa. Ia menjadi objek terasing yang eksistensinya diredupkan bayangan hal-hal gaib.
Narasi selain itu adalah kampanye komersial yang menggaungkan kebaikan penjajah atas terbangunnya sistem irigasi modern dengan pipa masif berukuran 1.800 mm, panjang 189,75 meter kali dua, dengan manuver air 8.000 m3/detik, mengairi sawah dan perkebunan seluas 3.029 hektare. Begitulah detail jasmani yang termaktub dalam konten resmi Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air, dengan kalimat-kalimat ajakan yang tidak relevan ,seperti “menakjubkan”, “wah, excited banget”, dan “peninggalan Belanda yang luar biasa”.
Hendrik Christiaan Paulus de Vos dalam kajiannya “Bevloeiing, welvaart en cultuur”, De Waterstaats Ingenieur (1926) membumikan betapa heroik pemerintah Belanda dalam misi pembangunan sistem irigasi modern Hindia Belanda. Pernah menjabat sebagai rektor dalam dua periode di Technische Hoogeschool te Bandoeng (Sekarang Institut Teknologi Bandung), Hendrik Christiaan Paulus de Vos mengaitkan usaha ini dengan optimisme penakluk Mesopotamia, Raja Babel, Hammurabi yang mengatakan:
“I have turned desert expanses into well-irrigated fields. I have made them fertile and plentiful and converted them into regions of happiness.” (hal. 190).
[Terjemahan bebas penulis] “Telah kuubah lenggang padang gurun menjadi wilayah yang teririgasi dengan baik. Akulah yang telah membuat tanah gersang itu menjadi subur dan gemah ripah, aku juga yang mengubah semua itu menjadi wilayah kebahagiaan.”
Tidak hanya di Indonesia, di seluruh belahan dunia, dalam sejarahnya kemajuan sistem irigasi berarti kemajuan peradaban itu sendiri. Bahkan beberapa penakluk namanya justru diabadikan sebagai bentuk pengabdian mereka pada pekerjaan irigasi. Padahal praktik-praktik pengairan pampat akan despotisme oriental, imperialisme produktif, rezim produktif kolonial, green imperialism, dan birokrasi patrimonial.
Istilah despotisme oriental atau oriental despotism dalam konteks sistem irigasi kolonial diusung oleh Karl A. Wittfogel dalam gagasan besarnya yang bernama hydraulic hypothesis. Istilah ini kemudian ramai di kalangan kritikus sekitar tahun 1957, setelah bukunya Oriental Despotism diterbitkan. Karl A. Wittfogel memaparkan kenyataan pahit dalam praktik kolonial yang menggadang kemajuan daerah terjajah dengan cara membangun sistem irigasi dan pemerintahan. Beberapa dari gagasan besarnya adalah: (1) sistem irigasi, bagaimanapun bentuknya, tidak bakal bisa terlaksana tanpa adanya praktik pemerintahan terpusat, bahkan kediktatoran; (2) dari poin pertama maka bisa termanifestasikan monopoli kekuasaan dan sistem pemerintahan kolonial yang absolut; (3) meledaknya kerja paksa di daerah koloni.
Pertanyaan-pertanyaan yang Tidak Terjawab
Dalam kunjungan ke Syphon Metro, saya melihat dengan jelas monumen persegi empat berukuran sedang yang dibubuhi informasi terbatas. Misalnya, informasi itu hanya berkutat seputar ukuran pipa raksasa dan tahun pemugaran. Jujur saja, tanpa harus mengunjungi lokasi tersebut, informasi ini sudah bertebaran di mana-mana.
Sebagai objek historis, informasi ini tidak mengantarkan pembaca atau pengunjungnya pada perenungan sama sekali. Pada siapa saya menemukan jawaban; berapakah budak yang telah mati karena pipa ini dibangun? Berapakah korban jiwa yang termakan? Siapa saja dan dari kalangan mana sajakah yang menjadi korban, memelopori, atau menjadi mandor pembangunan ini? Berapa gulden yang dihasilkan setelah pipa ini dibangun dan berapa kenaikan keuntungan perkebunan serta pertanian yang dimonopoli pemerintah Belanda setelah pipa ini dibangun?
Tidak ada detail informasi-informasi semacam itu. Paling jauh pembahasan detail arsitektur pipa dan peta konsep pembangunan Syphon Metro dalam riset Joko Saryono dkk (2019).
Maka tidak heran bila karya-karya para imperialis, dengan bangga menyatakan bahwa pribumi harus berterima kasih pada pemerintah kolonial yang sudah memberikan fasilitas dan memelopori komponen-komponen peradaban maju. Syphon Metro sendiri dikabarkan telah memberikan peluang kesuksesan perkebunan dan pertanian daerah, serta menangani musibah banjir. Narasi ini seakan-akan memberi kesan, bahwa usaha ini secara tulus dilimpahkan untuk kepentingan pribumi semata. Di pihak lain, pemerintah kolonial-lah yang membuka lahan dan meraup keuntungan dari sana, sedangkan pribumi menjadi budak perkebunan.
David Gilmartin melawan arus tersebut melalui bukunya Blood and Water: Nature, Productivity and Colonialism in the Indus Basin yang terbit pada 2003. Tidak hanya menyoal Indus, David Gilmartin juga mengkritisi kondisi Hindia Belanda, menyebut kondisi ini sebagai colonial productive regime dalam praktik imperialisme proto-modern. Maurits W. Ertsen juga melakukan penyangkalan yang sama atas narasi politik pemerintah kolonial dalam risetnya tahun 2006, Colonial Irrigation: Myths of Emptiness.
Mitos kekosongan atau myths of emptiness merujuk pada produksi gagasan fantasi yang mengubah keadaan seakan-akan suatu kebijakan dibuat untuk kepentingan pribumi. Misalnya, pemerintah kolonial menggarap mitos kekosongan lahan, seolah-olah lahan tersebut tidak subur dan tidak berfaedah sehingga pribumi membutuhkan bantuan pemerintah kolonial untuk mengatur lahan-lahan itu. Rohan D’Souza (2015) juga menyuarakan hal yang sama dalam risetnya.
Sisi Lain yang Harus Direnungkan
Dari seabrek gagasan perlawanan tersebut, tidak heran bahwa narasi yang telanjur tersebar adalah narasi nuwun si nuwun, tentang bagaimana pemerintah kolonial telah menyelamatkan pribumi dari terjangan banjir dan mengembangkan agrikultur pribumi. Padahal ekses banjir berdampak pada perkebunan dan lahan-lahan pemerintah kolonial sehingga terjadi kerugian besar. Ini termasuk dalam kajian green imperialism, kampanye hijau imperialisme dan tanpa disadari hal semacam inilah yang disebut dengan rezim produktif kolonial.
Mengunjungi tempat ini melalui sisi barat daya, makam Cina terbentang. Sunyi senyapnya melatari suasana Syphon Metro. Gelondongan kayu jati bertumpuk dan dua truk tengah terparkir untuk mengambil kayu-kayu tersebut. Beberapa penebang kayu berseliweran tanpa suara. Mereka terlihat lelah, tetapi keadaan itu tidak mengurangi sopan santun mereka sama sekali. Tak hentinya mereka bilang “permisi” untuk menciptakan kenyamanan bagi pengunjung. Ada satu petugas yang menyaring sampah di bibir pipa raksasa dengan cangkul garpu. Semua bekerja menggunakan tenaga dan ketangkasan.
Dikelilingi pohon-pohon serta kericau pipit dan wiwik, kesunyian di tempat ini membawa kedamaian yang tak terkira. Namun, saya merasakan getaran aneh saat menuruni tangga, bahkan barang dua puluh anak tangga saja. Hal yang pertama muncul di kepala saya bukan arwah penunggu, bukan potret para penjajah yang diagung-agungkan, bukan pula reaksi tegang diapit dua pipa sublim; melainkan isi kepala saya dijejali fakta terselubung tentang korban pembangunan dan pihak-pihak yang diuntungkan.
Tempat ini layak dikunjungi, untuk bahan perenungan tentunya. Tempat ini adalah bukti sekaligus saksi bungkam despotisme oriental dan kerja paksa yang menjelma dalam gagasan manipulatif imperialisme. Seperti rumah Jengki yang muncul sebagai perlawanan arsitektural rumah Belanda, tentu memungkinkan tanpa bantuan pemerintah Belanda, pribumi juga bisa membangun sistem irigasi yang lebih mutakhir dan tulen.
Sebagaimana Wim Ravesteijn berpendapat dalam risetnya (2005), bahwa dengan sudut pandang Karl A. Wittfogel tentang hydraulic hypothesis dan despotisme oriental, Belanda mengatasi kerugian perkebunan dan pertanian serta memonopoli 1,3 hingga 3,3 juta hektare tanah di Jawa. Memancang tanah pertiwi dengan bangunan irigasi, dan menutup kemungkinan berkembangnya sistem irigasi pribumi sebagai sebuah bangsa yang bisa mencipta.
Daftar Pustaka
Carey, M. (2014). Book Review: Locales of Happiness: Colonial Irrigation in the Netherlands East Indies and its Remains, 1830–1980. History of Geo and Space Sciences (Print), 5(1), 73–74. https://doi.org/10.5194/hgss-5-73-2014.
D’Souza, R. (2015). Mischievous Rivers and Evil Shoals: The English East India Company and the Colonial Resource regime. In Palgrave Macmillan UK eBooks (pp. 128–146). https://doi.org/10.1057/9781137427274_7.
de Vos, H. C. P. (1926). Bevloeiing, welvaart en cultuur. De Waterstaats Ingenieur.
Ertsen, M. W. (2006). Colonial Irrigation: Myths of Emptiness. Landscape Research, 31(2), 147–167. https://doi.org/10.1080/01426390600638588.
Harms, A. (2016). Blood and Water: The Indus River Basin in Modern History, by David Gilmartin. South Asia: Journal of South Asian Studies, 39(2), 510–511. https://doi.org/10.1080/00856401.2016.1173629.
Murdock, G. P. (1957). General and Theoretical: Oriental Despotism: A Comparative Study of Total Power. Karl A. Wittfogel. American Anthropologist, 59(3), 545–547. https://doi.org/10.1525/aa.1957.59.3.02a00190.
Ravesteijn, W. (2005). Water Control and The Colonial State: The Case of Dutch Irrigation Engineering in The Indonesian Island of Java, 1832—1942. JSTOR, Vol. 11 (2005), pp. 197-211 (15 pages). https://www.jstor.org/stable/23787028.
Sayono, J., Ayundasari, L., Sulistyo, W. D., & Ridhoi, R. (2019). Utilization of Syphon Metro Kepanjen as outdoor learning site for history students. Proceedings of the 1st International Conference on Social Knowledge Sciences and Education (ICSKSE 2018). Atlantis Press. Vol. 320. https://doi.org/10.2991/icskse-18.2019.14.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Putriyana Asmarani adalah penulis konten kreatif di salah satu perusahaan pemasaran digital di Malang. Salah satu risetnya Identitas Politik Raja-raja Melayu mendapatkan beasiswa riset di National University of Singapore. Cerpen dan resensi bukunya pernah terbit di The Jakarta Post, Indian Periodical, Djavatimes, SuaraNet.id dan lain-lain.