Saat itu November 2019, kira-kira jam delapan malam. Selesai kuliah malam, aku ke Margo Utomo. Jalan yang dulu bernama Jalan Pangeran Mangkubumi itu masih belum terlalu padat.

Angkringan kopi joss banyak sekali di kedua sisi jalan itu. Di kiri sebelum lampu merah, aku melihat sebuah angkringan yang cukup menarik. Tempat itu ramai. Semua pegawai di lapak itu memakai baju batik, tak seperti lapak-lapak lain yang pegawainya sekadar menggunakan kaus atau seragam kerja biasa.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menyalakan lampu sein kendaraanku dan menepi. Baru saja menepi, belum menunjukkan tanda-tanda kalau aku mau beli, salah seorang pegawai angkringan kopi joss itu langsung berlari dan mengarahkanku ke tempat parkirnya.

Begitu tiba di tenda utama, aku langsung disodorkan menu. “Silakan, Mbake. Mau pesan apa?” ujar salah seorang pegawai yang kemudian saya bernama Payo.

Di sekitar lapak cukup luas namun sederhana itu, yang beratapkan terpal dan beralaskan tikar panjang, tersedia meja rendah panjang sebagai tempat menaruh minuman atau makanan. Ada pula tenda berukuran kecil dengan meja penuh gorengan dan lauk yang bisa diambil pengunjung. Itu tempat kasir. Ada bangku juga di sana. Di situlah aku duduk.

Beberapa pelanggan sedang memilih camilan di Angkringan Kopi Joss Pak Agus/Herry Fransiska Yosephine

Beberapa baliho besar bertuliskan “Angkringan Kopi Joss Pak Agus” terpampang jelas di dinding sepanjang lapak. Di sana aku tak cuma nongkrong tapi juga berkesempatan bercengkerama dengan pegawai-pegawai yang sangat ramah. Sesekali terdengar suara kereta api melintas. Selepas kereta lewat, aku bisa melihat pengunjung Malioboro lalu-lalang.

Semakin malam suasana pun semakin ramai. Tanpa sadar angkringan sudah penuh pengunjung sampai-sampai tidak ada tempat yang tersisa. Meski penuh, para pegawai tetap menawarkan dagangannya dengan sigap. Kebanyakan dari pengunjung yang kulihat adalah anak muda dan wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta; kopi joss ini memang salah satu minuman khas Jogja yang patut dicoba saat mampir ke Kota Istimewa.

Mulanya, aku mau coba kopi joss. Tapi entah kenapa yang kupesan malah teh hangat. Ketika asyik berbincang, mataku terhenti di sebuah meja kecil tempat menyajikan minuman. Kulihat sebongkah arang kecil yang masih panas dimasukkan ke dalam gelas pelanggan. “Pak, itu arangnya emang dimasukin ke gelas gitu, Pak?” tanyaku terheran.

Sebongkah arang sedang dimasukkan ke segelas kopi joss/Herry Fransiska Yosephine

Lha, iya, Mbak. Namane kopi joss, ya, kopi pake arang ini, Mbak,” jelas Pak Payo yang ternyata adalah “barista” kopi joss di angkringan milik Pak Agus itu.

Kopi joss ini sudah ada sejak dulu, dengan nama yang sama, tapi belum menjadi minuman komoditas wisata. “Dari dulu kopi pake arang namanya kopi joss, Mbak. Dulu ki dinggo jamu sakit perut. Dulu ‘kan arang itu dibuat obat diare tho, Mbak,” jelas Pak Payo.

Tidak semua pegawai memiliki keahlian menyeduh kopi joss atau kopi susu joss. Maka hanya satu atau dua orang saja—yang keahliannya sudah terbukti—yang dipercaya jadi barista sajian-sajian utama itu. Ini barangkali adalah cara setiap angkringan kopi joss untuk memelihara keunikan rasa masing-masing.

Menu utama yang menjadi andalan angkringan Pak Agus adalah kopi joss dan kopi susu joss. Selain panas, tersedia pula minuman dingin seperti kopi es. Dari cerita Pak Gepeng, pegawai yang lain, kopi es ternyata juga menggunakan arang, namun yang berukuran lebih kecil ketimbang arang untuk kopi panas.

Dari Pak Gepeng juga aku tahu bahwa angkringan Pak Agus sudah eksis sejak sekitar delapan sampai sepuluh tahun lalu. Awal dibuka, tentu usaha makanan ini harus melewati jalan bergelombang. Namun, seiring berjalannya waktu, karena berada di lokasi yang strategis, angkringan ini mampu bersaing dengan angkringan kopi joss lainnya, sampai-sampai sekarang angkringan milik Pak Agus ini tak pernah tutup alias buka terus selama 24 jam. (Bahkan, sekarang Pak Agus sudah membuka cabang di utara Pasar Beringharjo.)

Pak Payo, salah seorang “barista” Angkringan Kopi Joss Pak Agus/Herry Fransiska Yosephine

“Apa tidak capek, ya, buka 24 jam, Pak?” tanyaku pada Pak Gepeng.

Endak, Mbak,” jawabnya. “’Kan ada pergantian jam gitu. Pegawainya, ya, nggak sama, Mbak.”

Mengobrol membuatku lupa mengontrol tangan dan mulutku. Tanpa sadar aku sudah mencomot banyak makanan. Tapi, dagangan di lapak kopi joss ini memang terlalu beragam untuk disia-siakan. Di menu ada 40 jenis makanan dan 43 minuman yang cocok baik untuk penggemar kopi ataupun bagi mereka yang tidak suka kopi. Harga juga sangat murah. Makanan hanya antara Rp2 ribu sampai Rp8 ribu, sementara minuman antara Rp3 ribu sampai Rp6 ribu saja. Makanan yang dijual bukan buatan sendiri, melainkan didapat dari pemasok yang datang ke lapak.

Aku manggut-manggut mencerna informasi yang kudapat malam itu. Aku tak menyangka bahwa malam itu aku tak cuma nongkrong biasa, tapi juga menyelami salah satu cerita yang membuat Yogyakarta istimewa.

Tinggalkan Komentar