Saat orang-orang antusias mendengarkan calon pemimpin bangsa ini bersilat kata di televisi ibu kota—memperdebatkan konflik agraria, hak kepemilikan tanah, dan pembangunan desa. Saya lebih memilih untuk mendengarkan keluhan petani dari dalam “gua”. Seperti satire Iwan Fals dalam bait salah satu karyanya, “…goa yang penuh lumut kebosanan”.
Dari Boyolali, lembah di antara Gunung Merapi dan Merbabu itu saya bercerita dengan seorang petani kawakan. Kabupaten ini terkenal dengan penghasil susu segar terbesar di Jawa Tengah, hingga dijuluki Kota Susu—New Zealand Van Java—karena tingginya tingkat produksi susu perah di sini. Kendati demikian, alam raya Boyolali yang sejuk membuat aktivitas pertanian menjadi “jalan ninja” penghidupan masyarakatnya.
Kurang lebih 15 menit dari pusat kota, saya menemani seorang teman yang bekerja di sebuah NGO (non-governmental organization atau lembaga swadaya masyarakat) untuk membagikan bibit buah-buahan dan pohon secara cuma-cuma kepada warga setempat. Cuma-cuma, adalah hal yang lebih menarik bagi orang desa daripada program pembangunan desa yang diobral oleh politisi kita akhir-akhir ini.
Pak Tani yang Malang
“Saya gak mau dibayar cuma seratus ribu untuk ikut geber-geber motor sambil bawa bendera partai di jalan raya, Mas. Seratus ribu hanya habis untuk bensin, makan siang, dan rokok doang. Sisanya, kita capek. Lebih baik saya ke tegal [sawah dalam bahasa setempat],” Pak Tani menjawab lugas pertanyaan saya di sela-sela rehat pembagian bibit.
Kami berbincang soal pemilu, kampanye, dan bagaimana masyarakat di desa ini hidup begitu-begitu saja, meskipun rezim silih berganti setiap lima tahunnya. Hidup begitu-begitu saja? Apakah sebegitu tidak berdampaknya pemilu bagi masyarakat desa ini?
Kadang, politik susah untuk dijadikan harapan bagi mereka. Mereka hanyalah imbas sekaligus umpan atas keserakahan orang-orang di ibu kota. Bagi mereka, politik hambar rasanya. Ya, paling banter politik hanya akan terasa saat musim-musim kampanye.
Akan tetapi, saat mereka kesusahan mencari bibit, tak cukup uang untuk membeli pupuk, lahan pun terpaksa diganti dengan setumpuk uang demi kepentingan umum (negara). Pemerintah entah ke mana? Politik entah di mana? Paling hanya terlintas pada “baju dinas” petani yang penuh dengan keringat kecewa. Saat kemarau panjang akibat krisis iklim, menyebabkan tanaman mereka rusak, siapa yang bertanggung jawab? Saat hasil panen melimpah, lalu dibiarkan membusuk karena harga pasar turun drastis, siapa yang mengganti rugi? Siapa yang memberi jaminan?
Entahlah, masyarakat desa kadang tidak pernah terhitung dan diperhitungkan sama sekali dalam politik. Kecuali dalam kalkulasi daftar pemilih tetap (DPT) yang akan dikelabui!
Pak Tani lanjut bercerita. Kalau musim kampanye datang, tim yang katanya sukses akan datang ke desa-desa, mematok pohon-pohon mereka dengan baliho penuh senyum palsu para politisi. Beberapa dari warga desa juga dibayar untuk ikut kampanye dengan konvoi di jalanan kota. Meramaikan pesta demokrasi, katanya.
Konvoi sambil geber-geber motor kerap saya temui akhir-akhir ini. Biasanya, fenomena itu saya temukan ketika orang-orang akan pergi ke stadion untuk menonton klub bola favoritnya. Namun, kali ini tidak. Mereka tidak memakai jersey klub bola, tetapi kaus partai dan bendera yang dikibaskan ke kanan dan kiri.
Saya heran, kenapa mereka rela mengganti knalpot standar kendaraannya dan secara riang gembira menaikturunkan pedal gas di jalanan. Pesan apakah yang ingin mereka suarakan, kalau pada akhirnya suara knalpot itu hanya menutupi suara-suara orang dari pelosok desa ini? Apakah mereka pikir itu adalah tindakan heroik? Apakah mereka patriot? Apakah itu tindakan sukarela sebagai relawan? Toh, saya pikir juga tidak. Mereka cuma dibayar seratus ribu sebagaimana yang diungkap oleh Pak Tani tadi.
Pak Tani mengaku senang karena mendapatkan bibit secara gratis untuk ia tanam di lahannya. Agar mendapatkan bibit secara gratis, Pak Tani harus melewati proses seleksi, memenuhi beberapa syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh pihak NGO. Sebelum pembagian bibit, teman saya yang bekerja di NGO itu harus melakukan sosialisasi dan survei lahan. Lahan, adalah hal yang menentukan berapa banyak petani akan mendapatkan bibit gratis. Semakin luas lahan, semakin banyak bibit yang akan diperoleh.
Anomali Lahan dan Kepemilikan Tanah
Namun, sialnya lahan yang luas hanya dimiliki oleh warga yang bekerja di kantor desa. Sedangkan warga biasa (tidak bekerja di kantor desa) hanya mendapatkan sepertiga atau seperempat dari yang mereka dapatkan. Saya sedikit berpikir, apakah ini memang karena lahan yang warga biasa punya hanya segini, atau proses seleksi yang manipulatif. Setidaknya itulah yang saya lihat saat proses pembagian bibit.
Entah kenapa, pikiran saya langsung terbang liar. Barangkali, inilah yang membuat program pembangunan desa macet. Dana desa yang disalurkan kadang terhambat oleh proses-proses birokrasi yang manipulatif atau ulah pejabat-pejabat desa yang culas. Membayangkan kondisi ini, maka jangan heran apabila pejabat kita di ibu kota lebih besar culasnya, lebih banyak korupsinya.
Berbicara tentang lahan, saya teringat dengan rintihan suara Mbok Ito. Seorang janda tempat saya menyewa sepetak kamar untuk berteduh di perantauan. Mbok Ito adalah ibu kos yang ramah dan baik hati. Ia menyewakan kamar kos dengan harga rendah. Setidaknya, harganya di bawah rata-rata indekos dekat kampus saya. Kampus Islam swasta yang terletak di daerah perbatasan Bantul—Jogja. Daerah pedesaan yang terpaksa modern.
Dulunya, daerah ini adalah wilayah perdesaan. Sawah-sawah membentang di setiap pinggir jalan. Masyarakatnya hidup dari hasil tani. Kampus saya, dulunya berada di kawasan perkotaan. Seiring berjalannya waktu, kampus mempunyai kebutuhan untuk memperluas area dan menambah gedung. Lembaga pendidikan tinggi itu akan menampung lebih banyak lagi mahasiswa. Akhirnya, daerah kampus ini sekarang berdiri menjadi solusinya.
Cita-cita untuk relokasi kampus adalah cita-cita yang mulia bukan? Sebab, kampus adalah “pabrik” untuk mencetak para intelektual yang nantinya akan mengabdi pada masyarakat. Akan tetapi, sayang seribu sayang, cita-cita mencerdaskan anak bangsa itu tidak berbanding lurus dengan mencerdaskan masyarakat desa di sekitar kampus. Salah satu warga terdampak sekitar kampus itu adalah Mbok Ito.
Mbok Ito memang tidak tahu baca tulis, yang ia tahu adalah bagaimana hari esok dia bisa tetap makan. Itulah yang membuat Mbok Ito akhirnya mendirikan kos empat kamar di atas sawah warisan bapaknya. Lalu apa cerita Mbok Ito yang membuat suaranya merintih tragis? Adalah adiknya yang juga punya usaha kos-kosan, di atas tanah warisan juga, lalu menjual tanah dan bangunan kos itu pada orang lain karena sedang butuh uang. Orang lain yang datang entah dari mana; biasanya dalam dunia akademis disebut dengan pemilik modal, investor, borjuis, dan sejenisnya.
Sepintas, memang tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh adik Mbok Ito. Toh itu adalah jual beli yang sah. Namun, Mbok Ito yang tidak mengerti baca tulis mampu berpikir kalau itu adalah pekerjaan yang sia-sia. Ia menangis, membayangkan benda apa lagi yang akan dijual adiknya nanti ketika segepok uang itu nantinya habis.
Sawah yang Menumbuhi Kos, Kafetaria, dan Warung Makan
Tidak hanya Mbok Ito. Dalam kesempatan yang lain, saya juga mendengar suara Pak Waris, seorang buruh tani beranak empat. Semenjak sawah-sawah sudah banyak dijual, dia sering sepi job. Bahkan harus rela untuk keluar masuk desa menggarap lahan warga lain. Begitu pun Pak Gimin, peternak kambing yang sudah kesusahan untuk mencari rumput. Tanah-tanah kering dan penuh coran telah menutup kesempatan untuk rumput bisa subur dan layak dimakan ternak. Jangankan subur, tumbuh saja sudah enggan.
Dalam masyarakat desa yang terpaksa modern, kita bisa menemukan lebih banyak lagi suara-suara dari dalam “gua”. Sawah bukan lagi ditanami padi dan tanah tiada bertumbuh rumput, melainkan deretan kafetaria tempat mahasiswa kongko, rapat, mengerjakan tugas, atau hanya sekadar menghabiskan waktu untuk gelak tawa. Sawah adalah lahan luas untuk mendirikan kos-kosan mewah bagi mahasiswa yang datang dari berbagai daerah membawa uang dari bapak-ibunya. Sawah dan tanah adalah tempat mendirikan warung-warung makan guna memenuhi kebutuhan primer mahasiswa, agar tidak mati kelaparan di tanah orang.
Dan pada akhirnya, masyarakat desa adalah tuan rumah yang menjadi “pelayan” bagi mereka yang datang. Tidak lagi tuan tanah yang dihormati harkat dan martabatnya. Mereka tidak dididik seperti kampus mendidik mahasiswanya.
Mendengar Pak Tani, Mbok Ito, Pak Waris, dan Pak Gimin, saya bertanya: bagaimana kita (mahasiswa) akan bertanggung jawab terhadap ilmu yang kita dapatkan di kampus?
Dan kepada para calon pemimpin bangsa yang berdebat tentang konflik agraria, hak kepemilikan tanah, dan pembangunan desa, saya ingin bertanya: sudahkan Anda sekalian mendengar suara-suara dari dalam “gua” ini?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.