EVENTSURBAN FUTURES

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial

Sebanyak 15 orang muda Manggarai Barat, baik yang sebelumnya menjadi peserta Simpang Belajar: Co-creation for City Vision tahun 2024 maupun komunitas Lino Tana Dite, berpartisipasi aktif pada Workshop Content Creation and Gastronomy Movements (WCGM) atau Lokakarya Pembuatan Konten dan Gerakan Gastronomi pada 21–23 April 2025 di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Kegiatan ini dipimpin oleh Pamflet Generasi (Pamflet) dan bekerja sama dengan Rombak Media, sebagai Konsorsium Simpul Pangan yang merupakan bagian dari program Urban Futures—program global lima tahunan yang diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis).

Lokakarya kali ini berfokus pada peningkatan pemahaman orang muda terkait produksi konten-konten seputar pangan, pemanfaatan media sosial, dan kegunaannya dalam gerakan gastronomi lokal. Media sosial masih dianggap sebagai wadah kampanye untuk menggugah kesadaran warganet atas isu-isu gastronomi, yang beberapa waktu belakangan hampir selalu mendapat tempat perbincangan di lini masa maya.

Kegiatan Simpang Belajar tahun ini merupakan momentum untuk mengakselerasi produksi konten-konten media sosial oleh orang muda yang membicarakan sistem pangan lokal. Masifnya audiens media sosial di kalangan Gen Z dan Milenial merupakan peluang besar bagi orang muda mendorong perubahan dengan media digital.

Melalui WCGM, peserta diharapkan mampu menyusun narasi kampanye tentang isu pangan lokal secara kreatif dan bernuansa positif di media sosial, khususnya Instagram. Selain itu, kegiatan pembuatan konten bertujuan untuk menguatkan kesinambungan antara visi kota berkelanjutan yang telah dirumuskan dalam lokakarya sebelumnya, dengan kemampuan produksi konten media sosial yang berdampak. 

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Elisabeth Ester Umbu Tara (Ete) memberi materi di sesi pertama lokakarya/Dokumentasi Simpang Belajar

Cerita dan media sosial sebagai ruh dari sistem pangan

Sesi pembuka di hari pertama kegiatan diawali dengan pemaparan materi oleh Ester Elisabeth Umbu Tara selaku fasilitator. Perempuan kelahiran Kupang yang akrab disapa Ete itu merupakan pendiri komunitas Bapalok (Bacarita Pangan Lokal), sebuah wadah yang bertujuan mengarsipkan dan mendokumentasikan tanaman pangan khas berbagai daerah melalui tulisan, fotografi, hingga bentuk audiovisual lainnya, dengan salah satu fokus pada pemberdayaan perempuan.

Terbagi dalam dua segmen, alumnus Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang membahas lima materi seputar pembuatan konten dan pemanfaatannya untuk mengampanyekan sistem pangan lokal. Pada segmen pertama, Ete berbagi materi tentang cara mencari ide konten, melakukan riset yang terarah, dan menyusun naskah yang efektif pun menarik. Di segmen ini pula Ete memberikan pemahaman mengenai aspek-aspek yang menjadi kesatuan dalam gastronomi, yaitu budaya, sejarah, teknik memasak, pemilihan bahan, penyajian, dan interaksi sosial. Ia menegaskan dalam satu jenis pangan bisa melahirkan banyak ide konten dari berbagai sisi, sehingga seorang kreator konten tidak akan kehabisan bahan.

Lalu di segmen kedua, Ete membantu peserta memahami teknik-teknik dasar fotografi dan videografi untuk kebutuhan visual konten, serta pengenalan platform CapCut dan Canva sebagai alat pendukung populer dan praktis untuk produksi dan editing konten—terutama berbasis perangkat mobile yang lebih mudah dijangkau peserta.

Dalam kacamata Ete, teknik pembuatan konten dan medium yang digunakan memang penting. Namun, ia juga menekankan narasi dan pesan yang ingin disampaikan dalam visual yang dibuat juga tak kalah krusial. Sebab, itu akan menentukan proses pengumpulan ide, riset, konsep, dan cara mengemas konten yang ingin dibuat. 

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Mardhatillah Ramadhan (Han) menyampaikan materi seputar pengelolaan akun media sosial/Dokumentasi Simpang Belajar

Pada sesi selanjutnya, Mardhatillah Ramadhan sebagai narasumber memaparkan materi tentang pengelolaan akun media sosial dan strategi pengelolaan konten. Pria yang biasa disapa Han itu berpengalaman menjadiSocial Media Specialist di TelusuRI, media perjalanan dan pariwisata Indonesia di bawah naungan Rombak Media. Sebagai pemantik, Han menggali preferensi peserta lokakarya soal ragam media sosial yang sering digunakan dan jenis konten-konten yang disukai. Di antara jenama media sosial yang ada, Instagram dan fitur-fitur di dalamnya menjadi fokus utama pembahasan, karena akan menjadi medium kerja pembuatan konten sebagai keluaran yang diharapkan dari peserta selama lokakarya.

Han membeberkan keunggulan Instagram, terutama fitur reels (video). Untuk saat ini reels Instagram jadi favorit karena memiliki jangkauan luas ke audiens, sehingga memudahkan untuk meningkatkan engagement dan tidak harus membutuhkan pengikut (followers) banyak supaya viral. Dampaknya akan lebih hemat biaya promosi produk-produk konten yang dihasilkan.

Kemudian Han berbagi tips strategi mengelola akun media sosial, agar narasi maupun pesan dalam konten-konten kampanye pangan lokal bisa tersampaikan secara optimal ke audiens. Mulai dari perlunya memerhatikan struktur publikasi konten (menyiapkan visual, caption, profil akun lengkap, dan konten-konten awal yang menarik), rutin mengunggah konten secara berkala, interaksi dengan akun Instagram yang relevan dan sedang ramai dibicarakan, memahami statistik konten (insight), hingga pemasangan iklan berbayar.

Di luar aspek teknis, Han menekankan pentingnya melihat kembali tujuan awal pembuatan akun agar topik dan produksi konten fokus sehingga memikat audiens. Ia menyampaikan, berdasarkan data penggunaan media sosial tahun 2024 oleh Databoks Katadata.co.id, seperti dikutip Radio Republik Indonesia,  tercatat 191 juta pengguna media sosial di Indonesia pada tahun tersebut, yang menjadi potensi audiens besar untuk diraih. Hal lain yang tidak kalah utama untuk diperhatikan adalah mau memulai dengan konten-konten sederhana, selalu terbuka peluang kolaborasi, dan konsisten.

Dari materi ruang yang disampaikan oleh Ete dan Han, peserta kemudian dibagi menjadi empat kelompok kecil. Di akhir setiap sesi Ete dan Han, tersedia ruang untuk latihan dan presentasi dari masing-masing kelompok, serta menyiapkan tema konten untuk kunjungan liputan di lapangan pada hari kedua kegiatan. 

Berburu konten bersama The Kitchen Garden dan Lompong Cama

Setiap kelompok memiliki fokus liputan dan target konten masing-masing. Keempat kelompok tersebut terbagi ke dua lokasi sasaran, yaitu The Kitchen Garden dan Lompong Cama, yang terletak di Labuan Bajo, Manggarai Barat.

The Kitchen Garden (TKG) yang didirikan dan dikelola Chef Michael merupakan restoran sekaligus inisiator gerakan yang menumbuhkan kesadaran akan pentingnya identitas budaya dan gastronomi lokal di Labuan Bajo. Adapun Lompong Cama yang didirikan oleh Citra Kader, seorang chef dan pegiat pangan lokal, merupakan tempat makan terbatas (melalui reservasi) yang mengajak pengunjung mempelajari metode bercocok tanam, mengolah hasil kebun berisi komoditas lokal menjadi makanan siap santap, hingga mengelola sisa bahan pangan menjadi kompos. Keduanya sama-sama berupaya mengusung masakan khas Manggarai sebagai hidangan utama.

Bersama pendampingan Chef Michael, Kelompok 1 berfokus pada dojang sebagai bagian dari preservasi pangan lokal, sedangkan Kelompok 4 mengambil angle sejarah dan pengolahan dojang dengan konsep dari kebun ke meja makan atau from farm to table. Di TKG, acara diawali dengan pemaparan profil dan filosofi restoran oleh Chef Michael. Ia menekankan bahwa pelestarian wilayah Labuan Bajo atau Manggarai Barat tidak hanya tentang alam atau Komodo, tetapi juga manusia dan pangan lokal sebagai bagian dari ekosistem itu sendiri. 

Chef Michael juga mengajak dua kelompok melakukan aktivitas tur kebun, demo masak, dan pengambilan dokumentasi tambahan (footages) untuk mencukupi kebutuhan produksi konten masing-masing kelompok. Dalam penjelasannya, ia berusaha menghidupkan kembali kuliner tradisional setempat yang sempat hilang, seperti tibu, manuk cuing, nasi kolo, tapa kolo, dan dojang dengan pendekatan yang berbeda. Pengunjung TKG tidak hanya sekadar makan, tetapi juga mendapat cerita dan pengalaman edukasi maupun pertukaran budaya.

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Sebagian peserta menyaksikan dan merekam proses memasak saat kunjungan ke The Kitchen Garden/Dokumentasi Simpang Belajar

Di lain tempat, Citra Kader mendampingi Kelompok 2 yang mengulik kempalo, serta Kelompok 3 yang fokus pada ikan kombong kuah asam dan manfaatnya bagi gizi tubuh. Kempalo merupakan bahan makanan berbahan dasar beras ketan yang diimpor dari Sulawesi, sedangkan kombong merupakan sejenis ikan laut lokal yang memiliki nilai gizi tinggi.

Sebelumnya Citra mengajak kedua kelompok mengunjungi Pasar Rakyat Batu Cermin untuk mewawancarai sejumlah pedagang dan belanja sejumlah bahan baku masakan untuk dibawa ke Lompong Cama. Saat kunjungan di pasar, Citra menjelaskan bahwa langkah pertama untuk memahami pangan lokal adalah terlebih dahulu mengenal pasar tradisional. Kemudian di Lompong Cama, peserta diajak berdiskusi, melihat pengelolaan sampah organik dan anorganik, pemeliharaan kambing untuk produksi pupuk kandang, pemanfaatan daun kering, berkeliling kebun yang ditanami berbagai macam bunga dan buah, demo masak, serta mengumpulkan bahan konten.

Usai mengumpulkan bahan konten di lapangan, selanjutnya setiap kelompok mulai melakukan finalisasi produksi konten berdasarkan tema dan angle yang dipilih. Kecuali Kelompok 1 yang hanya membuat satu video reels (karena jumlah anggota lebih sedikit), tiga kelompok lainnya akan membuat satu video reels dan satu feed (seri foto atau carousel). Ketentuan khusus untuk reels, durasi video yang dikerjakan minimal 30 detik dan maksimal satu menit. Seluruh karya peserta akan diunggah pada Instagram @gandengpangan dengan menggunakan fitur tag dan collaboration post dengan akun masing-masing peserta.

Pada hari ketiga, setiap karya yang dibuat oleh masing-masing kelompok dibedah oleh Ete dan Han. Kedua fasilitator tersebut membuka ruang diskusi, memberi masukan, melakukan kurasi naskah, audio, dan visual, serta meninggalkan catatan untuk setiap progres kerja yang dicapai oleh keempat kelompok. Selanjutnya peserta masing-masing kelompok menyelesaikan produksi konten dan mempresentasikan materi konten yang sudah dibuat, lalu mendapatkan penilaian.

Simpang Belajar 2025: Melestarikan Pangan Lokal melalui Konten Media Sosial
Sejumlah peserta melakukan pembuatan konten saat kunjungan lapangan ke Lompong Cama/Dokumentasi Simpang Belajar

Kesan dan harapan

Sejumlah peserta menyampaikan kesannya terhadap lokakarya pembuatan konten dan gerakan gastronomi lokal selama tiga hari kegiatan. Erin, nama panggilan ​​Berta Ertin dari Kelompok 3 mengungkap banyaknya pengetahuan baru yang didapatkan, terutama soal pembuatan konten. 

“Yang saya dapatkan dari kegiatan Simpang Belajar ini adalah bagaimana cara kita membuat konten yang lebih baik,” kata peserta yang pernah menjadi administrator akun Neo Historia Indonesia (2019) itu. “Ini juga akan membantu proses pengarsipan atau dokumentasi pangan lokal di Manggarai Barat.”

Senada dengan Erin, Petrus Budi Handoyo yang akrab disapa Petu pun sejatinya memiliki banyak kesan mendalam terhadap lokakarya yang diikuti. “Tapi [ada] satu kesan yang paling menempel di pikiran saya, yaitu ilmu baru yang saya dapatkan, seperti pengeditan video. Sebelumnya pengeditan video yang saya lakukan tidak semenarik yang orang (audiens) inginkan.”

Anggota dari Kelompok 4 itu menambahkan, ada manfaat tambahan yang ia peroleh, terutama berkaitan dengan usaha pribadinya—Kedai Wae Nanggom—yang baru berjalan empat bulan. “Manfaat dari kegiatan Simpang Belajar sangat berdampak bagi saya. Ke depannya saya bisa mengubah pola pikir [pembuatan video], mulai dari penulisan naskah dan pengeditan video agar sesuai harapan orang (audiens).”

Maria Oktaviani Simonita Budjen, anggota Kelompok 1, menyampaikan kesannya soal dinamika yang terjadi selama kelas (materi ruang). “Saya disatukan dalam kelompok dengan teman-teman yang punya pengalaman dan skill yang berbeda, [sehingga] saya dapat banyak sekali hal baru dari mereka,” kata Ani.

Selama tiga hari kegiatan, Ani dan kelompoknya melatih diri untuk mengasah soft skill dan rasa percaya diri saat berdiskusi dan presentasi bersama. “Dan juga tentu saja field trip-nya. Kita diarahkan ke tempat-tempat yang punya ide cerita luar biasa, yang bisa mengangkat kembali cerita tentang pangan lokal yang ada di Manggarai Barat.”

“Harapannya, lokakarya ini dapat mendukung partisipasi bermakna dari kawan-kawan muda untuk pangan yang berkelanjutan. ‘Bermakna’ di sini berarti bahwa dengan bekal peningkatan kapasitas membuat konten, ke depannya kawan-kawan di Manggarai Barat sendirilah yang menentukan narasi dan gencar mengampanyekan pangan lokal kepada khalayak luas,” ujar Wilsa Naomi, Manajer Proyek Konsorsium Simpul Pangan dari Pamflet Generasi.

Lokakarya di Manggarai Barat bukanlah akhir, melainkan baru sebagai awal untuk harapan pelestarian pangan lokal di masa depan. Upaya tersebut tidak berhenti di The Kitchen Garden maupun Lompong Cama, tetapi terus bergulir di tangan orang-orang mudanya.

Foto sampul: modul kegiatan Simpang Belajar 2025/Dokumentasi Simpang Belajar


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Avatar photo

Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Siaran Pers Simpang Belajar 2025: Workshop Content Creation and Gastronomy Movements