Suasana lebaran masih terasa setelah musim ketupat. Seluruh santri Pesantren Rosyad wajib kembali ke pondok untuk melakukan kewajiban seperti mengaji, piket hari raya, dan lain-lain. Waktu dua minggu cukup bagi kami untuk temu kangen dengan keluarga. Bu nyai pun melarang kami berlama-lama di rumah. Khawatir lambat laun semakin tidak kerasan dan malas untuk mengaji.

Kami di pesantren tinggal di kamar yang telah dibagi oleh pengurus pondok, PHD namanya. Mungkin sempat iri dengan mereka yang belum kembali ke pondok. Namun, kami menepisnya karena ini wujud tirakat sebagai seorang santri—berani keluar dari zona nyaman.

Tepat hari Minggu, kami sekamar mengisi waktu luang dengan ber silaturahmi ke rumah Ustadzah Nur. Beliau dahulu menyimak hafalan Al-Qur’an para santri dan sekarang menetap di daerah Wajak, Malang, dengan keluarganya. Silarurrahim ini sudah kami rencanakan dari puasa. Mengingat silaturahmi yang dulu hanya beberapa orang saja yang bisa ikut.

Wajak, daerah yang masih akrab dengan suasana desa. Kami bertujuh belas naik sepeda motor dengan saling berboncengan. Empat laki-laki dan sisanya perempuan. Teman-temanku banyak yang bilang rumahnya ustadzah itu jauh banget dan rute jalannya sulit dihafal. Kami yang awalnya mau perempuan aja, akhirnya memutuskan mengajak laki-laki sebagai penunjuk jalan.

Susur jalan/Dwi Dian Wigati

Aku memutuskan untuk mencoba menghafal setiap jalan yang dilewati. Rasa penasaran yang dikatakan teman-teman ingin kubuktikan bahwa jalannya mudah dihafal. Sebab, dulu sempat main ke rumah teman yang ada di Wajak. Awal perjalanan masih hafal, setiap rute dan belokan kuingat-ingat. Namun, lambat laun jalanan semakin asing. Aku tak tahu-menahu akan daerah yang kulewati. Semakin jauh semakin membingungkan. Banyak belokan dan jalan terus dari satu desa ke desa lainnya.

Ternyata ekspektasiku hancur. Aku pasrah, mengikuti para laki-laki yang berada di jalan paling depan. Aku terus mengingat kostumnya, warna helm, dan sepeda yang mereka gunakan agar tak tertinggal. Terutama jika terpisah karena lampu merah.

Kuakui perjalanannya memang jauh. Namun, asyik dan menyenangkan. Kanan-kiri tak luput dari tumbuhan. Untuk aku yang sudah lama tinggal di kota merasa sangat bahagia. Pohon pinus berjejer indah di pinggir jalan. Begitu pun dengan pohon bambu. Meskipun jalan naik turun tapi rasa lelah terkalahkan dengan rasa bahagia yang menguasai hati.

Pinus besar/Dwi Dian Wigati

Perkiraan 1,5 jam sampai di rumah ustadzah. Ternyata 2 jam lebih baru bisa sampai. Saking sulitnya arah dan jalanan macet, akhirnya ada yang tertinggal rombongan. Sedangkan kami hampir sampai tujuan. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu di pinggir jalan. Berangkat bareng juga harus sampai tujuan bareng. 

Sesampainya di rumah ustadzah kami terkejut. Ternyata bersamaan dengan para ustadzah lainnya. Rasa sungkan tetap menyelimuti. Namun, mereka menyambut kedatangan kami dengan hangat. Tuan rumah pun mempersilahkan kami untuk makan siang. Sambal bandeng dan pokak yang ada di dalam wadah melambai-lambai ingin dimakan. 

Talaman (budaya makan bersama ala pesantren) yang tersedia menjadi pilihan kami untuk makan bersama. Kebersamaan ini menambah rasa nikmat nasi jagung dan sambal yang kami telan. Sedikit tapi mengenyangkan. Tak sampai di situ kami juga menikmati jajan sisa hari raya. Seperti matari, stik bawang, dan tak lupa teh hangat menyertai dinginnya udara.

Tak terasa matahari naik ke atas, tiba waktu salat Zuhur. Kami pun bergegas menuju masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah secara bergantian. Setelah itu, kami mendapat tawaran untuk pergi ke kebun, kupikir kebun itu seperti sawah yang ditanami padi dan sayur-mayur. Jalannya nyaman, banyak tanaman jagung yang ditanam di pinggir pematang sawah. Namun, ekspektasiku kalah lagi. Ternyata kebun itu seperti lereng gunung.

Kebun/Dwi Dian Wigati

Butuh perjalanan jauh untuk sampai tempat tujuan. Jalan yang berkelok-kelok, naik-turun, dan masih terbuat dari tanah. Rasanya begitu menguji nyali dan kesetiaan pada kawan. Teman-teman banyak yang memilih turun dari sepeda motor saat melalui jalan naik dan turun serta mendorong dari bawah. Kami pun kaget melihat kondisi jalan yang seperti itu. Jalan yang dibilang mudah oleh ustadzah. Mungkin karena kami tak terbiasa dan sudah lama tinggal di kota.

Di kebun, kami memetik terong, daun prei, dan cabai merah untuk dibawa pulang ke pesantren. Supaya bisa mengirit pengeluaran untuk makan. Kami yang dari notabenenya dari kota sangat bahagia. Apalagi jarang di sawah. Bahkan, baru kali ini tahu wujud dari tanaman tersebut. 

Kanan-kiri jalan menuju kebun juga masih tampak hijau-hijauan. Terlihat belum ada perubahan yang signifikan. Tak ada jalan kecil-kecil yang bisa membantu perjalanan. Namun, para warga nampak bahagia dan mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh Allah.

Langit mendung, hujan pun turun dengan senangnya. Di tengah-tengah kebun yang kami lalui. Tak ada yang bawa payung. Akhirnya menggunakan alternatif lain dengan memetik daun talas dan pisang untuk mencegah air yang menembus baju. Jalanan semakin licin dan hujan pun semakin deras. Sayur mayur yang kami petik juga semakin banyak. Akhirnya, kami memutuskan untuk pulang nekat menerjang guyuran hujan deras. 

Laju sepeda kami semakin pelan. Tanah yang kami lalui licin dan sulit untuk dilewati. Banyak jalan turun. Kami menyempatkan diri untuk berteduh sebentar di gubuk pinggir jalan yang ada di kebun. Namun, gubuk itu ternyata atapnya bolong. Guyuran hujan sangat terasa. Akhirnya, kami memutuskan untuk nekat menerjang hujan. Alhamdulillah, perjalanan semakin menyenangkan dan membuat candu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar