Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
Motor yang saya pakai berkeliling/Ramadhanur Putra

Saya melaju dengan motor Astrea Star keluaran 1996 dengan kecepatan yang tidak seberapa di jalanan Jogja. Seorang bapak tua dengan gerobak rongsokannya di bibir jalan mencuri perhatian saya, dan saya memutuskan untuk menepi. Saat itu, Jogja sedang berkencan dengan senja. Langit merah menyaksikan orang-orang bergegas menuju arahnya masing-masing dari sudut barat kota.

Jogja, dan seperti wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, sedang merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang beranjak senja di usia 79 tahun. Di pinggir jalan, di spion bentor (becak motor), dan di bibir mobil orang-orang bendera merah putih berkibar.

Namun, bapak tua di pinggir jalan itu, yang semakin senja juga usianya, seolah sedang tidak merayakan apa pun. Biasa-biasa saja. Namanya Pak Sariman (55), asal Purwokerto. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di Jogja dengan mengumpulkan rongsokan bersama gerobak kesayangannya.

Saya bercerita panjang lebar dengannya. Ia sehari-hari mengumpulkan rombengan untuk diganti dengan rupiah. Satu kilogram rongsokan yang dia peroleh bisa setara dengan uang dua ribu rupiah. Biasanya, dalam sehari ia bisa mengumpulkan sekitar 30–40 kilogram, sehingga penghasilannya per hari kurang lebih 60–80 ribu rupiah. Namun, dalam satu hari, pendapatan bersih Pak Sariman hanya berkisar di angka Rp20.000. Sebab, ia harus membagi pemasukan untuk kebutuhan pribadinya selama di Jogja, seperti makan dan lainnya.

Penghasilan bersih itulah yang dia bawa kembali ke kampung halamannya di Purwokerto. Biasanya, Pak Sariman pulang kampung satu kali dalam satu bulan. Oh, ya. Jangan tanyakan bagaimana Pak Sariman tinggal di Jogja. Uang segitu tidak mungkin dipakai untuk menyewa kos atau kontrakan.

“Saya tidur di seberang hotel depan sana, Mas,” kata Pak Sariman sembari menunjuk Hotel Cavinton. 

  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?

Semakin Merdeka, Semakin Tua, Tetap Keras Bekerja

“Ya, orang seperti saya ini cuma menghormati saja masalah kemerdekaan. Kemerdekaan itu, kan, hanya peninggalan nenek moyang. Itu kemerdekaan, kemerdekaan apa? Kalau kemerdekaan kehidupan, ya, tentu belum. Itu cuma kemerdekaan tanah dan air negara. Ya, saya hanya menghormati saja. Kalau kemerdekaan masalah perekonomian bagi [kelas] ekonomi menengah, ya, belum. Merdeka apanya? Iya, kan? Lah, siapa yang merasakan kemerdekaan? Kan, hanya orang-orang tertentu, hanya orang-orang di atas.” Sariman mengungkapkan perasaannya di tengah perayaan hari merdeka bangsa ini.

Saya hanya bisa diam dan mendengarkan. Terlalu panjang penjelasan yang disampaikan untuk saya tuliskan dalam catatan ini. Dan saya, sekali lagi tidak kuat hati untuk memotong penjelasannya. Seperti mendengarkan curhatan seorang teman yang sedang diputuskan oleh pacarnya. Panjang dan penuh duka. 

Pak Sariman bukan satu-satunya orang yang bekerja di usia tuanya di kota ini. Saya juga menyaksikan seorang ibu yang menjajakan koran di lampu merah, bapak tua yang membuka bengkel, membawa becak motor (bentor), dan pedagang kaki lima yang bekerja hingga malam tiba.

“Merdeka-merdeka, ya, tetap kerja, Mas,” ungkap seorang ibu penjaja koran itu. Saya menanyakan perasaannya di hari kemerdekaan ini.

  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?

Pak Sariman, ibu penjaja koran, dan pekerja lainnya adalah para pekerja serabutan di Jogja Istimewa. Mereka adalah para pejuang di tengah ketidakpastian kerja masyarakat urban. Apalagi, usia yang telanjur tua dan latar belakang pendidikan seadanya, menutup mereka dari kemungkinan mendapat upah dan keselamatan kerja yang layak. Dalam suasana kemerdekaan, mereka masih terjebak dalam situasi kehidupan yang gamang. Tetap bekerja dengan penghasilan yang tak seberapa dan usia yang semakin senja.

Sementara generasi X dan Baby Boomer paling banyak berada di Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Begitu laporan yang saya kutip dari “Analisis Profil Penduduk Indonesia; Mendeskripsikan Peran Penduduk dalam Pembangunan” berdasarkan hasil Sensus Penduduk oleh Badan Pusat Statistik tahun 2020. Generasi X adalah kelompok usia yang lahir pada rentang tahun 1965–1980, umur mereka 40–55 tahun; sedangkan generasi Baby Boomer adalah kelompok usia yang lahir pada tahun 1946–1964, umur mereka 56–74 tahun. Pengelompokan generasi ini merujuk pada teori generasi yang dikemukakan oleh William H. Frey yang membagi generasi menjadi enam generasi: Post Gen Z (2013–sekarang), Gen Z (1997–2012), Gen Y atau Millenial (1981–1996 ), Gen X (1965–1980), Gen Baby Boomer (1946–1964), dan Gen Pre–Boomer (sebelum 1945).

Menurut laporan itu juga, Gen X yang rata–rata berusia 40–55 tahun adalah penduduk usia produktif yang terlibat aktif dalam perekonomian Indonesia dengan total 36,53%. Angka itu memosisikan Gen X di urutan kedua penduduk usia produktif yang bekerja di Indonesia berdasarkan kategori generasi setelah Gen Y (39.89%). Diikuti oleh Gen Z di urutan ketiga dengan total 11,98% dan setelahnya Gen Baby Boomer (11,60%). Gen  X dan Gen Baby Boomer ini didominasi oleh tamatan SD/sederajat dengan persentase masing-masing 33,96% dan 41,56%. Artinya, secara kualitas sumber daya manusia siap kerjanya lebih rendah dari Gen Z dan Gen Y.

Gen X dan Gen Baby Boomer seolah menghadapi senja yang buram. Saat usia tua, mereka berada di tengah ketidakpastian ekonomi. Seperti anak sulung yang terbuang dari kasih ibunya. Ketika pemerintah sedang bergeliat menyambut bonus demografi di satu abad usianya nanti, yaitu pada 2045, Gen X dan Gen Baby Boomer seperti telantar dari pangkuan negara. Kala usia bangsa semakin bertambah, mereka semakin menua dan masih terus berupaya mencari kerja.

Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
Seorang pekerja bengkel di pinggiran Jogja/Ramadhanur Putra

Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?

Kondisi ini kian ironis dalam benak saya, ketika saya menyaksikan orang-orang tua yang lain sedang berbagi tanda jasa di Istana Negara, Jakarta. Rabu (14/8/2024), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan tanda kehormatan Republik Indonesia berupa Medali Kepeloporan, Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, dan Bintang Budaya Parama Dharma kepada 64 orang tua. Penganugerahan itu diberikan oleh Presiden Jokowi kepada anggota kabinetnya, ketua umum partai politik, dan orang-orang yang “berjasa” selama satu dekade pemerintahannya.

Saya tidak mengerti banyak tentang politik, tapi apakah pemberian tanda kehormatan itu berangkat dari keuletan kerja orang-orang yang selama ini membantunya mengatasi permasalahan bangsa? Jika iya, kenapa orang-orang seperti Pak Sariman, ibu penjaja koran, dan pekerja serabutan lainnya masih saya temukan hanya selang beberapa hari setelah penganugerahan itu? Sebuah kontradiksi  yang saya temui di hari raya kemerdekaan. Hari raya kemerdekaan bagi Presiden yang menjadikan “Kerja, Kerja, dan Kerja” sebagai semboyan politik yang populer.

Siapa yang bekerja dan siapa yang berjasa? Pertanyaan ini masih mengusik benak saya.

Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
Seorang ibu mampir toko untuk belanja dengan bersepeda/Ramadhanur Putra

Okky Madasari dalam kolom opini yang dimuat di Jawa Pos, menyebutkan bahwa kolonialisme tidak melulu hilang jika sebuah bangsa telah merdeka. Kolonialisme itu mungkin dan bisa tetap berlanjut selama rasisme dan keserakahan masih ada. Rasisme dan keserakahan yang berimplikasi pada kebijakan politik akan melahirkan situasi keterjajahan yang baru. “Kemerdekaan itu nasi dikunyah jadi tai,” begitu ia mengutip Wiji Thukul dalam tulisannya.

Dan agaknya, seperti itulah kondisinya hari ini. Hari raya kemerdekaan Indonesia tak sepenuhnya dirasakan oleh rakyatnya, sebab hari kemerdekaan masih menyisakan pertanyaan bagi mereka, besok mau makan apa? Sepertinya, kemerdekaan Indonesia tidak berjalan beriringan dengan kemerdekaan nyawa bangsanya, akibat kelompok tertentu yang serakah dan mabuk kuasa.

Saya kembali ke jalanan, meninggalkan Pak Sariman dengan seluruh keluh kesahnya di hari merdeka. Sembari membawa motor, saya putar lagu Kelompok Penerbang Roket dari album “Teriakan Bocah”.

“Banyak yang bilang berbeda, tapi tetap sama. Banyak yang ingin merdeka, tapi sementara. Di mana mereka? Mereka yang beda. Apa masih ada yang merdeka? Di mana mereka? Mereka yang beda. Apa masih ada yang merdeka?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar