Siapa tidak mengenal Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat, atau lebih populer dengan sebutan Raden Ajeng (RA) Kartini—nama dan gelarnya sebelum menikah?

Perempuan visioner yang pernah hidup pada abad ke-19 itu lahir dari keluarga bangsawan Jawa, pada 21 April 1879 di Mayong, Jepara. Ayahnya adalah Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, sedangkan ibunya Mas Ajeng Ngasirah, putri KH. Madirono, seorang ulama dari Telukawur, Jepara.

Semasa hidup, ia menikah dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada 12 November 1903. Ia meninggal dunia di usia muda pada 17 September 1904, beberapa hari setelah melahirkan anak satu-satunya—Soesalit Djojoadhiningrat, pada 13 September 1904. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Rembang. Pada 1964, Presiden Sukarno menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sekaligus menetapkan tanggal lahirnya sebagai hari besar nasional, yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

RA Kartini dikenal karena memiliki pemikiran yang sangat maju melampaui zamannya. Kecemerlangan gagasannya tertuang dalam surat-suratnya yang menyejarah. Surat-surat itu ditujukan kepada sejumlah sahabatnya di Belanda. Setelah RA Kartini wafat, atas inisiatif Jacques Abendanon, surat-surat itu dikumpulkan dan dibukukan. Kumpulan surat itu diterbitkan pertama kali di Belanda pada 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht. Lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan Armijn Pane pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang

Seni Gastronomi Warisan RA Kartini
Sampul depan buku Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini/Badiatul Muchlisin Asti

Mewariskan Resep-resep Masakan

Selain pemikirannya, sisi menarik RA Kartini lainnya—yang jarang diungkap—adalah kegemarannya dalam hal masak-memasak, di luar membatik dan membuat ukiran. Sebuah keterampilan khas perempuan Jawa, utamanya pada masa itu.

Ternyata, pahlawan emansipasi wanita itu mewariskan resep-resep masakan yang menarik untuk diteroka. Setelah RA Kartini wafat, adiknya yang bernama RA Kardinah mengumpulkan resep-resep masakan kegemaran RA Kartini maupun keluarga Sosroningrat.

RA Kardinah yang menikah dengan bupati Tegal kemudian mendirikan sekolah khusus untuk keterampilan perempuan di Tegal bernama Wismâ Prânâwâ. Pendirian sekolah khusus itu sesuai dengan cita-cita kedua kakaknya: RA Kartini dan RA Roekmini. Untuk keperluan pengajaran, resep-resep keluarga yang sebagian besar masih beraksara Jawa disusun menjadi beberapa buku dan diberi judul Lajang Panoentoen Bab Olah-olah.

Berpuluh tahun kemudian, Suryatini N. Ganie, cucu RA Soelastri—kakak kandung RA Kartini dari ibu yang berbeda—menulis ulang resep-resep tersebut dan membukukannya dalam sebuah buku berjudul Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini. Cetakan pertamanya diterbitkan Gaya Favorit Press (Femina Group) tahun 2005.

Suryatini N. Ganie menulis ulang resep-resep beraksara dan berbahasa Jawa, lalu menerjemahkannya ke bahasa Indonesia dengan seharfiah mungkin. Resep-resep ditulis ulang dengan menyesuaikan kondisi sekarang, tetapi dengan judul-judul resep yang tetap dipertahankan sesuai aslinya. Misalnya, kelan asem (sayur asem), kelan lodeh bung (sayur lodeh rebung), janganan sala (sayuran sala alias pecel), dan semur iwak (semur ikan).

Menariknya lagi, semua resep telah diuji coba di Dapur Uji Femina. Hasilnya, resep-resep dalam buku terbukti dapat diandalkan alias tidak terlalu banyak yang harus diubah. Artinya, kita dapat mencoba sendiri (recook) resep-resep masakan yang telah diciptakan lebih dari seabad lalu itu dan tetap dapat memanjakan selera kita yang hidup di masa sekarang.

  • Seni Gastronomi Warisan RA Kartini
  • Seni Gastronomi Warisan RA Kartini

Keistimewan Buku dan Kisah Kuliner Favorit

Buku ini dicetak lux dengan hardcover dan kertas isi berbahan art paper gilap. Setidaknya ada tiga keistimewaan lain yang lebih esensial dan fundamental dari buku ini, sehingga layak dikoleksi oleh para pencinta kuliner Nusantara. 

Pertama, buku ini tidak hanya berisi resep-resep hidangan yang lezat dari meja makan para putri bangsawan Jepara pada abad ke-19, tetapi juga sekaligus mendokumentasikan dan mempertahankan resep-resep autentik beraksara Jawa.

Kedua, resep-resep berusia lebih dari seabad yang termaktub dalam buku ini, masih relevan dan bisa menghasilkan masakan-masakan yang bercita rasa lezat. Bahan penyedapnya alami berupa rempah-rempah dan daun-daun bumbu.

Ketiga, resep-resep di buku ini ditulis ulang dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Suryatini N. Ganie, seorang praktisi dan pemerhati dunia gastronomi yang sudah lama malang melintang di dunia kuliner. Di antara kiprahnya adalah mendirikan majalah boga Selera dan menjadi pemimpin redaksinya sejak 1981 sampai 1995.

Sebagai keturunan Sosroningrat, masa kecilnya pernah bertemu dengan para eyangnya: RA Soelastri, RA Kardinah, dan RA Roekmini. Boleh dibilang, Suryatini turut mendapat pendidikan dan bimbingan dari eyang-eyangnya itu. Suryatini tidak pernah bertemu RA Kartini, karena saat ia lahir pada 17 Oktober 1930, RA Kartini telah lama tiada.

Menurut Suryatini, semasa hidupnya, Eyang Roekmini—panggilan Suryatini untuk RA Roekmini—sering membuat kue-kue dari resep lama keluarga Bupati Jepara Sosroningrat. Kudapan kesukaan Eyang Roekmini dan Eyang Kartini adalah kue yang legit, tetapi tidak terlalu manis, seperti ‘soesjes’ atau sus.

Kreasi dapur keluarga Sosroningrat lainnya yang sering dibuat Eyang Soelastri dan Eyang Roekmini, menurut Suryatini, adalah gebakken brood met bayam (roti panggang dengan bayam). Roti sisa sehari sebelumnya yang dipanggang dan diolesi sedikit mentega, dibubuhi setup bayam yang berbumbu bawang merah, sedikit garam, gula, dan nootmuskaat atau pala bubuk.

Selain itu, salah satu kebiasaan di keluarga Sosroningrat adalah minum teh sore hari atau thee uurtje, mengikuti tata cara masyarakat Belanda di Indonesia tempo dulu. Biasanya, pukul 4–5 sore, meja sudah ditata dengan cangkir, gula, susu, dan poci teh yang diberi tutup, yang dalam bahasa Belanda dinamakan thee cozy

Sebagai teman minum teh disajikan kudapan, baik yang berasal dari kudapan lokal maupun yang diadaptasi dari kue-kue Belanda. Yang lokal seperti serabi gandum (dari tepung gandum), kolak pisang, atau pisang goreng dengan irisan keju, dan yang paling populer di kalangan keluarga adalah pilus kentang.

Acara minum teh—seperti juga acara bersantap—pada waktu itu sekaligus dijadikan ajang untuk belajar tata krama. Misalnya, cara minum dari cangkir yang berisi teh panas. Tidak boleh meniup teh panas, tidak boleh menuangkan teh di piring, dan tidak boleh minum berbunyi ‘sruput-sruput’. Yang duduk di kursi adalah para putra-putri bupati, sedangkan yang masih tergolong anak kecil duduk di lantai dijaga oleh pembantu khusus.

Contoh resep autentik botok ikan, dendeng bumbu, dan lodeh bumbu tumis di buku ini, yang masih mempertahankan versi asli beraksara Jawa/Badiatul Muchlisin Asti

Seni Gastronomi dari Abad ke-19

Sebagai keluarga bangsawan, masakan-masakan yang biasa dihidangkan dalam keluarga Sosroningrat tak luput dari pengaruh dari budaya kuliner bangsa lain, antara lain Arab, Belanda, dan Cina. Apalagi mengingat Jepara tempo dulu adalah pelabuhan yang kerap disinggahi kapal-kapal asing, terutama dari Timur Tengah, India, dan Cina. Karena itu, banyak hidangan maupun rempah-rempah dari wilayah tersebut kita jumpai di dalam resep-resep. Contohnya jangan Arab, yang terinspirasi dari gulai kari kambing, tetapi dibuat sedemikian ringan sehingga lebih berselera Jawa.  

Selera masyarakat Belanda pun sangat berpengaruh pada seni kuliner di Indonesia, khususnya Jepara. Tidak heran bila hidangan ala Prancis yang telah diadaptasi orang Belanda terdapat pula dalam koleksi resep keluarga bupati Jepara. Misalnya, hidangan bistik lengkap dengan pure kentang dan sayurannya.

Selain pengaruh gaya kuliner luar, tentu kuliner khas Jawa Tengah juga tak terelakkan dalam koleksi resep di buku ini. Seperti sayur lodeh, sayur asem, botok urang, besengek ayam, asem-asem, padamara, dan opor ayam panggang. Letak Jepara yang berada di pinggir pantai membuat hasil laut banyak pula digunakan di dalam masakan keluarga ini.

Buku ini tak sekadar berisi kumpulan resep masakan semata. Lebih dari itu, buku ini juga merefleksikan pengalaman seni gastronomi yang diwariskan oleh sebuah keluarga bangsawan Jawa di Jepara pada abad ke-19.  

Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, serta tetap mempertahankan resep autentiknya dalam aksara dan bahasa Jawa merupakan langkah genial yang perlu diapresiasi. Tujuannya agar buku kumpulan resep istimewa ini terdokumentasi dengan baik dan bisa diakses oleh khalayak luas lintas etnis. Karya penting yang menghimpun resep-resep pusaka dari keluarga bangsawan Jawa tempo dulu ini merupakan warisan kebudayaan di bidang gastronomi yang patut dilestarikan.  

Secara keseluruhan, buku ini memuat 209 resep autentik warisan RA Kartini dan saudara-saudaranya, serta keluarga Sosroningrat secara umum, yang dikategorikan dalam 11 bab (kelompok kuliner): nasi (11 resep); sup, soto, dan sayuran berkuah (14 resep); salad dan variasi masakan sayuran (12 resep); ikan dan hidangan laut (16 resep); unggas dan telur (22 resep); daging (50 resep); hidangan pelengkap, acar, dan sambal (23 resep); kudapan gurih (11 resep); kudapan manis (18); puding (12 resep); cake, roti, dan kue kering (20 resep).  


Judul: Kisah dan Kumpulan Resep Putri Jepara; Rahasia Kuliner RA Kartini, RA Kardinah, RA Roekmini
Penulis: Suryatini N. Ganie
Penerbit: Gaya Favorit Press, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2005
Tebal: 352 Halaman
ISBN: 978-979-5155-47-8


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar