Namanya Rifqy Faiza Rahman. Seorang pejalan, gemar naik gunung, dan aktif sebagai travel blogger di papanpelangi.blog. Ia baru saja merampungkan buku SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan. Beberapa hari lalu, TelusuRI menyempatkan ngobrol dengan Rifqy, membahas tentang proses pembuatan buku SELÉSA.

Buku ini berkisah tentang apa, sih?

Buku ini merupakan kumpulan cerita-cerita perjalanan penulis saat bertualang ke beberapa daerah. Ruh buku SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan sama dengan blog saya, yang menceritakan sejumlah pengalaman dan adakalanya menemui hal-hal tak terduga.

Mulai dari menumpang tidur di rumah seorang nelayan yang baru dikenal, merasakan dihajar hujan dan tanjakan terjal di tengah hutan lebat, hingga hampir saja tidak bisa pulang ke rumah karena uang saku menipis. Atau menuangkan pandangan terhadap sisi lain dari perjalanan yang dilakukan. Di buku ini, saya berusaha menyibak batasan-batasan untuk mereguk makna—tersirat maupun tersurat—di setiap langkah. Sejauh mana dapat belajar menerima dari perjalanan.

Sebagian cerita di buku  SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan pernah saya tulis di blog. Namun, keterbatasan ruang maya membuat saya menuangkan lebih banyak detail dan kisah yang belum pernah saya ceritakan sebelumnya.

Saya sengaja menambahkan diakritik (é) pada kata “SELÉSA” untuk menunjukkan pelafalan [e] kata tersebut. Dalam kamus tesaurus tematis Bahasa Indonesia, Anda dapat melihat bahwa lema “selesa” berarti luas, lapang, atau lega. Apanya yang luas atau lapang? Jalan, hutan, laut, lapangan, atau apa?

Lalu ada apa di balik sekat-sekat perjalanan? Ibarat naik kereta api dan kita duduk bersebelahan dengan penumpang lain. Terkadang ada sekat—seringnya tak kasatmata—yang membatasi kita untuk membuka pembicaraan antarpenumpang. Biasanya kita merasa cukup untuk sekadar bertanya tujuan, pekerjaan, atau bahkan gosip terkini. Setiap orang tentu memiliki privasi dan berhak untuk diam. Namun keterbukaan bisa saja akan membuka jendela cerita-cerita yang menginspirasi dan membuat kita belajar banyak.

Saya berusaha menuangkan itu ke dalam buku ini. Di antara berangkat dan pulang, ada relung-relung yang terisi dialog, suka-duka pengalaman hidup, hingga perenungan. Perjalanan mendorong kita berinteraksi. Interaksi dengan alam, manusia, dan bahkan diri sendiri akan membuka atau mungkin semakin menutup rapat sekat-sekat itu.

Apa yang melatarbelakangi menulis buku ini?

Sederhana. Saya hobi jalan-jalan dan bepergian ke suatu tempat, lalu mendokumentasikannya lewat tulisan, foto, atau video. Blog menjadi wadah paling mudah untuk menuangkan pemikiran dan pengalaman ke dalam tulisan. Kemudian timbul angan untuk membukukannya. Memasukkan detail-detail cerita yang terlewat saat ditulis di blog yang kadang melompat-lompat ceritanya.

Tapi selain itu, saya memiliki pandangan dan perspektif terhadap perjalanan yang saya alami, yang saya rasa sepertinya akan lebih pas jika dituangkan ke dalam bentuk buku (fisik). Maka jadilah buku ini. Tentu ini setelah berproses sekian tahun akibat padatnya pekerjaan kantoran yang sempat saya alami dua tahun belakangan. Dorongan teman-teman dan keluarga, terutama istri saya, melecut saya untuk menuntaskan naskah dan menerbitkannya.

SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan
SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan

Genrenya naratif, ya? Kenapa memilih genre ini?

Ya, dan pilihan saya sangat subyektif. Saya menyukai gaya penulisan naratif, karena membebaskan saya berekspresi, bertutur, dan berusaha mengajak pembaca ikut menyelami apa yang saya rasakan saat melakukan perjalanan.

Tantangan paling besar yang dihadapi saat menulis buku ini apa dan bagaimana mengatasinya?

Khusus untuk buku ini, satu-satunya tantangan terbesar adalah rasa malas. Bayangkan saja naskah mengendap nyaris empat tahun tanpa tersentuh. Paling-paling cuma nambah satu-dua kalimat. Tapi sering dihapus lagi karena ragu, akibatnya tidak ada progres signifikan.

Saya mulai meletakkan “batu pertama” (kerangka/outline) sekitar awal 2017. Itu selang kira-kira tiga-empat bulan setelah pulang dari jalan-jalan ke Nusa Tenggara Timur selama dua minggu. Waktu itu saya pergi ke Kupang, Alor, Maumere, Wae Rebo, lalu balik ke Surabaya via Labuan Bajo. Saya jadi punya banyak bahan cerita, meskipun tidak semua saya tuangkan di buku ini. Khusus tentang Alor, kelak saya akan riset sosial-ekonomi-budaya dan pergi lagi ke sana untuk bikin buku khusus tentang pulau beribu kota di Kalabahi itu dari sudut pandang seorang pelancong (bocoran, he-he-he).

Proses penyusunan naskah kemudian relatif stagnan pada kurun waktu hingga 2019 awal, karena saya banyak melakukan pekerjaan-pekerjaan lepas seperti ikut proyek dosen saya dulu, menulis untuk media (terutama majalah penerbangan seperti Sriwijaya Air dan Xpress Air), diajak partner buka private trip dan jadi pemandu (sekaligus sopir) untuk wisatawan: ke Bromo, pantai selatan Malang, seputar Banyuwangi, dan mendaki gunung. Sementara 2019-2020 praktis berhenti total karena saya kerja kantoran di lingkungan pemerintahan provinsi di Surabaya. Nulis di blog sesekali saja. Karena waktu luang pun saya pilih untuk tidur atau berwisata santai, daripada menulis cerita.

Baru jelang akhir 2020 saya memantapkan diri untuk menyelesaikan naskahnya. Begitu tahu kontrak kerja tidak diperpanjang, saya langsung tancap gas menuntaskan cerita-cerita yang jejaknya baru ada berupa satu-dua kalimat.

Akhirnya kemalasan itu kalah dengan waktu. Salah satu cara manjur untuk mengatasi rasa malas adalah kembali membaca banyak buku bergenre serupa agar muncul motivasi menulis. Lalu membuka folder file-file foto lama untuk membangkitkan semangat dan “terbang” sejenak mengingat perjalanan di masa lalu. Kalau soal teknik menulis dan mengumpulkan data-data pendukung tulisan, itu bisa dilatih dan dicari.

Dalam perjalanan via Instagram @papanpelangi

Saat menulis, pernah merasa nggak puas dengan hasil tulisan?

Pernah. Dan ini biasa, entah karena salah ketik, kurang data, atau kurang utuh ceritanya. Bahkan kadangkala kita boleh kok merasa nggak puas setiap habis menulis. Supaya kedepannya terlecut bikin tulisan lebih baik lagi. Tapi setidaknya dengan sekian kali berlatih, kita akan merasakan pada tahap “ah, sepertinya tulisannya sudah oke.”

Jangan pernah capek dan bosan untuk selalu meninjau tulisan kita berulang kali. Cek KBBI, cek kamus tesaurus, dan konfirmasi ulang data-fakta cerita ke narasumber tulisan kita (jika ada).

Teman-teman pejalan banyak juga yang kerap menuliskan cerita perjalanan di telusuri.id maupun blog pribadinya. Ada tips menuliskan cerita perjalan untuk mereka?

Ah, saya jadi ingin berkontribusi tulisan untuk TelusuRI juga, nih, he-he-he.

Mengenai tips menulis cerita perjalanan, karena setiap penulis memiliki gaya menulis sendiri, pengalaman dan ceritanya masing-masing, saya hanya ingin membagikan perkataan sakti dari setiap mentor Koran/Majalah Tempo saat menyampaikan materi “Klinik Menulis Feature” yang diselenggarakan Tempo Institute (26-29 Oktober 2017). Kuncinya hanya dua, “Membaca, membaca, dan terus membaca! Menulis, menulis, dan terus menulis!”  

Soal struktur, teknik menulis, atau bagaimana menyusun bahan dan data, itu bisa dilatih berkesinambungan. 

Ada nggak sih sosok inspiratif yang mendorong untuk terus menulis, menyelesaikan buku ini, dan mungkin buku-buku selanjutnya?

Ada, banyak. Saya tidak bisa menyebut satu nama saja, karena masing-masing sosok yang saya kagumi karena kiprahnya ini, telah memberikan saya banyak dasar dan warna penulisan cerita perjalanan. Seperti Yudasmoro, Yunaidi Joepoet, Mahandis Yoanata Thamrin (National Geographic Indonesia), serta jurnalis National Geographic seperti Hilaree O’neill.

Salah satu tulisan Hilaree yang masih membekas di benak saya (jika saya tidak salah ingat) adalah Inikah Gunung Tertinggi di Myanmar?. Bersama fotografer Cory Richards dan Renan Ozturk, reportase tersebut menjadi salah satu role model saya dalam menulis tentang pendakian gunung, meskipun memang masih belum memuaskan. Saya harus terus berlatih. Kemudian, ada Agustinus Wibowo. Barangkali jika boleh saya sebut, dialah satu-satunya penulis yang telah membawa genre penulisan perjalanan di Indonesia ke level yang lebih tinggi. 

Selain itu, saya juga memandang teman-teman blogger yang saya kenal dan konsisten menulis cerita perjalanan, telah banyak menginspirasi saya untuk terus berkarya dan menulis buku-buku selanjutnya.

Apa harapan Rifqy dengan diluncurkannya buku ini terhadap perjalanan dan pariwisata Indonesia?

Indonesia itu sangat kaya. Kaya alamnya, tradisinya, orang-orangnya, kulinernya, dan banyak lagi aspek yang bisa diangkat sebagai topik menarik untuk diceritakan ke dalam bentuk media apa pun. Buku SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan adalah salah satu upaya saya untuk menggambarkan sebagian kecil keindonesiaan itu dalam perjalanan yang saya lakukan. Harapan saya tidak muluk-muluk. Semoga bisa bermanfaat dan turut berdampak positif (khususnya penulisan perjalanan) dalam mengabarkan kepariwisataan di Indonesia.

Terakhir nih, kalau mau beli bukunya, bisa pre order di mana saja?

Untuk saat ini, karena saya menerbitkan secara independen, prapesan (pre-order) buku bisa langsung meluncur ke tautan pemesanan di tinyurl.com/bukuselesa. Nanti saya sendiri yang langsung mengkonfirmasi dan menghubungi pembeli buku saya. Periode I prapesan berlangsung 11-25 Maret 2021. Saya juga mempertimbangkan adanya prapesan periode kedua jika memungkinkan. Atau bisa mengontak saya terlebih dahulu melalui e-mail [email protected] atau WhatsApp 0823-3075-1695.

Tinggalkan Komentar