Selasar Malioboro dan Perjalanan yang Berputar-putar

Selepas keluar dari Stasiun Tugu, kaki yang kurang lebih satu seperempat jam berdiri dalam kereta harus sesegera mungkin melangkah ke Kawasan Malioboro. Cuaca semakin terik. Pagi menjelang siang, Yogyakarta kala itu memang cukup menyengat. Orang lalu lalang, banyak yang terlihat sebagai pendatang dan wisatawan. Oksigen rasa-rasanya menipis.

Keluar dari Stasiun Tugu
Keluar dari Stasiun Tugu/Rosla Tinika S

“Kangelan ambegan,” (susah bernafas) ucap salah seorang kawan.

“Rebutan karo wong akeh ngene,” (rebutan [oksigen] sama banyak orang) sahut kawan saya yang lain. 

Mengingat bahwa perbekalan akan segera dingin, bergegaslah kami mencari tempat untuk menikmatinya. Tepat setelah berbelok ke kiri dari pintu keluar stasiun, ada tempat mumpuni untuk sekadar numpang istirahat, malah jauh lebih baik dari ekspektasi kami. Namun, baru berjalan beberapa langkah menuju ke sana, kami menjumpai deretan bangunan dengan warna putih yang lebih nyaman untuk tempat singgah. “Slasar Malioboro,” begitu nama tempat yang tertera pada sebuah pathok informasi jalan berwarna hijau.

Mampir di Slasar Malioboro

Jalan di ujung pedestrian Slasar Malioboro
Jalan di ujung pedestrian Slasar Malioboro/Rosla Tinika S

Kawasan Slasar Malioboro ini mengusung konsep heritage yang menunjukkan Jogja klasik. Perpaduan warna putih gading sepanjang bangunan merepresentasikan Yogyakarta tempo dulu, namun dengan sentuhan modern. Selayaknya arti namanya, Slasar Malioboro merupakan area transisi dari luar menuju Malioboro. Menjadi welcoming area para pengunjung serta sebagai penghubung antara stasiun terbesar di sini. Area yang berada di sebelah utara jantung Kota Yogyakarta ini juga asyik untuk nongkrong.

Sayangnya, karena banyak sekali pengunjung, kami agak kesulitan mendapatkan kursi. Apalagi saat ini banyak pengunjung yang sudah sepuh, jadi kami memprioritaskan kursi untuk mereka. Kami akhirnya duduk di emperan sebuah retail, dengan alas plastik wadah roti yang kami beli di stasiun.

Di sini ada pula Angkringan Kopi Jozz kang tansah kondang kaloka di Jogja, yang kini terlihat lebih estetik dan modern. Tetap eksis dengan setiap sajiannya, lumrah jika banyak pembeli yang sliwar-sliwer.

Slasar Malioboro hadir bersama 18 retail dan 30 UMKM dengan harapan mendongkrak perekonomian masyarakat. Selain itu, segala kebutuhan pengunjung Malioboro utamanya penumpang kereta bisa terpenuhi dengan adanya retail yang ada. Mulai dari makanan, minuman, buah tangan hingga kebutuhan lain. Oleh karenanya, setelah dua orang kawan saya sambat kehausan dan seret saat makan roti, saya anjurkan untuk membeli minuman di salah satu retail minimarket untuk membeli beberapa air mineral. Sementara saya yang sudah membawa botol minum berisi air yang bersumber dari kaki Gunung Lawu memilih menunggunya.

Kawasan yang memiliki luas 1.700 m2 ini memiliki jalur pedestrian dari sebelah timur pintu keluar hingga persimpangan arah Malioboro yang ditandai dengan Loko Coffee Shop Malioboro Yogyakarta. Kafe yang memiliki ikon tulisan Yogyakarta dengan nuansa kuning dan merah.

Sate yang dijajakan di sekitar Slasar Malioboro
Sate yang dijajakan di sekitar Slasar Malioboro/Rosla Tinika S

Trotoar di Slasar Malioboro juga ramai oleh pedagang kaki lima, beragam kuliner khas Yogyakarta pun bisa ditemui di sini. Ada sate, es kunir asem yang rasanya Jogja banget, hingga beragam oleh-oleh seperti bakpia, dodol, geplak, dan wingko babat. Di beberapa pojok area, ada live musik dari pengamen jalanan.

Kawasan yang dibuka pada 1 Maret 2021 lalu ini merupakan wujud program dari PT KAI yang tidak hanya fokus pada layanan transportasi, tapi juga kenyamanan para pelanggan. Upaya tersebut nampak dari adanya Shower Locker, sebuah tempat yang dapat menjadi tempat para penumpang kereta untuk mandi dan menitipkan barang bawaan. Letaknya berada di sisi timur pintu keluar stasiun. Shower Locker menerapkan transaksi non tunai sistemnya canggih yaitu smart locker.

Ngumbara di Kawasan Cagar Budaya Malioboro

Selepas menunggu kawan-kawan menghabiskan roti, kami berjalan ke Malioboro. Pedestrian tak seramai Slasar Malioboro tadi. Sejak adanya relokasi PKL, tidak ada lagi lapak-lapak yang memadati area pejalan kaki. Kebijakan ini dibuat salah satunya dengan tujuan mengembalikan fungsi Kawasan Cagar Budaya Malioboro sebagai lintasan para pejalan kaki. Fasilitas umum untuk teman difabel juga kembali berfungsi sebagaimana mestinya.

Walau terasa lebih lengang, himbauan para petugas keamanan agar para pengunjung menjaga tas, dompet, handphone, dan barang-barang berharga lain dari tindak kriminal tidak luput dari amatan. Dulu, banyak orang menyarankan untuk meletakkan tas di depan dada supaya aman dari copet. Kini, pun masih.

Setelah beberapa menit melangkah, seorang kawan meminta agar kami mampir ke Mall Malioboro, saya turut mengiyakan. Sesuai aturan, sebelum masuk mal, kami harus memindai sertifikat vaksin pada aplikasi PeduliLindungi.

Kami berputar-putar cukup lama di dalam mal untuk mencari headset, barang yang diinginkan kawan saya. Setelah bertanya salah seorang pegawai di mal, headset tersebut ternyata berada di lantai paling bawah. Setelah mencari eskalator turun selama kurang lebih setengah jam, barulah kami bertemu dengan retail yang menjual headset tersebut. Perjalanan yang panjang. Padahal “cuman” headset yang sebenarnya bisa di beli di mana saja.

Keluar dari mal, kami melanjutkan perjalanan dengan menyisir Kawasan Malioboro. Benar saja kata orang, jika Malioboro itu romantis. Romansa di Jogja pun mulai terlihat. Ada beberapa pasang manusia yang sedang kasmaran lalu lalang. Ada pula yang tengah melakukan swafoto lengkap dengan pakaian kejawen, ada pula yang sekadar jalan dan duduk di bangku yang tersedia. Jasa seorang fotografer nampak laris manis di sini.

Malioboro yang terbagi menjadi 5 zona kami susuri dari setiap jengkalnya. Bermula dari Zona 1 yakni sepanjang Grand Inna sampai dengan Mall Malioboro, berlanjut ke Zona 2 yang terbentang Mall Malioboro hingga Mutiara. Kemudian menuju pada Zona 3 yaitu Halte Transjogja 2 ke arah Suryatmajan, lalu ke Zona 4 dari Suryatmajan hingga Pabringan. Dan terakhir di Zona 5 sepanjang Pabringan sampai Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

Pedagang es kencur murni
Pedagang es kencur murni/Rosla Tinika S

Pembagian zona ini awalnya bertujuan untuk mengatasi kepadatan wisatawan saat awal pandemi COVID-19. Kini pemerintah kota melengkapi zona-zona tersebut dengan fasilitas swafoto dan tidak ada lagi pendeteksi suhu tubuh  yang tergantung di tangan patung prajurit ikon setiap zona. Akan tetapi, informasi mengenai patung prajurit tersebut masih dapat dibaca jelas oleh pengunjung. Selain itu, pengunjung juga bisa memindai informasi tempat wisata yang tersedia dengan ponsel.

Pada musim liburan seperti sekarang ini, Jogja tampak padat. Bangku-bangku pedestrian penuh terisi, kecuali yang terkena panasnya sorot mentari. Oleh karenanya, para pejalan kaki harus ekstra berhati-hati dengan lalu lalang kendaraan bermotor.

Ada satu hal yang menarik dari alat transportasi di Jogja. Andong-andong di sini dikemudikan seorang kusir yang mengenakan setelan batik lengan panjang lengkap dengan blangkon khas lelaki Jogja. Selain itu, ada pula becak sepeda motor yang sebelumnya jarang ditemui di sini.

Sayangnya keindahan Kawasan Malioboro sedikit banyak terusik oleh sampah-sampah yang berserakan, meski tak jarang setiap sudut tersedia tempat sampah. Plastik bungkus es, kertas bungkus makanan, sedotan nampak awut-awutan bahkan tumpahan es yang terlihat jelas mengotori area pedestrian.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar