Dewasa ini banyak kita temukan orang yang bepergian ke alam untuk healing, tetapi tidak semua orang menuliskan refleksi dari perjalanannya. Untuk bisa menuliskan refleksi selama perjalanan, perlu kemampuan yang cakap untuk mengamati, memahami, dan merangkai refleksi pikiran yang ada dan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan.

Oleh karena itu, TelusuRI menyelenggarakan “Sekolah TelusuRI: Menulis Refleksi Perjalanan” secara daring pada Sabtu, 13 Mei 2023, untuk belajar cara menuliskan refleksi perasaan, pengamatan, kajian, serta pengalaman pada setiap perjalanan. Narasumber dalam kelas ini adalah Rifqy Faiza Rahman, seorang travel writer, penulis buku SELÉSA: Di Balik Sekat-Sekat Perjalanan (2021) dan sejumlah antologi, serta kini menjadi content strategist di TelusuRI. 

Adapun yang menjadi moderator adalah M. Irsyad Saputra, seorang pejalan dan penulis yang berbasis di Banjarmasin. Peserta yang hadir dalam webinar berdurasi 1 jam 55 menit itu mencapai 49 orang yang berasal dari latar belakang dan daerah berbeda-beda.

Perjalanan sebagai Media Refleksi Diri

Sebagai pembuka, Rifqy menjabarkan beberapa tujuan penulisan cerita perjalanan. Selain sebagai sumber informasi, tulisan perjalanan dapat berfungsi dengan banyak tujuan. Antara lain sebagai konektivitas untuk membangun hubungan antara tempat yang jadi latar cerita penulis dengan pembaca, menumbuhkan ekspektasi pembaca, menjadi rujukan pengetahuan baru, sebagai media mengenal dan memahami diri sendiri, serta untuk merawat dan mengabadikan ingatan.

Tak hanya sebatas itu saja. Tulisan perjalanan juga bisa berfungsi pada tahap yang lebih tinggi, yaitu sebagai refleksi yang bersifat inspiratif dan spiritual, serta mampu mengubah pandangan maupun perspektif kemanusiaan. Dua manfaat ini yang menjadi tema besar seminar daring kali ini, bahwa betapa pentingnya menyuarakan refleksi diri dalam perjalanan seorang penulis.

Berbeda dengan tulisan perjalanan biasa yang bersifat panduan atau informasi dasar ala Wikipedia, tulisan refleksi perjalanan memiliki “nilai jual” lebih. Terdapat tiga alasan utama pentingnya menulis perjalanan reflektif, yaitu tak akan lekang oleh waktu, bisa menyentuh sisi personal pembaca maupun penulis itu sendiri, dan berpotensi memperbaiki jati diri atau perspektif seseorang terhadap kehidupan.

Ekspektasi dan Realitas dalam Refleksi Perjalanan

Di segmen berikutnya Rifqy menampilkan dua buah foto yang berlokasi sama, tetapi dengan kondisi cuaca yang berbeda. Foto tersebut menggambarkan kerumunan wisatawan di anjungan pandang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Mereka sama-sama menunggu momen matahari terbit. Bedanya, cuaca pada foto pertama sangat cerah dan pemandangan terlihat jelas, sedangkan foto kedua tertutup kabut tebal dan berawan.

Foto tersebut menjadi salah satu bahan tulisan Rifqy di blog pribadinya dengan judul Perjalanan: Ekspektasi dan Realita, pada 13 April 2016. Ia menulis karena terinspirasi dengan artikel Kanika Saxena di Travel Triangle, yang menampilkan belasan foto harapan dan kenyataan di tempat-tempat wisata populer dunia. Ia membandingkan kondisi destinasi terkenal itu saat sepi dan ramai. Mulai dari Tembok Besar China hingga Stonehenge. 

Beberapa situs berita daring lainnya bahkan menyebut media sosial, khususnya Instagram dan filter-filternya, menjadi biang kerok hancurnya bayangan eksotisme suatu tempat. Apa yang tertuang dalam konten—yang telah melewati proses penyuntingan—acap kali bertolak belakang dengan situasi sebenarnya.

Pada akhirnya berujung pada pariwisata massal yang bisa berdampak negatif pada lingkungan, keselamatan, dan kenyamanan. Akibatnya, menurut Rifqy, “Esensi perjalanan pun memudar.”

Melihat itu, Rifqy berpandangan bahwa meskipun sering terjadi gap, ekspektasi dan realitas akan tetap ada sebagai warna dalam perjalanan. Keadaan tersebut dapat menjadi refleksi penulis dalam tulisannya. 

Sebagai tips, Rifqy mengajak peserta kelas agar lebih menghargai proses dan menikmati perjalanan. “Turunkan ekspektasi serendah-rendahnya, lalu menerima realitas yang terjadi,” katanya.

Baginya menulis refleksi menuntut kita untuk mencari sudut pandang lain yang lebih menarik dan belum semua orang tahu. Senyampang begitu, penulis bisa menyisipkan nilai edukasi kepada pembaca dalam catatan refleksi perjalanannya.

Pertanyaan-pertanyaan dasar sebelum memulai perjalanan dan menuliskan refleksinya/TelusuRI
Pertanyaan-pertanyaan dasar sebelum memulai perjalanan dan menuliskan refleksinya/TelusuRI

Cara Mencari Refleksi Diri dalam Perjalanan

“Perjalanan memang menuntut untuk terus dan selalu bergerak,” kata Rifqy. Namun, dengan lebih menahan diri agar tidak terlalu terburu-buru dan meniatkan perjalanan sebagai media belajar, akan membuat perjalanan tersebut lebih bernilai. 

Sebelum menuangkan hasil perjalanan ke dalam tulisan, Rifqy meminta peserta untuk terlebih dahulu mengoptimalkan kesempatan perjalanan yang mereka alami. Sebagai panduan singkat, ia memberikan tips cara mencari refleksi diri dalam perjalanan:

  • Memaksimalkan pancaindra
    Buka lebar-lebar seluruh panca indra (mata, hidung, mulut, telinga, dan indra peraba) selama melakukan perjalanan. Melibatkan perasaan dan objektivitas bisa menumbuhkan empati pada apa atau siapa pun.
  • Interaksi-komunikasi
    Tanpa bermaksud menjadi terlalu terbuka, memberi kesempatan berhubungan dengan orang-orang yang ditemui dapat berpotensi menggali cerita yang lebih menarik.
  • Beri ruang keheningan
    Menepilah sejenak dari hiruk-pikuk “dunia” yang serba cepat. Luangkan waktu untuk melakukan perenungan, menguji pemikiran, dan mencari makna perjalanan.

Seperti halnya dalam teknik-teknik dasar menulis perjalanan, selain menerapkan metode jurnalistik 5W+1H untuk menggali cerita, segala hal yang diperoleh melalui reportase harus segera dicatat dalam buku catatan maupun aplikasi di gawai. Rifqy menegaskan, “Jangan terlalu mengandalkan ingatan, karena kita mudah lupa.”

Teknik dasar menulis perjalanan yang perlu diperhatikan/TelusuRI
Teknik dasar menulis perjalanan yang perlu diperhatikan/TelusuRI

Menurut Rifqy, yang paling penting dari kegiatan menulis refleksi perjalanan adalah, “Menuntut kita agar lebih berani menyampaikan keresahan, kebahagiaan, dan pemikiran sendiri saat melakukan perjalanan.”

Dalam pandangan penulis yang saat ini berdomisili di Magelang tersebut, sah-sah saja menuangkan unsur subjektivitas dalam tulisan, karena pandangan penulis tidak selalu bisa memuaskan setiap orang. Namun, setidaknya penulis telah menunjukkan pendirian dan keberpihakan dari perjalanan yang telah dilakukan.

Sesi Tanya Jawab

Sesi tanya jawab mengisi segmen terakhir dalam  “Sekolah TelusuRI: Menulis Refleksi Perjalanan”. Beberapa peserta antusias mengirim pertanyaan, baik melalui kolom chat maupun bertanya langsung kepada narasumber.

Seperti pertanyaan dari Achmad Wildan Achyar dari Malang. Ia kadang merasa bingung cara memulai pembicaraan dengan orang-orang yang dianggap narasumber—terutama di desa dengan budaya berbeda—padahal sudah tahu ingin menulis tentang apa.

Menurut Rifqy, pada dasarnya jangan sekali-kali melakukan perjalanan dalam keadaan kosong tanpa bekal apa pun. Sebelum berangkat, penulis harus melakukan riset pendahuluan. Data atau pertanyaan hasil observasi awal tersebut menjadi pegangan yang akan dikonfirmasi saat di lapangan. Di antaranya mencakup: siapa tokoh setempat yang bisa menjadi pendamping untuk menemui narasumber inti, topik apa yang ingin dibahas dan diangkat dalam tulisan, rute perjalanan, dan lain sebagainya. Dengan begitu perjalanan penulis akan lebih terarah.

Sesi foto bersama usai kelas/TelusuRI
Sesi foto bersama usai kelas/TelusuRI

Hal lain yang tak kalah penting adalah makna “tak lekang oleh waktu” dalam tulisan perjalanan, serta relevansi makna cerita dan waktu perjalanan. Seperti yang ditanyakan oleh Bu Adanta Afia Mirza. Peserta dari Depok tersebut memiliki pengalaman perjalanan di masa lalu, tetapi belum ia ceritakan. Ia masih ragu apakah cerita dan dokumentasinya saat itu masih relevan untuk saat ini, lalu apakah tetap perlu menuliskan hari, tanggal, bulan, dan tahun terjadinya perjalanan tersebut untuk memberitahukan konteks waktu.

Tanggapan Rifqy atas pertanyaan tersebut adalah sangat perlu, karena selain memenuhi kaidah “when” dalam prinsip jurnalistik, pembaca juga perlu tahu bahwa perjalanan tersebut memang sudah berlalu dan mungkin kondisi saat ini memiliki perbedaan. Maksud dari “tak lekang oleh waktu” adalah refleksi dan makna perjalanan penulis akan tetap relevan sebagai pelajaran pembaca dan penulis itu sendiri sampai kapan pun, terlepas masa perjalanan tersebut sudah terlewati cukup lama.

Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan menarik dari peserta. Sebagian besar ingin memastikan keraguan tentang cara menulis perjalanan mereka, serta hal-hal mendasar seputar teknik menulis cerita perjalanan. Sebagai penutup, Rifqy mendorong peserta—baik yang baru memulai maupun sudah berpengalaman—untuk tetap terus menulis, menemukan gaya sendiri dalam menulis, dan menyampaikan pandangan-pandangan baru dalam tulisan refleksi perjalanan mereka. Tujuannya tidak lain agar ke depannya tercipta karya-karya cerita perjalanan yang berkualitas.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar